Penulis : Priscila Carolina Mamonto
Mahasiswa Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Palangka Raya
Banjir yang terjadi sekitar awal bulan september 2021 di Provinsi Kalimantan tengah memberi dampak buruk yang besar bagi masyarakat, terutama pada aspek persediaan air bersih. Salah satu desa yang terkena dampak banjir adalah desa Baun Bango, kecamatan Kasongan, kabupaten Katingan. Banjir setinggi ±1,5 m menenggelamkan kaki rumah penduduk, bahkan sebagian besar memasuki rumah.
Genangan air dari sisa banjir beberapa minggu lalu masih terlihat di beberapa titik pada bagian bawah rumah penduduk yang di bangun dengan model rumah panggung itu.Diketahui sumber air utama di Kalimantan Tengah adalah air gambut.
Untuk keperluan MCK (mandi, cuci, kakus) kami menggunakan air dari sumur bor yang jernih dan tidak berbau. Sedangkan untuk konsumsi, kami juga menggunakan air dari sumur bor, namun airnya kami diamkan beberapa hari agar geladak atau kotoran airnya tidak ikut saat air dimasak” ujar Ibu Elida, seorang Pendeta yang merupakan penduduk desa Baun Bangau. Sekitar 50% dari 300 kepala keluarga di desa Baun Bangau menggunakan air sungai sebagai kebutuhan MCKnya. “Nah kalau untuk MCK kami mau tidak mau menggunakan air sumur yang tercampur air banjir” kata Ibu Elida saat ditanya tentang dampak yang dialami pasca terjadinya banjir.
Keberadaan air gambut yang terbilang sangat potensial di Provinsi Kalimantan Tengah seharusnya tidak hanya untuk keperluan pertanian dan transportasi saja, tetapi dapat dimanfaatkan sebagai alternatif utama dalam penyediaan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga.
Air gambut memiliki karakteristik umum seperti berwarna merah kecoklatan, keasaman tinggi, dan zat organik yang tinggi. Berdasarkan ketetapan Kementrian Kesehatan RI melalui PERKEMENKES No. 32/KEMENKES/PER/2017, air gambut tidak memenuhi persyaratan kualitas air bersih sehingga dapat membahayakan kesehatan jika dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama.
Karakteristik tersebut mengakibatkan air gambut tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat setempat, sehingga harus mencari persediaan air bersih lainnya untuk dikonsumsi. Air gambut yang memiliki kandungan organik yang tinggi serta ph yang rendah meskipun tidak dikunsumsi, namun tetap memberikan dampak buruk bagi lingkungan.
Penelitian tentang pengolahan air gambut telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. Namun beberapa metode yang digunakan masih memiliki banyak kekurangan, bahkan menghasilkan limbah baru yang berpotensi mencemari lingkungan. Metode pengolahan terbaru yang sedang dikembangkan saat ini, adalah penggunaan membran geopolimer.
Diketahui membran geopolimer efektif untuk digunakan dalam pengolahan air gambut.
Geopolimer tidak belum banyak diketahui oleh masyarakat. Geopolimer biasanya digunakan untuk bahan konstruksi bangunan, sehingga jika dimanfaatkan sebagai membran dalam penjernihan air gambut diperlukan tambahan senyawa kimia yang dapat membantu pembentukan pori pada membran geopolimer seperti H2O2.
Bahan untuk pembuatan geopolimer dapat berupa kaolin, lumpur, abu vulkanik, dan juga abu layang. Salah satu bahan baku yang sangat potensial untuk digunakan adalah abu layang yang merupakan limbah dari hasil pembakaran batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap. Abu layang diperoleh dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Pulang Pisau Provinsi Kalimantan tengah.
Pada tanggal 2 Februari 2021 pemerintah telah mencabut limbah abu layang atau fly ash hasil pembakaran batu bara dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Di sisi lain, Asosiasi Perusahaan Batu Bara Indonesia (APBI) menilai kebijakan penghapusan ini sudah tepat. Pengelolaan fly ash dan bottom ash (FABA) di negara maju sudah masif dilakukan, bahkan sudah mencapai 44,8-86%. Contohnya, India telah memanfaatkan FABA hingga 67% pada tahun 2018, Belanda 100%, Denmark 90%, Jerman 79%, Belgia 73%, Perancis 65%, Inggris 70%, Jepang 92%, Cina 100%, dan Vietnam 60%.
