Oleh : Imam Shamsi Ali, Presiden Nusanatara Foundation
Melemahnya spiritualitas kehidupan manusia dan menguatnya tendensi material/fisikal kehidupan menjadikan manusia dalam esensi kemanusiaannya semakin mengecil. Salah satu indikasi itu adalah semakin minimnya “sense of compassion“ (rasa kasih sayang) di antara manusia.
Minimnya rasa kasih sayang itu menjadikan manusia kurang peduli lagi dengan sesama. Kepedulian dengan sesama ini biasa ditandai oleh dorongan atau motivasi untuk berbuat baik (being kind) kepada sesama.
Dalam bahasa agama “kindness” Atau kebaikan itu diekspresikan dengan beberapa kata. Ada kata “al-birru” seperti pada ayat: “bukanlah kebaikan itu sekedar menghadapkan wajah ke arah Timur atau Barat”. Juga dengan kata “al-Khaer” seperti dalam beberapa ayat Al-quran juga.
Namun kata yang lebih dominan dan populer adalah kata “al-ihsan”. Kata yang disebutkan berkali-kali dalam Al-Quran, seperti “wa bil waalidaen ihsana”. Dan secara khusus disebutkan dalam hadits Jibril: “wa maa al-ihsaan…dst”.
Kata “ihsan” (الاحسان) yang umumnya diterjemahkan dengan “kebaikan” yang diambil dari kata “ahsan-yuhsinu-ihsaan” sesungguhnya memiliki makna yang jauh lebih dalam. Ihsan juga mengandung makna “beauty” (husnun) atau keindahan dan kecantikan. Dengan demikian al-ihsan itu tidak saja melakukan kebaikan. Tapi melakukan kebaikan dengan penuh keindahan, baik secara batin maupun lahir.
Dari pemahaman yang lebih dalam dari kata ihsan itu kita diingatkan akan dua dimensi ihsan. Yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal.
Dimensi vertikal itulah yang diekspresikan di hadits Jibril: “hendaklah engkau menyembah Allah seolah engkau melihatNya. Dan jika engkau tidak sampai ke tingkat penglihatan (batin) itu, yakinlah jika Allah melihatmu”.
Ihsan secara vertikal seperti ini hanya akan bisa terjadi ketika hati/batin seseorang mencapai sifat keindahan yang baik. Hati yang yang mencapai tingkat keindahan itulah yang disebut “qalbun saliim” (hati yang selamat, bersih dan sehat).
Sementara dimensi horizontal ihsan itu sesungguhnya adalah ekspresi langsung dari ihsan versi vertikal. Orang yang hatinya bersih akan subur dengan rasa “compassion” (kasih sayang) tadi. Yang dengannya akan mudah tergerak untuk melakukan kebaikan terhadap sesama.
Salah satu wujud nyata dari qalbun saliim itu adalah hilangnya rasa “ghill” (sakit hati) kepada sesama. Dan karenanya orang beriman itu karenanya hatinya bersih terjadi koneksi rahmah (ruhamaa baenahum). Sebaliknya jika hati kotor anak terjadi “ghillun” yang secara khusus dimintakan agar dijaga dariNya (wa laa taj’al fii quluubina ghillan).
Bulan Ramadan ini sesungguhnya bulan “riyadhoh batiniyah” (latihan qalbu) menuju kepada qalbun saliim tadi. Mengesampingkan makanan dan minuman sesungguhnya adalah bentuk komitmen untuk meminimalisir dominasi material dan fisikal yang menjadi kendaraan tendensi egoistik yang tinggi.
Sehingga dengan puasa ini hati semakin luas dan bersih. Yang menjadikan rasa kasih sayang itu semakin meninggi. Dengan kasih sayang itulah akan tumbuh dorongan untuk ihsan, baik pada tataran vertikal maupun juga pada tataran horizontalnya.
Berbuat baik atau ihsan dalam kacamata Islam hendaknya juga dipahami tanpa batasan-batasan kemanusiaan. Karena berbuat baik dalam Islam itu landasannya adalah “rahmatan lil-alamin”. Berbuat baik untuk semua alam semesta, termasuk kepada kolega-kolega non Muslim bahkan non-human sekalipun.
Itulah salah satu makna firman Allah: “dan berbuat baiklah kamu sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu”. Allah berbuat baik kepada hamba-hambaNya tanpa batas. Makan, minum, nafas dan semua fasilitas dunia diberikan baik kepada yang beriman maupun yang kafir. Itulah juga kebaikan yang Allah perintahkan kepada kita.
Semoga Ramadan membangun sisi keberkahan dalam bentuk dorongan untuk semakin berbuat baik kepada sesama. Insya Allah.(***)