Karakteristik Kepemimpin Presiden Baru Sangat Berpengaruh Terhadap Dinamika Pembangunan Nasional

Jakarta,Koranpelita.com

Perhatian masyarakat Indonesia saat ini tengah tertuju ke pentas kontestasi politik pemilihan presiden yang akan berlangsung tahun depan. Kandidat yang memenangkan kontestasi tersebut akan memimpin Indonesia sebagai Presiden lima tahun ke depan pada periode 2024-2029.

“Siapapun kandidat calon presiden yang akan terpilih, tipologi atau karakteristik kepemimpin presiden baru nanti akan sangat berpengaruh besar, baik terhadap tata kelola pemerintahan dan negara, terhadap dinamika pembangunan nasional, juga berpengaruh besar terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa dan negara , ” ujar Ketua Aliansi Pontjo Sutowo pada FGD bertema “Mencari Model Kepemimpinan Masa Depan” yang digelar secara daring, Jumat (28/7/2023).

Seperti ditunjukkan pengalaman di berbagai negara, termasuk pengalaman Indonesia sendiri, faktor pemimpin dan karakteristik kepemimpinan sangat berpengaruh besar bahkan menentukan terhadap eksistensi dan keberhasilan suatu negara. Sebaliknya faktor kepemimpinan juga berpengaruh atas kemunduran bahkan juga kegagalan suatu negara.

“Karenanya menjadi relevan kalau saat ini kita membahas kembali arti penting tipologi atau karakteristik kepemimpinan macam apa yang diperlukan bangsa dan negara Indonesia ke depan. Sebab, kondisi dan situasi serta tantangan masa depan pasti berbeda dengan kondisi dan tantangan masa kini,” ujarnya.

Lebih lanjut Pontjo mengaiakan, Karakteristik kepemimpinan itu dapat dilihat dari sisi personality dalam arti luas, orientasi ”ideologis”, kecakapan tata kelola kenegaraan serta kecakapan manajerial, dan tentu juga perlu dilihat dalam konteks sosial, budaya, ekonomi serta konteks politik di mana para pemimpin tersebut berada.

Secara teoretis dan berdasarkan pengalaman empiris di berbagai negara, tersedia banyak tipologi kepemimpinan yang bisa dijadikan sebagai referensi pembanding untuk mengkaji dan mencari bagaimana model atau corak kepemimpinan bangsa dan negara yang cocok untuk Indonesia pada masa mendatang.

Sebagai contoh, dalam karya klasiknya, “The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia ”, ilmuwan politik dari Australia, Herbert Feith menyebut bahwa sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga pertengahan tahun 1950-an, ada dua tipe kepemimpinan nasional di Indonesia. Pertama, tipe solidarity maker, dan kedua, tipe administrator.

Tipe yang pertama (solidarity maker) mempunyai kemampuan menggalang
massa, memainkan simbol-simbol identitas untuk menggalang solidaritas. Tipe kepemimpinan ini terwakili dalam diri Presiden Soekarno dan para politisi pemimpin partai. Tipe kedua (administrator) terwakili dalam diri Mohammad Hatta dan para ekonom-teknokrat, yang memiliki kecakapan teknis dan administratif yang diperlukan dalam menjalankan tata kelola pemerintahan.

“Tipe kepemimpinan solidarity maker dinilai tepat untuk mengelola masalah masalah nation building, sedangkan tipe administrator dinilai tepat untuk mengelola masalah state building,” jelas Pontjo.

Tentu saja, dilihat dari konteks sekarang, dua tipe kepemimpinan ini mungkin hanya relevan untuk periode 1945 hingga akhir tahun 1950-an, sehingga mungkin juga sudah tidak relevan untuk konteks masa kini maupun untuk masa depan. Tetapi setidaknya ada beberapa catatan penting yang bisa diambil dari perpaduan dua tipe kepemimpinan pada kurun waktu tersebut.

Catatan pertama, bahwa perpaduan dua tipe kepemimpinan ini yang direpresentasikan oleh Dwitunggal Soekarno–Hatta, sungguh unik dan sangat bermanfaat bagi Indonesia pada masanya, karena terbukti mampu membawa Indonesia sebagai negara baru merdeka melewati fase-fase krusial sejak 1945 hingga akhir 1950- an.

Catatan kedua, bahwa selama kurun waktu tersebut, ada relasi yang sangat erat antara kaum cendekiawan, akademisi dan profesional dengan dunia politik, dan ini membawa akibat dinamika kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia menjadi lebih berbobot secara intelektual.

Dari kedua catatan tadi, dan juga dari berbagai kajian lainnya, dapat disimpulkan bahwa karakteristik kepemimpinan politik di Indonesia pada fase awal kemerdekaan hingga medio 1950-an adalah corak kepemimpinan politisi-cendekiawan atau “negarawan-cendekiawan”.

Beberapa nama tokoh bisa disebut sebagai representasi corak kepemimpinan tersebut, seperti: Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, dan beberapa tokoh lainnya. Tokoh-tokoh tersebut dikenang karena gagasangagasan mereka yang diwariskan pada bangsa ini, karena kenegarawanan dan kecendekiawanannya.

