Bandung, koranpelita.com
Ketua MPR RI sekaligus Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran (PADIH UNPAD) Bambang Soesatyo mengapresiasi, pencapaian akademik Dosen Fakultas Hukum (FH) UNPAD Sinta Dewi, yang telah ditetapkan sebagai Profesor/Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Siber FH UNPAD. Mengangkat orasi ilmiah tentang ‘Manfaat dan Resiko Penggunaan Artificial Intelligence (AI) dan Pengaruhnya Terhadap Data Privasi: Dari Lex Informatica menuju Lex Reformatica’.
Diakui, meski saat ini kita tengah dihadapkan pada perkembangan AI dalam berbagai bentuk platform yang semakin pesat. Bukan hanya mendatangkan manfaat, melainkan juga bisa mendatangkan malapetaka bagi kehidupan umat manusia.
” Jika tidak disikapi dengan bijak, AI berpotensi mengaburkan pandangan manusia pada kebenaran dan kebohongan. Sekaligus berpotensi dalam penyalahgunaan data pribadi untuk tindakan kriminal dan kejahatan lainnya,” ujar Bamsoet usai menghadiri pengukuhan Sinta Dewi sebagai Profesor/Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Siber FH UNPAD, di Graha Sanusi Hardjadinata, Bandung, Selasa (26/9/23).
Menurutnya, untuk mengantisipasi kejahatan di dunia siber dengan semakin pesatnya AI, Singapura, Jerman, dan Tiongkok bahkan telah membentuk Angkatan Siber sebagai matra tersendiri. Pasukan Siber Tiongkok diprediksi yang terbesar di dunia, mencapai 145 ribu personil.
Sebagaimana ditekankan Gubernur Lemhannnas Andi Widjajanto, dalam kajian Lemhannas Indonesia juga perlu mulai mempersiapkan pembentukan Angkatan Siber (AS), sehingga bisa memperkuat tiga matra yang sudah ada yakni Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU).
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, untuk menghadapi perkembangan AI yang semakin pesat, Indonesia perlu memiliki regulasi yang jelas dan kuat. Khususnya dengan memberikan penguatan kepada peran intelijen, baik terhadap BIN, BAIS TNI, hingga Baintelkam Polri.
“Saat ini, pemanfaatan AI di Indonesia hanya mengacu kepada Dokumen Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020-2045, yang dikeluarkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi/BPPT (kini menjadi BRIN).”
Diperkuat Regulasi Selevel Undang-Undang
Dokumen tersebut, menurutnya, perlu diperkuat dengan adanya regulasi yang lebih kuat selevel undang-undang, peraturan presiden, ataupun peraturan pemerintah, yang dapat mengatur penggunaan, etika, keamanan, serta perlindungan terhadap tenaga kerja dalam setiap pengembangan dan pemanfaatan AI di Indonesia.
Bamsoet mengatakan, setidaknya sudah ada 60 negara dunia yang mengeluarkan kebijakan terkait AI. Inggris, AS, dan Kanada bahkan memiliki AI Security Council. Presiden AS Joe Bidden juga sudah mengajukan AI Bill of Rights, yang isinya antara lain memastikan hak-hak warga negara dan dukungan dalam pengembangan dan inovasi AI.
“Untuk mengatasi berbagai permasalahan di dunia siber dan digital, Indonesia saat ini hanya memiliki dua undang-undang. Yakni, UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta UU No. 27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Indonesia perlu memiliki UU Keamanan dan Ketahanan Siber Nasional. Mengingat sepanjang tahun 2021 saja, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat setidaknya ada 1,6 miliar anomali trafik atau serangan siber yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
” Termasuk ratusan hingga ribuan potensi serangan siber yang ditujukan kepada Ring-1 Istana Negara,” pungkasnya.(sup)