Pasca Pemilu Serentak, Harapan dan Realitas Demokrasi?

 

Oleh : Ruslan Abdul Gani

Pemilu serentak telah usai, dan kontestasi demokrasi terutama pileg 17 April 2019 lalu sinyalemen politik uang begitu masif. Harapan perhelatan demokrasi lima tahunan yang mengedepankan etika dan nilai, seperti panggang jauh dari api. Sangat kontradiktiv sebagai bangsa yang religius dengan Pancasila sebagai falsafah hidupnya? Tetapi kita berharap, wakil rakyat akan menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya.

Perhelatan demokrasi masih terjebak pada demokrasi prosedural dan masih abai pada demokrasi subtansial. Dimana pada tataran tampilan luarnya, seolah-olah demokrasi kita berjalan dengan baik.Pepatah latin yang mengatakan suara rakyat adalah suara Tuhan, begitu tidak dianggap dalam sinyalemen masifnya politik uang..Demokrasi yang berarti dari oleh dan untuk rakyat dibelenggu dugan jeratan praktik politik kotor.

Lantas salah siapakah dengan demokrasi yang penuh intrik ini? Apakah salah oknum yang berkontestasi menebar politik uang? Ataukah salah oknum pemilih yang akan memilih karena uang? Ataukah pula salah pada regulasi kepemiluan yang tidak implementatif dan tegas terhadap praktik politik uang itu? Dan kapan sinyalemen politik uang dalam kontestasi demokrasi diakhiri?

Menurut Refly Harun pakar tata hukum negara seperti dilansir media, kekurangan dan kecurangan pemilu sumbangan semua parpol dan anggota DPR. Pasalnya, mereka turut terlibat dalam pembuatan UU Pemilu yang lemah dalam penegakan hukum.

Karenanya, harus terbangun kesadaran kolektif sebagai bangsa untuk menghadirkan kontestasi demokrasi yang bersih , menjunjung nilai dan etika.Terlebih, wakil rakyat memiliki tiga fungsi strategis, bidang pengawasan, legislasi dan anggaran dalam mengelola pemerintahan . Di mana keputusan yang dibuat bersama eksekutif sangat berimplikasi pada kehidupan rakyat, daerah dan bangsa ini.

Andaikan ada oknum anggota legislatif yang tidak mementingkan rakyat, karena diduga terpilih dari praktik politik uang , dan disinyalir bisa saja bermain mata dengan oknum eksekutif dalam menyetujui program pembangunan dipembahasan anggaran. Padahal program pembangunan yang dilakukan itu, mungkin tidak skala prioritas, menyedot duit rakyat yang tidak sedikit dan bukan hal yang dibutuhkan masyarakat. Tapi diduga bagian dari skenario oknum mafia proyek yang mengejar fee dan rente?

Disinyalir “ perselingkuhan” semacam ini hanya mengedepankan kepentingannya, yang mengorbankan kesejahteraan rakyat, daerah dan Negara. Jadi jika ada proyek yang aneh-aneh dengan anggaran besar yang bukan skala prioritas dan tidak dibutuhkan rakyat, adalah wajar dipertanyakan. Karena selain yang digunakan duit rakyat , sejatinya pemangku kekuasaan tertinggi itu berada pada kedaulatan rakyat.

Rakyat tidak membutuhkan belas kasihan dari pemegang kekuasan eksekutif dan legislativ yang diberi amanah itu.Melainkan sebuah kewajiban yang harus dijalankan sebaik-baiknya memperjuangkan kesejahteraan rakyat, daerah. Negara dan bangsa ini . Bukan mengkhianati amanat penderitaan rakyat, memperkaya diri dengan menghalalkan segala cara. Realitas itu terpotret dari banyaknya kalangan politisi, baik yang dari eksekutif dan legislativ, ditambah kalangan dari yudikatif, profesi lain , pengusaha dan kalangan swasta lainnya yang jadi pesakitan penegak hukum termasuk jadi pesakitan KPK, karena masuk dalam kasus lingkaran korupsi.Akibatnya, rakyat seperti kehilangan contoh keteladanan untuk hidup bersih yang mengedepankan nilai dan etika.

Pencanangam revolusi mental oleh Presiden beberapa waktu lalu , merupakan sebuah pengakuan dan otokritik bahwa sebagai bangsa menghadapi persoalan serius terdegradasinya masalah integritas yang harus dibenahi dalam dimensi ruang dan waktu. Sebagai bangsa yang menjunjung nilai, etika dan keberadaban. Ada pepatah yang mengatakan, dalam hidup kita harus menggunakan dua cermin, yang satu untuk melihat kelebihan orang lain dan yang satunya untuk melihat kekurangan kita. Begitulah juga selayaknya melihat kontestasi demokrasi liima tahunan yang digelar. Jika terdapat banyak kelemahan, mari sebagai bangsa kita perbaiki kualitas demokrasi dengan mengedepankan demokrasi subtansial.
Faktor penegakan hukum yang tegas dengan didukung regulasi kepemiluan yang lebih baik , dan ingin menuju perhelatan demokrasi yang bersih.

Merupakan prasyarat terbangunnya pemilu yang mengedepankan nilai dan etika. Sehingga sinyalemen masifnya politik uang secara perlahan oleh waktu akan tergerus. Selain itu merupakan tanggungjawab pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang lebih baik, dan kualitas pendidikan rakyat yang lebih mumpuni. Sehingga akan lebih independen dalam memilih dikontestasi demokrasi, tidak tergoda oleh iming-iming dan politik uang.
Ongkos politik dalam perhelatan demokrasi kita bisa dibilang mahal.

Bayangkan untuk mendapatkan dukungan dari sebuah parpol berlaga dalam perhelatan demokrasi disinyalir harus membayar uang mahar yang tak sedikit. Belum lagi menyangkut logistik menghadapi kontestasi demokrasi itu, termasuk sinyalemen politik uang. Diduga ada yang mencari dukungan finansial dari pemilik kekuasaan kekayaan dengan deal-deal dan komitmen tertentu. Bukankah tidak ada makan siang yang gratis?

Semoga kian kedepannnya, demokrasi kita bukan lagi antara harapan dan realitas? (Pemerhati Sosial Politik, tinggal di Sampit)

About redaksi

Check Also

PNS Kodiklatal Surabaya Gelar Aksi Donor Darah dalam Rangka HUT KORPRI ke-53 Tahun 2024

Surabaya, koranpelita.com Menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) ke-53 Tahun 2024, …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca