Berita pada Selasa siang itu, memang mengguncang. Tanggalnya, 6 Juli 2021. Saya sampai diam, tak bisa berkata-kata, mendengarnya. Mendengar kabar duka dari Bandung: Mbak Kemi sedho, surud ing kasedan jati.
Apa yang harus saya katakan. Atau, apa yang mesti saya tuliskan. Mbak Kemi, adalah sosok pengganti orangtua. Bukan karena secara garis darah, lebih tua, tapi karena perannya yang memang menggantikan orangtua saya. Mbak Kemi juga seorang panutan, guru, sekaligus inspirasi untuk menjalani kehidupan.
Tapi sejak Selasa itu, Mbak Kemi pergi untuk selamanya. Kesedihan menjadi berlipat lantaran saya tak dapat mengantarnya hingga tempat peristirahatan terakhir. Situasi pandemi ditambah PPKM Darurat, membuat saya hanya bisa membayangkan Mbak Kemi dari kejauhan. Membayangkan semua kebaikannya sejak saya di Bandung, hingga hari-hari terakhir yang tak bisa saya ikut tunggui.
Mbak Kemi. Itu, panggilan kami kepada sedulur tuwo yang sangat menyayangi say aitu. Beliau adalah kakak sepupu dari jalur simbok (ibu). Urut-urutannya, ayahnya almarhumah Mbak Kemi adalah kakak dari simbok saya.
Semasa hidupnya, saya menjadi saksi bahwa Mbak Kemi adalah orang baik, sangat baik bahkan. Selalu membantu banyak orang tanpa disertai pamrih. Banyak orang Kulon Progo yang ikut sejahtera, berkat Mbak Kemi. Dalam menolong, Mbak Kemi lebih sering memberi kail, bukan sekadar ikan, sehingga tidak sedikit yang sejahtera atas bantuannya.
Bagi saya, bantuan dan campur tangan Mbak Kemi, serasa tak terhingga. Kalau saya ceritakan, barangkali tidak cukup kalimat untuk melukisnya. Sebab, memang peranannya yang kelewat banyak.
Saya akan selalu ingat, saat masih kecil, setiap beliau pulang ke Kulon Progo, pasti menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah orangtua saya. Menengok simbok saya yang tak lain sebagai buliknya. Walau tak lama, namun sangat bermakna. Apalagi, oleh-oleh serta ‘tinggalan’ yang diberikan untuk simbok.
Ingatan di masa kecil itu, terus membekas. Lalu, setelah lulus SMA tahun 1987, saya menjadi semakin mengenal sepupu saya itu. Tepatnya bulan Agustus, pertama kalinya saya ke Bandung dan menemui beliau yang sudah menjadi pengusaha sukses.
Masih teringat dengan jelas saat saya diantar kakak perempuan datang ke Bandung dengan naik bus dari Kulon Progo. Ini bukan perjalanan mudah, karena saya yang wong nggunung, selalu mabok kendaraan. Bisa dibayangkan, perjalanan saya dari Wates ke Bandung yang sangat menyiksa itu.
Saat itu, Bandung masih agak gelap, saat saya dan kakak turun di terminal Cicaheum. Begitu saja, kami mencari alamat Mbak Kemi, tanpa berkabar akan datang. Sebab, di tahun itu, alat komunikasi belum secanggih hari ini. Apalagi bagi saya yang cah Nganjir, Hargorejo, Kokap, yang artinya cah nggunung plencung.
Jadinya, kedatangan kami di rumah Mbak Kemi di pagi buta itu, membuat kaget luar biasa. Juga, bagi Mas Kasam, suami Mbak Kemi yang saat itu, sudah dikenal sebagai pengusaha pengeboran ternama.
Memang masih sangat pagi untuk bertamu. Saya ingat, waktu itu, pagi baru pukul 05:00 wib atau bahkan kurang. Lalu saya dan kakak diajak ikut ngeteh pagi yang menjadi kebiasaan keluarga Mbak Kemi dan Mas Kasam selepas sholat Subuh. Sayapun belajar dari tradisi ini bahwa ngeteh pagi ini ternyata sarana diskusi dan mendekatkan serta merekatkan hubungan antaranggota keluarga.
Lalu kami ditanya keperluan apa datang ke Bandung. Kakak perempuan saya lalu menyampaikan bahwa saya diterima kuliah di ITB. Mendengar itu, ekspresi Mbak Kemi dan Mas Kasam terlihat bahagia dan bangga. “Kowe ketompo ITB, Jon?” Mas Kasam memastikan apa yang didengar seraya mengucap selamat dan menepuk pundak saya.
Beliau sampaikan bahwa masuk ITB adalah impian banyak orang, maka tak mudah untuk bisa diterima di ITB, sementara saya yang orang kampung mampu menembus ketatnya persaingan masuk kampus hebat itu.
Sebenarnya saya memiliki kakak kandung yang juga tinggal di Bandung. Namun, jarak ke kampus ITB cukup jauh untuk ditempuh. Maka mulai hari itu, saya tinggal di rumah keluarga Mbak Kemi dan Mas Kasam yang saya masih ingat beralamat Jalan Titiran Dalam I.
Saya seolah memiliki orangtua baru. Orangtua yang sudah bukan wong nggunung lagi, melainkan orang kota dengan budaya kota yang serba berada. Lihat saja, saat saya mendaftar ulang di Rektoran ITB. Dari Jalan Titiran Dalam I, saya diantar dengan mobil sedan, menuju kampus ITB di Jalan Tamansari Bandung.
Bukan karena tidak nyaman naik sedan, jika selanjutnya, saya memilih pinjam sepeda Mbak Kemi yang tak terpakai, untuk pergi dan pulang ke kampus Ganesha. Saya merasa lebih nyaman naik sepeda, seperti saat masih di Kulon Progo. Apalagi, kesibukan Mbak Kemi dan Mas Kasam, juga sangat pandat, sehingga tidak mungkin antar-jemput saya lagi.
Tapi, di tengah kesibukannya untuk mengembangkan perusahaannya, Mbak Kemi selalu menanyakan gimana kuliah saya. Ada kendala apa, apa yang bisa dibantu, sudah makan atau belum, dan perhatian layaknya seorang ibu.
Jangan ditanya lagi tentang uang saku yang sering diberikan kepada saya. Untuk hal ini, saya ceritakan ke kakak kandung agar kakak kandung yang di Bandung juga mengucap terimakasih.(bersambung)
Mantab..sungguh mambawa saya seolah mengalaminya juga…mbak Kemi adalah kakak sepupu yang sangat perhatian dan penuh kasih. Sayang saya hanya pernah berkunjung dan menginap sekali di tahun 82 kalau gak salah. Di Cigadung. Itupun sangat memberi kesan sampai sekarang.
Kini saya betul2 merasa sangat kehilangan.
Kini Surga lah tempatmu mbak. Menunggu kami semua adik2 dan keluarga besar mbak Kemi juga keluarga besar trah kita. Amin