Jakarta,Koranpelita.com
Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendorong Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI untuk berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait dalam pengadaan formasi dan afirmasi bagi tenaga pustakawan, baik PNS maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), di pusat maupun di daerah.
Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, bahwa sejatinya kebutuhan akan formasi pustakawan sangat dibutuhkan dalam upaya pelaksanaan akreditasi perpustakaan. Sehingga afirmasi kebutuhan pustakawan harus diusulkan kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PANRB).
“Kenapa tidak kita mengejar afirmasi untuk PPPK pustakawan secara khusus misalnya? Sehingga nanti kalau bicara soal mau melakukan akreditasi terhadap perpustakaan, sudah ada pustakawannya jadi tinggal nambahin sedikit untuk jadi asesor,” ungkap legislator dari Fraksi PKS tersebut, dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara Perpusnas dan Komisi X DPR RI, Kamis (7/4/2022).
Menanggapi hal tersebut, Kepala Perpusnas, Muhammad Syarif Bando, menjelaskan pihaknya telah mengajukan secara tertulis kepada Kementerian PANRB untuk penambahan tenaga PPPK pustakawan. “Untuk penambahan tenaga, kami sudah menyurat kepada Kementerian PANRB terkait penambahan tenaga PPPK. Mudah-mudahan nanti ada jawabannya dari sana,” jawabnya.
Sementara itu, legislator Illiza Sa’aduddin Djamal, mengemukakan pelaksanaan Undang-undang No. 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam (SSKCKR) yakni pengolahan hasil SSKCKR harus dilakukan sesuai dengan standar pengelolaan koleksi serah simpan yang ditetapkan oleh Perpusnas. Lebih lanjut, dia mempertanyakaan terkait standardisasi yang dipakai oleh Perpusnas.
“Kami ingin tahu standardisasi yang dipakai, dan kemudian jika ada dokumen yang sifatnya menjadi kerahasiaan negara apakah juga bisa diakses untuk dan atau pihak tertentu saja?,” tanya Iliza.
Menjawab pertanyaan itu, Kepala Perpusnas menerangkan bahwa standar yang digunakan dalam pengolahan hasil SSKCKR sudah sesuai dengan yang dilakukan secara internasional. Namun, ada perbedaan dalam urusan penempatannya.
“Pengelolaan karya cetak dan karya rekam yang dilakukan sama dengan standardisasi yang berlaku secara internasional. Tetapi memang hanya penempatannya yang dilakukan secara khusus karena menyangkut masalah copy right,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, sejumlah legislator menyebut bahan bacaan di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (3T) belum tersebar secara merata. Legislator Partai Nasdem, Ratih Megasari Singkarru, menegaskan bahwa bukan masyarakat yang tidak memiliki keinginan untuk membaca. Namun, akses terhadap bahan bacaan yang tidak ada, sehingga dia mendorong Perpusnas mampu memfasilitasinya.
Selain itu, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS, Sakinah Aljufri, berharap daerah 3T dijadikan skala prioritas dalam hal penyediaan bahan bacaan. Hal ini didasari oleh potensi sumber daya alam (SDA) besar yang dimiliki oleh daerah 3T, namun sumber daya manusianya belum memiliki kemampuan yang cukup untuk mengolahnya.
“Apakah sama orang yang berpengetahuan dengan orang yang tidak berpengetahuan? Jawabannya tentu tidak sama, karena untuk mengetahui sesuatu dan untuk berpengetahuan mereka butuh baca,” tegasnya.
Sidang RDP digelar secara hybrid di Ruang Rapat Komisi X DPR RI. Gd. Nusantara 1 dan daring melalui Zoom serta kanal Youtube Komisi X DPR RI. (Vin)