Banjarmasin, Koranpelita.com
Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Selatan, Dr H Karlie Hanafi Kalianda SH MH menyampaikan keprihatinannya melihat fakta masih terjadi adanya eksploitasi hingga bentuk kekerasan terhadap anak.
Keprihatinan tersebut diungkapkan dia saat menggelar sosialisasi Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Anak yang digelar di RT 06, Desa Purwosari, Kecamatan Tamban, Kabupaten Barito Kuala, Jumat (16/2/2024).
“Bentuk-bentuk eksploitasi pada anak masih sering dijumpai di Indonesia. Padahal, larangan eksploitasi pada anak sudah diatur dalam undang-undang dan pelaku bisa dihukum,” sebut Karlie.
Meskipun ada ancaman yang sangat tegas, para pelaku seperti tak acuh pada hukum tersebut dan tetap melakukan eksploitasi pada anak-anak demi kepentingannya sendiri.
Dia menjelaskan, eksploitasi pada anak adalah perbuatan yang memanfaatkan anak sesuai kehendak untuk kepentingan dirinya sendiri yang dilakukan oleh keluarga atau orang lain.
Perbuatan tersebut mengganggu tumbuh kembang fisik dan mental anak. Pada intinya, eksploitasi anak yaitu perbuatan yang menghilangkan hak-hak anak.
Sedangkan bentuk-bentuk eksploitasi pada anak dan UU yang mengaturnya, antara lain Pasal 20 UU Nomor 35 Tahun 2014, Pasal 76l UU Nomor 35 Tahun 2014, pencegahan tindakan bullying pada anak usia dini, UU Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta beberapa peraturan lainnya, termasuk Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 11 tahun 2018 tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Sedangkan Kepala UPT PPA Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kabupaten Barito Kuala, Ir.H.Subiyarnowo, yang juga sebagai narasumber, dikesempatan itu menjelaskan bentuk-bentuk eksploitasi pada anak terdiri dari beberapa macam, mulai dari eksploitasi ekonomi, seksual, dan sosial.
“Eksploitasi yang cukup sering ditemukan yaitu eksploitasi ekonomi dan seksual,” kata dia.
Bentuk eksploitasi ekonomi pada anak yaitu, dengan menyalahgunakan tenaga anak berupa dimanfaatkan fisiknya untuk bekerja demi keuntungan orang yang mengeksploitasinya.
Pekerjaan tersebut membuat anak kehilangan hak-haknya, misalnya karena dipaksa bekerja, anak tersebut tidak bisa sekolah, jarang dikasih makan, dan sebagainya.
Pekerjaan tersebut juga seharusnya belum bisa dikerjaan oleh seorang anak. Mirisnya, menurut data International Labour Organization, sekitar 168 juta anak menjadi pekerja anak dan sekitar 85 juta anak melakukan pekerjaan yang berbahaya.
Adapun bentuk eksploitasi seksual pada anak yaitu, kegiatan yang melibatkan anak untuk melakukan aktivitas seksual yang belum dipahaminya. Contoh eksploitasi seksual pada anak yaitu perbuatan menelanjangi anak untuk produk pornografi dan memperkerjakan anak dalam bisnis prostitusi.
“Selain itu, mengarahkan anak pada kata pornografi, asusila, atau perkataan porno lainnya termasuk ke dalam eksploitasi seksual pada anak,” terang Subiyarnowo.
Sedang bentuk eksploitasi sosial yaitu, segala perbuatan pada anak yang bisa menyebabkan perkembangan emosionalnya terhambat. Misalnya memanfaatkan anak untuk meraih popularitas dan keuntungan ekonomi pelaku. Anak mungkin masih mendapatkan hak-hak seperti tempat tinggal yang layak, pendidikan dan sebagainya, tetapi emosionalnya terganggu.
“Kegiatan apapun yang membuat anak melakukan sesuatu atau perbuatan seseorang membuat perkembangan emosional anak terganggu, maka kegiatan tersebut bisa termasuk ke dalam eksploitasi sosial pada anak,” tandasnya.
Perkembangan emosional anak lanjut dia, sangat penting, sehingga jika terganggu akan memungkinkan membuat anak kehilangan hak-haknya.
Dia juga menegaskan, kegiatan eksploitasi merupakan kegiatan yang salah karena melanggar atau sampai menghilangkan hak-hak anak.
Oleh karena itu, bentuk-bentuk eksploitasi pada anak di Indonesia mempunyai undang-undang yang mengaturnya. Berikut ini undang-undang yang mengatur tentang eksploitasi pada anak di Indonesia.
1. UU Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-undang ini membahas mengenai larangan bagi semua pihak, termasuk orang tua untuk melakukan eksploitasi pada anak, baik eksploitasi ekonomi dan/atau eksploitasi seksual.
2. Pasal 15 UU Nomor 35 Tahun 2014 bagian (f) Pasal ini menyebutkan bahwa setiap anak memiliki hak perlindungan dari kejahatan seksual.
3. Pasal 20 UU Nomor 35 Tahun 2014
Pasal ini menyebutkan bahwa negara, pemerintah, pemerintah daerah, keluarga, masyarakat, keluarga, dan orang tua/wali bertanggung jawab dan berkewajiban dalam menyelenggarakan perlindungan terhadap anak.
4. Pasal 76l UU Nomor 35 Tahun 2014
Pasal ini menyebutkan bahwa setiap orang dilarang membiarkan, menempatkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau ikut serta melakukan eksploitasi pada anak secara ekonomi dan/atau seksual.
5. Pasal 88 UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Sanksi Pelaku Eksploitasi Anak
Pasal ini menyebutkan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 76l akan diberikan sanksi berupa pidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).
Dia juga menegaskan bahwa jika mengetahui ada bentuk-bentuk eksploitasi pada anak yang terjadi di sekitar lingkungan kita, maka harus segera menghentikannya atau melaporkannya kepada pihak yang berwajib dengan bukti-bukti yang kuat. Dengan begitu, Anda akan menyelamatkan anak dari penderitaan dan kehilangan hak-haknya.
Kegiatan sosialisasi peraturan perundangan tentang perlindungan anak ini mendapat sambutan antusias dari masyarakat sekitar khususnya kaum ibu, mereka menyimak dengan serius materi demi materi yang disampaikan.
Selain mayoritas kaum ibu, sosialisasi juga dihadiri Ketua RT 06, Desa Purwosari I, Mugiono, sejumlah tokoh masyarakat dan pemuka agama. (pik).