Semarang,koranpelita.com Menyongsong kontestasi Pemilu 2024 yang tinggal hitungan hari, masyarakat diajak untuk bijak dan berpikir positif dalam hal mencari pemimpin. Fanatisme terhadap seorang pemimpin itu boleh, tapi jauh lebih penting adalah mencintai Indonesia agar tetap utuh dan bersatu.
Indikator mencari pemimpin pada pesta demokrasi nanti, berpeganglah pada sifat Rasulullah Muhammad yang bisa dijadikan role model. Setiap pemimpin atau kepala negara yang pernah memimpin negeri ini selalu meninggalkan legacy yang baik pada eranya. Mereka tak bisa dibandingkan satu dengan lainnya.
Demikian benang merah yang bisa dipetik dari Dialog 5 Rektor dalam rangka Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) dan HUT ke-78 PWI Tahun 2024 bertajuk ”Memilih Pemimpin dengan Bertanggung Jawab” di Gedung Ir Widjatmoko, kampus Universitas Semarang (USM), Rabu 7 Februari 2024.
Kegiatan yang digelar PWI Jawa Tengah sebagai awal rangkaian HPN tingkat Jateng tersebut dibuka oleh Kabid Ketahanan Bangsa Muslichah Setiasih SIP MMG MEng. Dialog dihadiri, antara lain Ketua Pembina Yayasan Alumni Undip (YAU) Prof Dr Sudharto P Hadi MES PhD, Ketua Pengurus YAU Prof Dr Ir Hj Kesi Widjajanti SE MM, anggota pembina YAU Ir Soeharsojo IPU.
Selain itu tampak Kabid Humas Polda Jateng Kombes Pol Satake Bayu beserta Forkopimda Jateng, Ketua PWI Jateng Amir Machmud NS dan jajaran, Ketua DKP PWI Sri Mulyadi, Kepala LPP RRI Ngatno, dan sejumlah pimpinan media, serta ratusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.
Ada juga perwakilan mitra kerja dari Bank Indonesia, Exxon Mobil, SIG, Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah, Semen Gresik, PT Pertamina EP Field Cepu, dan PGN SAKA, Sido Muncul, PT PLN, Djarum Foundation Bakti pada Negeri, Bank Jateng, PT KAI Daop IV Semarang, dan Bulog Kanwil Jateng.
Dialog yang dipandu oleh penyiar RRI Semarang, Roshi Martiningrum berlangsung hangat dan cair. Rektor USM Supari ST MT yang mendapatkan giliran pertama mengakui, bahwa fenomena cinta dan fanatisme kepada pemimpin jelang kontestasi Pemilu tak terelakkan.
”Tapi yang penting adalah bagaimana cinta itu tak berlebihan, sewajarnya saja. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana kita bisa menjaga cinta kepada tanah air kita, Indonesia agar tetap utuh, bersatu, dan damai,” tandas Supari.
Pemimpin Memiliki Masanya Sendiri
Menurut dia, setiap pemimpin yang pernah memimpin negeri ini, sejak Soekarno sampai Joko Widodo, memiliki masa dan zamannya sendiri. Problematika dan tantangan yang dihadapi masing-masing presiden pun berbeda, jadi tak bisa dibandingkan.
Adapun Rektor Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang Prof Dr KH Mudzakkir Ali MA menyitir kutipan “Cintailah kekasihmu dengan sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah kepada orang yang kau benci sewajarnya, boleh jadi suatu hari dia yang kau benci menjadi orang yang kau cinta”.
”Kita sependapat bahwa “hubbul wathan minal iman” bahwa cinta tanah air, nasionalisme sebagiandari iman. Kita selalu ingin agar negara tetap bersatu, itulah bentuk cinta yang harus tetap kita jaga,” tambahnya.
Mudzakkir juga mengatakan, bahwa dalam memilih pemimpin hendaknya mengikuti empat sifat Rasulullah Muhammad yang bisa dijadikan role model. Keempatnya adalah sidik, amanah, fathonah, dan tablig. Sidik artinya orang yang jujur berintegritas, amanah adalah dapat dipercaya, fathonah berarti orang yang cerdas, dan tablig artinya orang yang bisa menyampaikan.
