Kulonuwun, Nami Kulo Sumarjono. Perkenalkan dan perkenankan, saya menuliskan ini. Menuliskan perenungan yang di malam-malam sangat larut saya buat, saat pertama saya datang ke Semarang pada pertengahan Februari 2023 lalu.
Saya agak terkejut ketika ditugaskan oleh pimpinan Otoritas Jasa Keuangan, untuk ke Semarang. Makdeg. Kaget yang membuat saya langsung menerung. Rasanya, maktratap. Berdebar-debar yang bukan gundah tapi bersemu bungah.
Tak ada firasat jika Semarang akan menjadi kota tempat saya berkarya selanjutnya. Mungkin pimpinan melihat saya tengah berada pada zona nyaman. Dan, hal ini tak baik jika berlama-lama.
Sebuah proses interviu saya lalui. Saya meyakini pimpinan sedang menggali potensi yang kadang tersembunyi. Sejatinya interviu itu, juga tak mengarah untuk menjadi pimpinan OJK di daerah. Saya menduganya yang lain. Tapi saat kemudian tugas itu diberikan, saya yakin banyak pertimbangan pimpinan dalam menetapkan sebuah keputusan. Jadi, sudah semestinya, saya menjalankan tugas sebaik-baiknya agar memenuhi, atau bahkan melampaui harapan pimpinan.
Maka, hari ini, saya memulai hari dengan menyapa kota, yang bagi saya memiliki arti tidak sedikit. Minimal, saya pernah memimpikan bisa menetap agak lama di Semarang. Hanya saja, jalan menuju mimpi itu, berliku. Saya harus diputer-puter nasib di banyak tempat. Padahal, jarak Kulon Progo dengan Semarang, sangat dekat. Tapi nyatanya, Semarang, terlampau jauh dari rengkuh.
Sering saya ngungun. Terheran-heran oleh tapak kaki yang seperti terlempar begitu jauh. Saya lahir di Kulon Progo. Dari kecil sampai remaja di kota kabupaten paling barat Jogja itu. Begitu selesai SMA, ternyata peruntungan tidak membawa saya ke Semarang. Jangankan ke melanjutkan sekolah ke Semarang, ke Jogja pun tidak. Sebab, saya justru dibawa lebih menjauh dari rumah: ke Bandung.
Ya sudah. Semarang sementara hanya samar-samar saya angankan. Apa boleh buat, setelah kuliah di Bandung, jalan hidup membawa ke Jakarta, tempat yang dari zaman dahulu kala, tak pernah terbayangkan. Tapi faktanya, begitu tiba di Jakarta, saya seperti diberi temali untuk tidak bisa lari. Bersama itu, semua yang gegas, lekas membelenggu. Termasuk harapan bisa tinggal agak lama di Semarang.
Lalu apa sesungguhnya yang membuat saya terobsesi pada Semarang? Entahlah. Mboten ngertos. Selama ini, setiap kali mudik lewat jalur darat, pasti mampir ke kota di pesisir laut Jawa itu. Rasa-rasanya, seperti begitu saja, dibelokkan turun tol Semarang. Kemudian keliling-keliling kota, meski yang menyenangkan, kalau sudah sampai di kawasan kota lama.
Rasa senang bisa berwisata di seputaran Little Netherland, berubah menjadi berdebaran, saat sudah sampai di wilayah Tugu Muda. Biasanya, langkah langsung masuk ke Lawang Sewu yang kawentar itu. Tapi di sini, suasananya terasa tawar. Hati saya justru tertuju ke bangunan di seberang Tugu Muda. Nama gedung yang tak kalah tua itu, Wisma Perdamaian.
Tidak tahu kenapa, tapi seperti ada pertalian yang sulit dijelaskan. Mungkinkah, karena di tempat itu, selama sepekan, Kanjeng Pangeran Diponegoro pernah singgah? Barangkali saja, tapi jangan ditanya serupa apa pertaliannya dengan hati saya yang berdebaran.
Memang, dari hasil baca-baca ringkas, senopati Perang Jawa itu, pernah diinapkan di bangunan tersebut, pasca penangkapnya di Magelang. Dari Wisma Perdamaian (dulu menjadi rumah dinas pejabat VOC), njeng pengeran dibawa ke Batavia, sebelum diberangkatkan ke Manado. Konon, persinggahan sang pangeran terjadi tanggal 29 Maret 1830 sampai 5 April 1830.
Walaupun tawanan perang, Kompeni tidak berani memperlakukan putra Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II itu, secara sembarangan. Posisi tinggi pangeran yang ketika muda bergelar Bendara Raden Mas Antawirya ini, yang membuatnya ditempatkan di rumah dinas seorang pejabat tinggi VOC.
Sejak sampai di Semarang 29 Maret 1830, Pangeran Diponegoro memulai sebuah perjalanan penting dalam hidupnya. Perjalanan spiritual yang tidak main-main, setelah melewati tahun-tahun pertarungan selama memimpin perang Jawa 1825-1830. Dalam perang yang menguras energi Kompeni ini, njeng pangeran menjalani hidup berat, keluar masuk hutan, lari dari satu tempat ke tempat lain, bergerilya, bersembunyi, dan terus bertarung.
Akhir dari perjuangan sang Diponegoro, terasa anti klimaks, karena tragedi penangkapan yang penuh muslihat. Sejak itu pula, seluruh prajurit hingga keturunannya harus terus bersembunyi. Termasuk menyembunyikan identitasnya, agar tetap selamat. Selanjutnya, anak-cucu Diponegoro hanya bisa dilacak oleh orang-orang tertentu, lewat pohon sawo dan kemuning di sekitar rumahnya.
Setelah penangkapan yang dilanjutkan fase pengasingannya, bangsawan Keraton Ngayogyokarto ini, justru menemui hidup yang lebih teratur. Walaupun berada dalam tahanan, selama 21 tahun pembuangannya yang sangat jauh dari tanah Jawa, banyak karya sangat menumental ditulis sebagai tonggak ketokohannya yang tak tertandingi.
Di Manado dan Makassar, Pangeran Diponegoro menjalani hari-hari pembuangannya dengan tetap berjuang. Perjuangan berbeda yang tidak keluar-masuk hutan, mengangkat senjata, serta bertarung demi ideologi. Melainkan, berjuang lewat tulisan-tulisannya yang hingga kini, menjadi warisan penting sejarah.
Tapi begitulah. Semua memang serba singkat (itupun sebagai tahanan rumah), tapi nama Diponegoro begitu spesial di Semarang, sehingga banyak dipakai untuk nama-nama penting. Misalnya saja, Universitas Diponegoro serta Kodam Diponegoro.
Sementara bagi saya, Semarang memang sudah sejak lampau, membuat silau. Silau oleh kekaguman bahwa kota ini, memiliki banyak sisi menarik. Dan, mulai hari ini, 2 Maret 2023 (berjarak 193 tahun kurang 27 hari dari awal perjalanan baru Pangeran Diponegoro pasca perang Jawa), saya juga memulai sesuatu yang baru dari Semarang.(*)