Oleh: Dr Martien Herna Susanti
Perkembangan demokrasi desa sangat menarik untuk dikaji secara mendalam, karena terdapat berkali-kali perubahan regulasi terkait masa jabatan kepala desa berikut persyaratannya. Hal ini dapat dilihat dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Daerah dimana kepala desa memiliki masa jabatan selama 8 (delapan) tahun, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah masa jabatan kepala desa 5 (lima) tahun selama dua periode, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah masa jabatan kepala desa 6 (enam) tahun selama dua periode dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa atau UU Desa masa jabatan kepala desa 6 (enam) tahun selama tiga periode. Kini di awal tahun 2023 berkembang wacana 9 (sembilan) tahun selama dua periode.
Di antara regulasi di atas, UU Desa mengatur syarat jumlah calon, minimal tiga dan maksimal lima calon untuk dapat dilaksanakannya Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Perubahan ini sesuai dengan pendapat Joseph A. Schumpeter (2008) tentang metode demokrasi yaitu suatu pengaturan institusional untuk mencapai keputusan politik, dimana individu mendapatkan kekuasaan melalui perjuangan kompetitif mendapatkan suara pemilih.
Semangat dari UU Desa ini mengembalikan dan mengembangkan otonomi asli desa melalui penegasan kembali terhadap ununiformitas desa, sekaligus memiliki makna sebagai konservasi sosial yakni perlindungan atas keanekaragaman, partisipasi, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat sesuai nilai-nilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Partisipasi demokratis yang dimiliki masyarakat desa selama ini, menunjukkan komitmen yang luas maupun hubungan horisontal kepercayaan (trust), toleransi, kerjasama, dan solidaritas yang disebut Putnam komunitas sipil (civic community). Aspinall (2017), Village Head Elections in Java: Money Politics and Brokerage in The Remaking of Indonesia’s Rural Elite menyebutkan, bahwa pemilihan kepala desa benar-benar dilakukan secara kompetitif. Para kandidat harus mencurahkan sumber daya jaringan, kreativitas intelektual, upaya fisik dan kekayaan materi untuk menarik dukungan penduduk desa.
Beratnya kompetisi yang harus dilalui kontestan dalam Pilkades menjadikan wacana masa jabatan kepala desa, dari enam tahun kali tiga periode menjadi sembilan tahun dua periode jabatan menemukan jalannya.Terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan secara hati-hati terkait persoalan di atas.
Tidak dapat dipungkiri tuntutan lamanya masa jabatan kental dengan nuansa politis layaknya politisi yang oleh Beniers dan Robert Dur (2007), ketika politisi berbicara tentang motif mengejar karir politik, mereka jarang menyebutkan kepentingan pribadi seperti keinginan akan kekuasaan, prestise, dan gaji. Sebaliknya, mereka merujuk pada pengabdian mereka kepada masyarakat, komitmen dan tanggung jawab mereka kepada kepentingan bangsa dan negara.
Tidak Sesuai UUD 1945
Jika dirunut dari sumber hukum yang ada, maka tampak wacana di atas tidak sesuai dengan pasal 7 UUD 1945 hasil Amandemen, yang mengatur masa jabatan presiden 5 (lima) tahun dan dibatasi dua periode. Pembatasan kekuasaan lembaga tinggi negara ini sudah konstitusional, artinya presiden maksimal 10 tahun, begitupun masa jabatan Bupati dan Gubernur. Amandemen UUD 1945 yang lahir di masa reformasi dimaksudkan agar tidak terjadi abuse of power.
Pembatasan masa jabatan di atas rupanya sangat berbeda dengan aturan yang ada di dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya pasal 39 terkait masa jabatan Kepala Desa. Dalam pasal tersebut masa jabatan kepala desa relatif lebih lama dibandingkan dengan jabatan eksekutif di pemerintahan supra desa, yaitu 6 tahun dan dapat dipilih lagi sampai tiga periode, artinya kepala desa dapat menduduki sebagai orang nomor satu di desa sampai dengan delapan belas (18) tahun.
Terlepas dari pro kontra atas wacana ini, mengutip pendapat Robert Dahl (1998), bahwa hanya pemerintahan demokratislah yang dapat memberikan kesempatan untuk menjalankan tanggung jawab moral perlu menjadi komitmen semua pihak.
Martien Herna Susanti, pengajar Ilmu Politik UNNES