Kehadiran dan peran karakteristik pemimpin-cendekiawan berubah total pada masa kekuasaan Orde Baru, 1966-1998. Selama 30 tahun Orde Baru, kecuali Soeharto, yang dominan adalah tipe kepemimpinan teknokratis, yang dalam batas tertentu sesuai dengan kategori Feith tentang “administrator”.

Berbeda dengan corak pemimpin era sebelumnya yang didominasi para politisicendekiawan, para pemimpin Orde Baru bukan politisi (tidak berasal dari partai politik) melainkan para ekonom teknokrat dan professional.

Mereka bekerja atas jaminan dukungan politik sepenuhnya dari Soeharto dalam suatu model kepolitikan-ekonomi yang disebut oleh Feith sebagai “rezim developmentalis-represif”.

Sesungguhnya masih diperlukan kajian lebih lanjut untuk membahas secara memadai karakteristik kepemimpinan masa Orde Baru khususnya kepemimpinan Soeharto, dan juga kajian terhadap para teknokrat pendukungnya.

Pasca Orde Baru yang ditandai sebagai era reformasi, muncul tipologi kepemimpinan nasional model baru yang sering dinamakan bercorak transaksional dan transformasional. Namun penamaan ini sesungguhnya belum mampu menjelaskan secara mendalam karakteristik kepemimpinan model apa yang ada.

Setidaknya dalam dua dekade terakhir, muncul fenomena kepemimpinan nasional model baru yang berasal dari partai politik. Dengan demikian, partai politik kembali menjadi sumber kaderisasi dan rekrutmen kepemimpinan nasional.

Pengamatan selintas atas corak kepemimpinan yang berasal dari partai politik dua dekade terakhir ini menunjukkan menonjolnya karakteristik kepemimpinan yang
transaksional pragmatis, namun kurang diimbangi dengan visi kebangsaan yang menjangkau ke masa depan.

Padahal kata Pontjo, kita semua memahami bahwa persoalan bangsa dan negara pada masa depan akan jauh lebih complex dan rumit, dan karena itu membutuhkan suatu tipe kepemimpinan nasional baru yang mampu mengantisipasi, mampu beradaptasi, dan mampu mengatasi persoalan-persoalan masa depan tersebut.

“Tentu menjadi tugas kita bersama sebagai warga bangsa untuk ikut memikirkan serta ikut mencari alternatif model-model kepemimpinan nasional yang sesuai dan dibutuhkan untuk masa depan,” kata nya.

Peserta FGD yang berbahagia,
Mencari pemimpin yang tepat untuk masa depan menjadi tantangan yang harus dijawab oleh bangsa ini. Sejumlah negara maju bahkan sudah melembagakan antisipasi mereka terhadap masa depan. Pelembagaan antisipasi terhadap masa depan dilakukan mengingat demikian pesatnya percepatan perubahan saat ini, sebagaimana bisa dilihat dalam berbagai “shifting” yang terjadi.

Mengantisipasi masa depan, oleh Bob Johansen disebut sebagai “get there early mindset”, yakni cara berpikir dan tekad untuk tiba (di masa depan) lebih cepat jika dibandingkan dengan siapa pun yang lain. Menurut Johansen, ini adalah soal kepemimpinan. Agar satu bangsa mampu membangun mindset dan tekad seperti itu, diperlukan pemimpin yang secara proaktif terus menyadari kemendesakan masa depan agar terhindar dari “kejutan” yang merugikan.

Donald Rumsfeld dalam bukunya
“Known and Unknown (2011)”,
mengindikasikan bahwa masa depan akan dipenuhi dengan tantangan di area yang “kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu (unknown-unknown)”, termasuk dinamika geopolitik yang berkembang dan berubah begitu cepat. Dinamika geopolitik berpengaruh langsung maupun tidak langsung pada kepentingan bangsa Indonesia, baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan keamanan nasional. Oleh karena itu, pemimpin bangsa masa depan dituntut pula memiliki wawasan geopilitik dan geostrategi.

Jenderal Nguyen Giap, konseptor dan arsitek pertahanan (semesta) Vietnam yang sukses mengusir Perancis pada 1954 dan Amerika Serikat pada 1975 adalah contoh pemimpin yang sangat memahami geopolitik dan geostrategi.

“Dia pernah mengungkap rahasia suksesnya: Kekuatan kami, baik defense (bertahan) maupun offensive (menyerang), kami dasarkan atas keadaan-keadaan yang nyata dari Vietnam.,” tutup Pontjo.

FGD yang dimoderatori oleh anggota Tim Penasehat KSP Manuel Kaisiepo tersebut menghadirkan narasumber Pakar Kebangsaan Yudi Latief, Ketua Dewan Pakar FKPPI Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakri dan Pengamat Sosial Politik Fachry Ali. (Vin)

About ervin nur astuti

Check Also

Cagub Ahmad Luthfi Canangkan 1 SMA Unggulan Per Kecamatan di Jateng

SOLO,KORANPELITA- Calon Gubernur Ahmad Luthfi mencanangkang 1 SMA unggulan per kecamatan di Jateng. Hal itu …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca