Kekuatan Bangsa diukur dari Kemampuan Iptek Sebagai Faktor Primer Ekonomi

Jakarta,Koranpelita.com

Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) telah menyebabkan terjadinya transisi perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya (Resource Based Economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan ilmu pengetahuan dan teknologi (Knowledge Based Economy). Kekuatan bangsa diukur dari kemampuan Iptek sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing.

“Negara-negara seperti Finlandia, Cina, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Singapore, dan lain-lainnya dengan kebijakan dan strategi ekonomi berbasis pengetahuan terbukti memiliki keunggulan dan keuntungan kompetitif yang berkelanjutan. Keunggulannya tidak hanya pada tingkat daya saing global, tetapi juga pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan bagi penciptaan kesejahteraan,” ujar Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo pada FGD bertema Daya Beli Nasional Domestic Purchasing Power) untuk Mengembangkan Knowledge Based Economy) yang digelar secara virtual, Rabu (9/3/2022). Diskusi serial ini merupakan hasil kerjasama Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, dan Harian Kompas.

Pontjo mengatakan, Indonesia merupakan Negara yang kaya dengan sumber daya alam, namun menurut Gustav Papanek (2014) justru kekayaan alam ini yang membuat Indonesia terlena sehingga tertinggal untuk mengembangkan teknologi yang sering disebut sebagai “Penyakit Belanda” (Dutch Disease). Bahkan, Richard Auty (1993) menyebutkan bahwa negara negara dengan kekayaan alamnya seperti Indonesia mengalami paradoks “kutukan sumber daya alam (resources curse).

“Tentu Indonesia tidak boleh lagi terlena dengan kekayaansumberdaya alamnya, dan demi kemandirian (kedaulatan) dan kemakmuran bersama sudah seharusnya bangsa Indonesia mentransformasikan diri dari perekonomian berbasis ekstraktif, pertanian tradisional, dan manufaktur konvensional menuju ekonomi berbasis sains dan teknologi (Knowledge Based Economy),” pesanya.

Untuk itu, mendesak bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan penguasaan teknlologinya yang memang saat ini masih ketinggalan. Rendahnya penguasaan teknologi Indonesia dapat kita ketahui dari beberapa indeks yang dipublikasikan oleh berbagai lembaga internasional.

Dari diskusi yang lalu, ditengarai bahwa rendahnya penguasaan teknologi Indonesia antara lain disebabkan karena belum terbangunnya ekosistem yang kondusif bagi pengembangan sains dan teknologi, baik pada aspek regulasi, birokrasi, alokasi  sumberdaya, dan pengaturan kelembagaan. Sinergi dan kolaborasi kelembagaan “triple helix” antara perguruan tinggi/lembaga riset, pemerintah, dan dunia usaha juga belum menunjukkan kinerja yang memadai, sehingga sering kali hasil hasil riset tidak terhilirisasi dengan baik bahkan seringkali masuk ke dalam lembah kematian inovasi.

Daya beli nasional

Selain problem ekosistem inovasi, isu strategis yang juga harus mendapat perhatian sungguh-sungguh dari kita adalah isu “daya beli nasional (domestic purchasing power)” baik itu daya beli masyarakat maupun daya beli pemerintah (government expenditure)” yang merupakan kekuatan pendorong (driving force) bagi pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan. Oleh karena itu, sudah seharusnya “daya beli nasional” dikelola secara bijak untuk sebesar-besarnya kepentingan nasional.

“Saya yakin, semua negara pasti menggunakan purchasing power sebagai instrumen untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Amerika Serikat misalnya, selama periode pemerintahan Presiden Donald Trump (2017-2021) menerapkan kebijakan “America First” dengan aturan turunannya “buy American and hire American”. Kebijakan Trump ini, dibuat untuk melindungi kepentingan nasionalnya terutama kepentingan para pekerja dan keluarga Amerika untuk meningkatkan kesejahteraan,” jelasnya.

Dalam pengelolaan daya beli nasional, kita masih menghadapi berbagai persoalan dan hambatan, baik yang menyangkut kultur, hambatan birokrasi, kebijakan, regulasi, dll. Salah satu persoalan besar yang masih kita hadapi adalah masih berlangsungnya praktik kartel atau mafia pemburu rente (rent seeking) dalam bidang perekonomian/perdagangan di berbagai sektor.

Dari pengalaman beberapa Negara yang maju dalam pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan, kartel dan mafia seperti ini hanya bisa dilawan dengan penguasaan teknologi sehingga ruang dan waktu geraknya dapat diperkecil.

Dan untuk pengembangan teknologi harus didorong dengan pengelolaan daya beli nasional secara bijak dan tepat. Karenanya, daya beli nasional harus terus diperkuat dan diberi haluan atau diarahkan untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan.

Penggunaan daya beli nasional menjadi kunci bagaimana bangsa Indonesia mengatur rumah tangganya sendiri secara mandiri dan berdaulat untuk kepentingan nasional. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi penguatan daya beli nasional yang berpihak kepada kepentingan nasional termasuk untuk mendorong pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan. Jangan sampai daya beli nasional justru membunuh produksi kita sendiri.

“Pemerintah memang telah menerapkan kebijakan “substitusi impor (import substitution)” 35 % atau setara dengan Rp 152 triliun di tahun 2022 untuk mengurangi ketergantungan impor, sekaligus mendorong penguatan struktur industri dalam negeri. Kebijakan ini dimaksudkan sebagai salah satu instrumen pengendalian impor untuk memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri tumbuh dan berkembang guna meningkatkan daya saing bertarung di persaingan global. Dengan demikian, secara perlahan diharapkan akan mengurangi ketergantungan akan impor,” jelasnya.

Pontjo menjelaskan, niat pemerintah melalui kebijakan ini untuk meningkatkan nilai tambah domestik pada industri layak diapresiasi. Meskipun demikian, mengingat kebijakan substitusi impor mendapat proteksi dengan berbagai pengaturan (lisensi, pengenaan tariff maupun hambatan non-tarif), tidak mustahil program ini menjadi incaran pemodal pemburu rente yang tentu akan merugikan kepentingan nasional kita.

“Oleh karena itu, strategi pencapaian target substitusi impor tersebut perlu dirumuskan dengan sebaik-baiknya termasuk dalam pengalokasiaan sumber daya,” ujarnya.

Untuk membangun ekonomi berbasis pengetahuan yang mandiri dan berdaya saing, harus didukung pula dengan perubahan kultur menyangkut pola pikir dan perilaku.

Dari sisi pelaku usaha, mentalitas kebanyakan pengusaha kita yang ingin “serba instan, jalan pintas, dan cari gampangan” perlu bertransformasi menjadi “usahawan inovatif’ yang berkontribusi dalam mengembangkan inovasi teknologi nasional.

Sedangkan di sisi masyarakat, perlu ditumbuhkan kebanggaan dan kecintaan terhadap produk-produk dalam negeri. Dalam hal ini, kita bisa mencontoh Jepang yang masyarakatnya sangat loyal dan bangga dengan barang barang buatan negara mereka sendiri, sehingga nyaris anti dengan produk produk impor.

“Dengan mental kultural seperti ini, manfaat daya beli nasional akan dinikmati terutama oleh bangsa sendiri dan bukan oleh bangsa atau negara lain,” kata Pontjo. (Vin)

About ervin nur astuti

Check Also

Pengalaman Buruk Naik Singapore Airlines (SQ 897/950)

Jakarta, Koranpelita.com Pengalaman buruk dirasakan oleh Lauren Susilo dengan keluarga saat menggunakan jasa penerbangan Singapore …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca