Dua jam, kami lelap didekap bumi Aussie. Tanpa mimpi, tanpa deru kendaraan. Dua jam yang nyaman, meski tidur di rumah petak.
Begitu bangun teringat itenerary yang sudah disusun si bungsu. Tentunya sisa waktu siang yang masih panjang, sayang jika tak diisi dengan menjelajah kota terbesar di Australia. Jadi, ayo ngabuburit.
Naik MRT. Setelah berjalan lima menit, kami sampai di Redfern Station. Anak-anak membeli tiket setelah mempelajari di mana stasiun yang akan dituju. Dan, tujuan pertama di hari pertama, adalah botanical garden dan opera house.
Dengan MRT, kami dbawa dari Redfern Station hingga Marthin Place Station. Moda transportasi berikutnya adalah kaki sendiri-sendiri. Untungnya, untuk urusan ajalan kaki, saya ditempa alam dalam kurun panjang selama di Nganjir dulu: Ngarit, jalan kaki berkilo-kilo, mencari rumput di tempat-tempat yang jauh karena yang dekat-dekat sudah punah.
Menapaki jalanan kota Sydney, terasa nyaman tanpa mengeluarkan keringat. Lagi-lagi ingatan saya dibawa ke masa silam, karena di Nganjir itu meski jalan kaki jauh tetap adem oleh hawa nggunung yang dingin. Sayangnya, hujan turun makin deras sehingga acara ke botanical garden harus dibatalkan.
Kami lalu berbelok ke arah opera house yang legendaris. Jalan menuju tempat ikonik ini, seperti sengaja dibuat menyenangkan. Melalui selasar pertokoan yang menjaja souvenir dan restoran yang menghadap langsung ke dermaga. Juga bisa melihat sekaligus menganggumi jembatan Sydney Harbour Bridge yang masyur itu.
Dengan menyusur selasar, memang banyak yang bisa dilihat, selain terhindar dari rinai hujan yang seperti datang dan pergi. Berjalan di tempat ini, juga terhindar dari terpaan dingin angin yang membuat telinga terasa beku.
Saat hujan mereda, ada jeda untuk memahat suasana. Seperti berkejaran dengan hujan, kami mengabadikan momen puasa hari ke-29 dengan latar belakang Sydney Harbour Bridge atau opera house yang ikonik. Ini adalah momentum yang wajib potret dengan sebanyak mungkin jepretan supaya bisa ketemu pose yang paling riang.
Akhirnya, tidak sekadar jeda, kami memutuskan untuk berlama-lama di destinasi utama para pelancong jika berkunjung di kota Sydney, Australia. Kami juga mencicipi lezatnya sajian makan malam saat buka puasa tiba. Bukankah semua makanan itu lezat di saat berbuka puasa?
Benar. Waktu buka puasa di Australia memang lebih cepat karena datangpada pukul 16.55 waktu Sydney. Inilah yang dikatakan anak-anak (saat memutuskan Australia sebagai tujuan numpang mudik) bahwa waktu puasanya lebih cepat. Suatu saat, tentu pengalaman berpuasa lebih panjang, juga harus dilewati. Supaya, anak-anak belajar bersyukur lahir sebagai muslimah tanah Nusantara yang dikaruniai waktu sangat hemat untuk berpuasa.
Waktu dipacu dalam irama yang terasa melambat. Barangkali karena sambil menikmati buka puasa dalam terpaan dinginnya udara Sydney. Memang, kami ingin menikmati suasana Sydney Harbour tapi sebenarnya tidak pernah membayangkan harus melawan dingin yang menggigit.
Jadi, segeralah kami selesaikan acara buka puasa untuk memerangi tubuh yang menggigil dengan bergerak, mengayunkan langkah, mencari posisi yang ideal untuk menikmati pertunjukan cahaya. Ya benar. Sydney sedang ada acara yang bertajuk Vivid Sydney yang digelar mulai pukul 18.00 sampai pukul 23.00.
Dan, di bawah malam yang temaram, ditingkah lampu-lampu yang berkerlip, Opera House berubah menjadi layar lebar yang disorot lampu indah. Gambar-gambar yang menakjubkan menari, dalam tata gerak yang sangat indah. Berubah dari saat ke saat.
Dari sisi yang lain, sebuah museum juga dihiasi lukisan cahaya, lengkap dengan berbagai tulisan yang berasal dari permainan cahaya yang ditembakkan ke gedung itu. Sydney Harbour Bridge tidak ketinggalan, dililit lampu yang bergerak dan berubah warna. Betul-betul sangat indah.
Masih banyak lagi stand-stand seperti stand celullar phone terkenal dari Korea Selatan misalnya yang menampilkan permainan cahaya dan permainan lainnya yang membuat orang berdecak kagum. Di the Rocks bahkan ada pertunjukan film animasi dengan layar bagian bawah dari jembatan layang yang saat kita menontonnya harus dengan tiduran di jalan di bawah jembatan. Sensasi yang berbeda tentunya. Untuk menikmati Vivid Sydney ini tidak ada tugas seorang ayah yang harus dikerjakan karena semuanya gratis. Tidak mbayar. Hanya saat akan menikmati kopi atau cokelat panas untuk mengusir dingin tugas sang ayah baru muncul.
Malam makin larut. Kami harus kembali untuk sholat Magrib dan Isya yang terpaksa dijamak. Setelah itu, pulang, istirahat agar esok hari tidak kesiangan bangun untuk sahur. Rasanya, mimpi tentang Vivid Sydney harus disimpan sebagai teman tidur di tanah air nanti.
Kembali menempuh route yang sama dengan route saat berangkat dengan MRT, kami sampai kembali ke Redfern Station. Mampir membeli bahan yang akan dimasak untuk sahur, kami ketemu Indomie, mie instan goreng mendunia buatan pabrik di Indonesia. Seketika, saya membayangkan, lengkap sudah suasana rumah petak kami di Sydney yang akan berhias mie goreng, saat sahur nanti.
Sudah. Hari pertama sukses. “Istirahat harus cukup agar perencanaan perjalanan di hari kedua tidak ada yang terlewat.” Demikian pesan sang tour guide.
“Siap laksanakan Ms. Tour Guide,” kata kami bertiga serempak, kompak, lalu tertawa menyudahi piknik yang menyenangkan. (bersambung)