Jakarta,Koranpelita.com
Pembudayaan kegemaran membaca dan peningkatan literasi tidak bisa hanya mengandalkan segelintir pihak. Keberadaan perpustakaan, taman baca, dan sejenisnya hanyalah bersifat dukungan. Justru dari semua pondasi yang dibutuhkan dalam menumbuhkembangkan kebiasaan tersebut, pondasi utama sesungguhnya berasal dari keluarga.
Ketua Bidang Pendidikan dan Peningkatan Ekonomi Keluarga Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Pusat Ninuk Triyanti menyatakan gerakan pembudayaan kegemaran membaca dari keluarga harus dilakukan sehingga menjadi solusi akan rendahnya tingkat membaca masyarakat Indonesia. Ini menjadi pekerjaan rumah (PR) organisasi PKK, yakni mengkondisikan masyarakat mulai dari anak-anak dapat gemar membaca dan cerdas berliterasi.
“Biarkan anak memilih sendiri buku yang diinginkannya dan hidupkan kegiatan membaca sehingga menjadi kegiatan yang menyenangkan,” ujar Ninuk pada Talk Show 21 Tahun kiprah organisasi Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) dan Peluncuran Keluarga Baca Nasional di Jakarta, pada Senin, (21/11/2022).
Begitu krusialnya peran keluarga sampai segala sesuatu yang diawali dari keluarga akan berakar kokoh tertanam pada anak.
Dosen PAUD Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Adiyati Fathu Roshonah mengutip yang disampaikan pencetus Teori Ekologi Urie Bronfenbrenner, mengatakan perkembangan individu dalam interaksinya dengan lingkungan di luar dirinya secara terus-menerus akan mempengaruhi segala aspek perkembangannya. “Hal ini juga berlaku ketika dialami oleh anak,” imbuhnya.
Di era saat ini, tantangan membiasakan budaya baca di keluarga nampak semakin berat. Di tambah masifnya pengaruh gadget pada anak dan berseliweran berita hoaks, mau tidak mau para orang tua pun dituntut harus cerdas.
Dunia digital memang sedikit banyak mempengaruhi pembentukan karakter anak sehingga orang tua harus beradaptasi, belajar bermain digital agar anak melek dalam literasi digital secara benar.
Ada empat kecakapan yang dapat dikuasai untuk mengenalkan dan mengajarkan literasi digital kepada anak, yaitu digital etic, digital skill, digital culture dan digital safety.
“Anak-anak bisa diajar berkreatif dengan melihat konten-konten membaca yang dibuat para influencer secara menarik. Alih-alih justru mengasah bakat anak sebagai content creator,” tambah Dosen Pascasarjana UMJ Dirgantara Wicaksono.
Sementara itu, Ketua Umum GPMB Tjahjo Suprajogo menjelaskan untuk menciptakan inovasi dan kreatifitas tidak harus dengan biaya besar. Pun dengan suasana keaksaraan yang tidak harus dibangun dengan buku-buku yang mahal.
Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando menerangkan pasal 48 Undang-undang Perpustakaan bagaimana peran keluarga bersama satuan pendidikan dan masyarakat dengan jelas, yaitu menggerakkan kegiatan membaca. Bahkan, sejak diproklamirkan merdeka tidak ada pemimpin negara di Indonesia yang tidak menempatkan membaca pada program prioritas pembangunan.
Kehidupan masyarakat yang cerdas ditandai dengan meningkatnya budaya kegemaran membaca sebagai modal dasar pembangunan yang seiring dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Nyatanya, setelah masyarakat tumbuh mengakar dengan budaya tutur (lisan) yang terjadi berikutnya malah terpaan media elektronik dan media sosial (medsos) mempengaruhi semua lini perilaku kehidupan masyarakat. Akibatnya, masyarakat yang belum kokoh berbudaya baca dan menulis, jadi mudah menghujat, berkomentar dengan bahasa yang buruk.
“Netizen Indonesia termasuk buruk di dunia karena dari budaya tutur langsung ke budaya medsos tanpa melalui budaya tulis,” jelasnya.
Syarif Bando melanjutkan, di dalam budaya baca manusia diajarkan mengenal ilmu pengetahuan. Sedangkan, dalam budaya menulis akan tertanam cara berpikir yang logis dan terstruktur. “Jika tidak terbiasa membaca, maka akan sulit menulis,” pungkas Syarif Bando. (Vin)