Fly ash merupakan material yang memiliki ukuran butiran yang halus, berwarna keabu-abuan, dan mengandung unsur kimia antara lain silika (SiO2), alumina (Al2 O3), fero oksida (Fe2O3) dan unsur tambahan lain. Tingginya konsumsi batu bara menyebabkan kapasitas FABA yang dihasilkan oleh PLTU menjadi sangat banyak. Hal tersebut menjadikan abu layang sebagai material potensial untuk digunakan sebagia bahan baku pembuatan membran geopolimer untuk penjernihan air gambut.
Manager PT PLN (Persero) Unit Pelaksana Pengendalian Pembangkitan Palangkaraya mengatakan bahwa PLTU Pulang Pisau dapat menghasilkan abu layang sebanyak 1,015.6972 ton/bulan, sehingga pertahunnya dapat menghasilkan 12, 188.3664 ton. Dalam jumlah yang sebanyak itu, jika abu layang tidak dimanfaatkan dan diolah dengan baik dan hanya disimpan atau dibiarkan begitu saja maka akan berpotensi menimbulkan masalah pencemaran lingkungan.
Meskipun abu layang sudah tidak termasuk limbah B3 namun jika terpapar terus-menerus maka dapat membahayakan kesehatan, seperti menyebabkan iritasi pada mata, kulit, hidung, tenggorokan, dan saluran pernapasan, bahkan dapat menyebabkan keracunan arsenik.
Sejauh ini belum banyak yang memanfaatkan abu layang dari PLTU Pulang Pisau. Limbah Abu Layang di PLTU Pulang pisau sendiri disimpan dalam Ash Yard, dan tidak menyebabkan masalah bagi lingkungan.
“Dampak yang ditimbulkan hanya berupa kebulan abu dari tumpukan fly ash kering apabila tertiup angin, namun karena dikelola dengan penataan yang baik sesuai SOP dan dilakukan penyiraman secara rutin sehingga kebulan debu tidak menjadi masalah lingkungan.” Ujar Pak Nazmie Manager PT PLN (Persero) Unit Pelaksana Pengendalian Pembangkitan Palangkaraya.
Oleh karena melihat potensi abu layang yang sangat melimpah, maka akan sangat efektif dan menjanjikan jika dimanfaatkan sebagai material pembuatan membran geopolimer untuk penjernihan air gambut. Penelitian tentang pemanfaatan abu layang menjadi membran geopolimer untuk pengolahan air gambut masih sangat sedikit.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah fotokatalitik. Metode ini telah banyak diterapkan dan terbukti mampu mendegradasi polutan organik dalam berbagai aplikasi dan material yang digunakan (Mishra & Chun, 2015). Fotokatalitik menjadi salah satu alternatif menjanjikan yang banyak digunakan untuk mengatasi pencemaran limbah cair.
Untuk peningkatan performansi membran geopolimer dalam purifikasi air gambut, diperlukan adanya penambahan TiO2 sebagai zat semikonduktor yang mampu mengkombinasikan antara proses pemisahan dan reaksi degradasi zat organik secara fotokatalitik.
TiO2 telah banyak digunakan sebagai fotokatalis dalam pemurnian air, karena memiliki fotostabilitas yang baik, tersedia secara komersial sehingga mudah diperoleh, kestabilan kimia yang tinggi, tahan terhadap degradasi, tidak larut dalam air, serta konsumsi energi yang rendah.
Penelitian menunjukkan waktu optimum pada fotokatalis yaitu 3 jam. Semakin lama waktu irradiasi sinar maka akan semakin banyak energi/foton yang akan mengenai permukaan TiO2 sehingga persentase degradasi juga semakin besar. Persentase degradasi meningkat pada waktu awal dan akan menurun setelah bertambahnya waktu fotodegradasi. Penelitian sebelumnya juga menghasilkan penurunan absorbansi pada air gambut mencapai 70% dan penurunan permanganat mencapai 25%.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa membran TiO2/Geopolimer dapat digunakan untuk purifikasi air gambut dengan metode fotokatalitik. Membran berbasis geopolimer dibuat dengan memanfaatkan limbah hasil pembakaran batubara Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dari Kalimantan Tengah yaitu abu layang (fly ash) sehingga dapat mengurangi biaya pengeluaran dan sekaligus menangani limbah abu layang.
Penambahan material semikonduktor TiO2 dalam membran berbasis geopolimer dapat meningkatkan performansi kinerja dalam purifikasi air gambut diperkirakan akan menghasilkan penurunan absorbansi lebih dari 70% dan penurunan permangat lebih dari 25% serta penyisihan zat warna lebih dari 20%. Dengan demikian, penggunaan membran TiO2/Geopolimer sebagai fotokatalis dalam mendegradasi dan mengolah air gambut temasuk metode pengolahan air gambut yang efektif dan efisien.