NKS Menulis Angguk: Pertunjukan Haru-biru dari Pripih

Jika ingin healing, ketemu kaum difabel bisa menjadi hal yang penting. Tak hanya bahagia yang didapat, tapi rasa syukur bercampur haru. Haru yang memenuhi kalbu.

Saat  saya pulang kampung halaman menjelang Ramadan, mendapatkan semua itu.  Senang, karena sekalian menghadiri undangan ulang tahun kedua Sahabat Ngopi Kulon Progo (SNKP).  Inilah komunitas kreatif anak-anak muda Kulon Progo di perantauan.

Nah, tempat yang dipilih untuk merayakan hari bahagia itu, terasa istimewa. Berada agak jauh dari kota Wates.  Karena harus melewati jalan yang tak lagi mulus. Tempat ini merupakan wadah untuk berkarya para pecinta seni. Termasuk kaum difabel yang hobi tari angguk.

Namanya Sanggar Sripanglaras. Lokasinya di Pripih, Hargomulyo, Kokap, Kulon Progo. Sanggar ini dipimpin penggiat seni Pak Surajiyo dan Bu Sri.

Sebelum dimulai pentas angguk, tetamu dihibur lantunan merdu suara Rani. Anak kelas VI SD ini, duduk di panggung seperti tanpa ekspresi, cenderung kaku. Ia memangku gitar. Kemudian, secara perlahan,  jemarinya menghasilkan suara yang lembut.

Saya mendengar dengan haru. Benar-benar haru, sampai tak terasa air mata saya menetes melihat dan mendengar perfomance Rani. Bayangkan. Rani yang tunanetra itu mahir memainkan gitar.  Sembari menyanyi.

 

Itu, berbeda dengan saya yang hanya bisa “menyumbangkan” lagu. Membuat lagu yang semestinya merdu, justru sumbang tanpa bisa didengarkan dengan enak.

Di awal acara, Mas Indrajid penyiar radio Megaswara yang malam itu berperan sebagai pembawa acara, mengenalkan para penabuh gamelan dan penyanyi angguk. Penabuh gamelan dan penyanyi hampir seluruhnya tunanetra. Hanya ada tiga pendamping yang sekaligus mentor mereka yang tidak tuna netra.

Ketika diminta untuk mengenalkan diri, Rafa, anak tunanetra termuda yang memiliki suara merdu, mengaku bercita-cita menjadi MC kondang, menjadi penyiar radio menyaingi sang pembawa acara. Rafa memang mengidolakan Mas Indrajid.

Satu per satu adik-adik penabuh gamelan memperkenalkan diri lengkap dengan mimpi yang ingin diraihnya nanti. Lagi-lagi, ada rasa haru mendengar bagaimana adik-adik kita ini bercerita tentang cita-citanya. Saya mendengar suara mantab menatap masa depan mereka. Tak peduli kendala yang merintangi.

Di hadapan Ketua DPRD Kulon Progo, Sahabat Ngopi Kulon Progo, Sedulur NKS, KPDJ, dan tamu undangan lainnya, adik-adik penabuh gamelan memperkenalkan diri.  Dengan lantang mereka menyebutkan ingin menjadi ASN, wiraswasta, ataupun penyiar.  Salah seorang adik difabel yang kreatif itu, menyebut ingin berguna bagi nusa dan bangsa serta tak menjadi beban orang lain.

Kekaguman bukan hanya pada adik-adik penabuh gamelan ini saja, namun pada pemilik sekaligus pelatih di Sanggar Sripanglaras.  Mereka mendedikasikan diri untuk memotivasi dan mendidik hingga optimisme dan rasa bahagia terpancar dari raut wajah mereka.

Pak Surajiyo dan Bu Sri rela menjemput adik-adik ini dari rumah ke rumah, menuntun dan membimbing mereka hingga muncul rasa percaya diri dan mahir.

Saat diberi kesempatan untuk memberikan sambutan, saya mengenalkan diri sebagai NKS.  Saya cerita tentang masa kecil yang kurang percaya diri karena minder dengan keterbatasan dalam hal ekonomi, apalagi saat menapaki bangku SMP dan SMA yang temannya lebih banyak yang  berasal dari keluarga berada.

Namun di tengah semua kesulitan itu, saya tekad kuat bisa terus sekolah, bahkan hingga ke luar negeri. Ini yang membuat semangat berlipat-lipat. Dan, mimpi itu terwujud.

Pesan yang ingin saya sampaikan pada adik-adik untuk terus merawat mimpi dan bersungguh-sungguh mewujudkannya. Percayalah bahwa sukses itu adalah hak semua orang yang berkeras hati meraihnya.

Kepada Ibu Ketua DPRD Kulon Progo saya menitipkan pesan kiranya adik-adik ini terus diperhatikan. Yang sering sengaja dilupakan adalah hak mereka yang dijamin oleh Undang-Undang. Perusahaan, apalagi lembaga pemerintah, wajib mempekerjakan kaum difabel dalam prosentase tertentu dari jumlah pegawai yang ada.

Tak lupa saya mengucapkan terimakasih kepada Pak Surajiyo dan Bu Sri yang dengan hati, tenaga, fikiran, dan harta pribadi mendidik adik-adik agar bisa mandiri dan berprestasi. Saya merasa tak ada apa-apanya dibanding keikhlasan mereka berdua dalam membimbing adik-adik difabel.

Tak lama kemudian persembahan tari angguk dari adik-adik tuna rungu dan tuna wicara dimulai. Lagi-lagi ada rada haru bercampur heran. Bagaimana bisa adik-adik ini menari mengikuti irama gamelan padahal mereka tak bisa mendengar.

Tak terasa hari mulai merangkak malam. Cukup buat saya memetik banyak pelajaran melalui sebuah hiburan. Mata hati (dan telinga hati) jauh lebih tajam melihat dan mendengar kebenaran daripada lengkapnya indera penglihat dan pendengar.

Salam NKS

About NKS

Check Also

TNI AL BERSAMA BPK RI LAKSANAKAN TAKLIMAT AKHIR PEMERIKSAAN TERINCI KINERJA DAN TAKLIMAT AWAL PEMERIKSAAN INTERIM ATAS LK KEMHAN TNI TA 2024 DI CILANGKAP

Jakarta, koranpelita.com TNI AL bersama Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) melaksanakan Taklimat Akhir …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca