Jakarta, koranpelita com- Para akademisi dan pengamat politik berharap para capres tetap berdiri pada substansi masing-masing, pada debat ketiga Pilpres 2024 yang akan berlangsung Minggu (7/1/2024). Para capres dinilai tidak perlu lagi bermain gimik politik yang tidak mencerdaskan pemilih.
Debat publik yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini merupakan medium engagment antara capres dan warga negara, sehingga seharusnya gagasan-gagasan para capres di Pilpres 2024 bisa dijangkau khalayak luas.
Pakar Politik Universitas Muhammadiyah Makassar, Sulawesi Selatan, Andi Luhur Prianto, menilai tema debat kali ini strategis sekaligus sensitif. Strategis karena isu-isu sektor pertahanan keamanan (hankam), Hubungan Internasional (HI) dan geopolitik menentukan wajah bangsa di mata dunia.
“Sensitif karena tata kelola isu ini, baik secara sikap keberpihakan hingga soal anggaran adalah untoucable (arena tak tersentuh). Akses publik atas informasi bidang sangat terbatas, karena dianggap bagian dari rahasia negara atau informasi publik yang dikecualikan,” paparnya dalam keterangan tertulis, Jumat (5/01/2024).
Dalam hal persiapan teknis, Luhur mengharapkan, ketiga capres ini memanfaatkan waktu debat secara optimal dan mempersiapkan diri dengan baik. ” Secara substantif, mereka harus mampu menggali sikap dan pilihan kebijakan yang jelas terkait dengan isu-isu global yang sensitif,” katanya.
Sementara itu, pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti berharap, debat capres ini dapat berlangsung dengan baik dan para capres mampu memaparkan konteks hankam dan HI secara komprehensif. Sebab, menurutnya, ketiga capres ini bukanlah orang yang awam akan hubungan internasional dan pertahanan. Bahkan, dua paslon memiliki pengalaman langsung pada bidang pertahanan sebagai menteri.
“Biar bagaimanapun, ada Prabowo dan Profesor Mahfud. Walaupun sebentar Pak Mahfud itu pernah menjabat sebagai Menteri pertahanan dan menggodok UU Pertahanan Negara Nomor 3 pada tahun 2002. Jadi, ketiga paslon ini, menurut saya orang-orang yang cerdas. Mereka bukanlah orang-orang yang buta terhadap hubungan internasional, pertahanan dan geopolitik,” ujar mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Tunisia itu.
Lebih lanjut, Ikrar pun berharap, para capres ini mampu menguraikan perubahan tatanan geopolitik secara kongkret dan memberikan solusi, tidak berlindung di balik konstelasi politik yang sedang bergerak cepat.
“Jangan kayak Pak Jokowi. Untuk apa presiden ngomongin konflik Ukraina bikin harga pupuk jadi mahal, padahal sebelumnya Menteri Pertanian pernah bilang pupuk kita diekspor. Kita bisa kok mencari sumber untuk pupuk dari negara lain. Jangan kemudian memasukan persoalan perang Rusia-Ukraina menjadi penyebab harga pupuk naik,” tegas Ikrar.
Adu Gagasan
Dihubungi terpisah, Pakar Komunikasi Politik UIN Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan, Firdaus Muhammad mengatakan, ketiga pasangan capres-cawapres sudah memiliki pengalaman debat sebelumnya.
“Tentu mereka telah memiliki penguasaan panggung dan adaptasi kemampuan capres lainnya. Maka, pada debat mendatang, sangatlah penting para capres ini menguasai semua materi tema meliputi pertahanan, keamanan, hubungan internasional dan geopolitik. Tampaknya Prabowo menguasai bidang itu, tapi juga bisa diserang lawan yang mengkritik kinerjanya dalam bidang tersebut,” ungkapnya.
Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin ini berharap, agar debat nanti berisi adu gagasan, program riil dan penguasaan materi, sehingga jauh dari kesan saling menjatuhkan.
“Selain itu, harus menghindari kesalahan sekecil apapun, baik komunikasi verbal, pilihan diksi dan narasi maupun gesture-nya,” kata Firdaus.
Sementara itu, Founder Makara Strategic Insight (MSI Research) Andre Priyanto, berharap, agar ajang debat ini tidak hanya berhenti sebagai tontonan masyarakat. Menurutnya, siapa pun presiden terpilih nanti, seharusnya mampu menjelaskan masalah yang sedang dihadapi negara dan solusinya kepada masyarakat.
“Selama ini masalahnya transparasi informasi, kita sulit mengetahui apa yang sedang dilakukan pemerintah dan apa solusinya,” ujar Andre saat ditemui di Kampus UI Depok, Jawa Barat.
Terkait pengungsi Rohingya, misalnya. Menurut Andre, kegelisahan warga atas kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh tak perlu terjadi, jika pemerintah mampu menjelaskan dengan baik.
“Atas dasar kemanusiaan, memang kita harus menerima pengungsi Rohingya, nah navigasinya ini ada di pemerintah. Jika warga keberatan, wajar karena mungkin memang dalam keadaan yang tidak cukup untuk berbagi, untuk itu pemerintah harus menampung para pengungsi,” tukasnya.
Ia juga berpendapat bahwa pemerintah dan warga Indonesia seharusnya tak perlu takut dengan kedatangan pengungsi Rohingya. Sebab, Indonesia bukanlah tujuan akhir para pengungsi tersebut. (sup/**)