”Sesungguhnya pemimpin dalam era sekarang ya pengganti kenabian yang punya sifat itu. Harus punya tiga T juga truth, trust, dan transmission, dan yang penting istikamah. Dijaga terus menerus,” tambahnya.
Hal yang sama disampaikan Wakil Rektor II Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang Dr Guruh Fajar Shidik SKom. Dia mengatakan, untuk mengetahui sifat asli pemimpin, itu bisa dilihat dari aspek tiga hal yaitu safar atau rekam jejaknya, muamalah artinya saat berbisnis, dan amanah atau bisa dipercaya.
”Saya juga mengajak, adik-adik mahasiswa untuk selalu berpikir baik dalam memahami perjalanan para pemimpin kita terdahulu hingga sekarang. Misalnya, saat kita merdeka berapa persen masyarakat kita yang bisa baca-tulis, dan lihatlah progresnya. Artinya apa? Negara beserta instrumennya telah hadir. Bahwa setiap kepala negara selalu meninggalkan legacy atau warisan yang baik. Tinggal pikiran kita baik atau buruk. Kemungkinannya, apakah kita bakal jadi lebah yang suka hal yang indah, atau lalat yang selalu mencari hal kotor,” beber Guruh.
Memberikan Cahaya Bagi Publik
Sementara itu, Ketua Yayasan YAU Prof Sudharto, mengapresiasi PWI yang mengusung dialog bertema pemimpin di kampus USM yang dinilainya sebagai hal penting, krusial, dan timely. Layaknya seorang dosen, kata dia, PWI bukanlah partisan.
Menurutnya, perjalanan bangsa ini sejak 1908, 1928, 1966 hingga 1945 tak lepas dari peran kaum intelektual dan cendekiawan. Maka dari itu, perguruan tinggi tidak hanya bertugas memenuhi pasar dengan lulusannya, menghasilkan iptek yang berdaya guna, tapi harus bisa mengatasi persoalan bangsa.
”Saya jadi ingat kata-kata budayawan Umar Kayam, bahwa intelektual itu harus cerdas, harus bisa ‘micara’, mampu menyampaikan hal yang mudah dicerna. Jadi bukan berarti semakin sulit, semakin ilmiah,” kata pakar lingkungan itu.
Dia berharap, dari dialog ini bisa memberikan cahaya bagi publik, dan perguruan tinggi bisa menjadi pelita bagi bangsanya dari kegelapan.
Dalam kesempatan itu, Ketua PWI Jateng Amir Machmud NS mengatakan, pada tiap pelaksanaan kontestasi politik dan momentum reflektif HPN, selalu tersisa catatan: sejauh mana sesungguhnya netralitas media, wartawan, dan organiasi profesi kewartawanan.
Persoalan netralitas senantiasa mengepung, mengapung dan dalam konteks masa, peristiwa, dan zaman, tidak memungkinkan menciptakan rumusan secara tegas.
Namun peran pers, kata dia, selalu kembali pada UU No 40 1999 telah mengamanatkan sebuah sikap berpihak pada publik secara luas yaitu memberikan informasi, edukasi, hiburan, fungsi kontrol sosial.
Tapi secara prinsip, tandas Amir, fungsi media selalu beriktikad pada kebajikan, yang menyempurnakan fungsi pers sebagai pembela kebenaran. Maka, jika menemukan fakta yang akan terjadi adalah mengolah fakta sesuai kebajikan yang ingin disajikan dengan sikap integritas, sikap etika, dan menjauhkan diri dari ruang bias orientasi dalam bermedia.
Lalu bagaimana sikap wartawan dalam pusaran Pemilu? Menurut dia, wartawan harus menjawab dengan rahmatan lil alamin atau menjaga rahmat seluruh alam, kasih sayang bagi semesta alam.
”Kami akan mewujud sebagai entitas yang berpikir dalam kerangka kesemestaan, kemaslahatan untuk semua, bukan satu dua kelompok. Kami ajak wartawan untuk punya sikap negarawan, bukan jadi the king atau raja namun bersikap dalam kingdom atau kerajaan. Sikap kami tidak berpihak pada siapa pun, namun menjadi cahaya bagi publik,” pungkasnya.(***)