Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.
Satu diantara berbagai cara membongkar modus korupsi adalah dengan menelusuri aliran dana pelaku korupsi. Dari transaksi yang ada di rekening milik pelaku korupsi, akan sangat membantu dalam upaya membongkar tindak pidana korupsi. Rekening milik di sini tidak semata diartikan dalam arti administratif yaitu atas nama pelaku. Dalam perkembangan pengaburan asas usul keuangan, rekening bisa diatas namakan orang lain yang dimaksudkan mempersulit ketika ada penelusuran. Namun dalam perkembangan terakhir juga tidak sulit membongkar dana di bank yang tidak diatas namakan pelaku korupsi.
Berbagai Modus dan Pengaturan
Berbagai modus dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi, ketika berupaya memutar otak menggelapkan uang hasil korupsinya. Modus yang bersifat konvensional adalah dengan cara pencucian uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsi agar terlihat harta kekayaan yang dimilikinya merupakan kekayaan yang sah dan legal secara hukum. Cara itu dilakukan dengan pemindahan harta kekayaannya ke luar negeri, memasukkan ke lembaga keuangan serta menggunakannya dengan melakukan transaksi jual beli yang sah secara hukum.
Sebagai acuan, kendatipun sudah relative lama, namun masih tetap relevan adalah mengacu pada penelitian dari Middle East and North Africa Financial Action Task Force (MENAFATF). Pada tahun 2011 lembaga ini menerbitkan hasil penelitiannya mengenai Perdagangan Illegal Korupsi dan Psikotropika dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Penelitian itu memang dilakukan di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, namun mengingat pada tingkat homogenitasnya hasil itu juga dapat dijadikan sebagai paradigma yang terjadi di Kawasan lain.
Temuan dari penelitian itu berupa teknik pencucian uang hasil tindak pidana korupsi tidak jauh berbeda dibandingkan dengan tindak pidana pencucian uang secara umum. Dari sekian tindakan pencucian uang, bidang propertilah yang sering digunakan oleh para pelaku untuk menyembunyikan kekayaannya.
Hal itu dikarenakan rendahnya pengawasan dan pelaporan atas transaksi penyedia jasa pada wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara.
Atas hal tersebut Indonesia telah membentengi diri dengan berbagai aturan yang mencegah maraknya tindak pencucian uang. Aturan itu berupa Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Kedua aturan ini menyebutkan dua pihak yang akan berperan dalam pelaporan transaksi mencurigakan khususnya di bidang properti. Dua pihak itu adalah perusahaan properti atau agen properti dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Pasal 17 ayat (1) huruf b UU TPPUU telah mengatur mengenai perusahaan yang bergerak dibidang properti merupakan pihak penyedia jasa yang wajib menyampaikan laporan transaksi mencurigakan yang dilakukan oleh pengguna jasa dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada PPATK.
Pihak kedua yang wajib melaporkan transaksi mencurigakan dalam ruang lingkup properti adalah PPAT. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 3 menyatakan bahwa PPAT merupakan salah satu pihak yang wajib melakukan pelaporan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK mengenai pembelian dan penjualan properti.
Berkaitan dengan kewajiban PPAT dalam melakukan pelaporan, Ketua Umum Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, pada suatu kesempatan pernah mengindikasikan ada beberapa kondisi yang membuat PPAT tidak wajib melaporkan jika terdapat dugaan transaksi keuangan mencurigakan. Hal itu jika sepanjang transaksi yang dilakukan oleh pengguna jasa dilakukan melalui mekanisme perbankan atau jasa keuangan lainnya. Dengan demikian, kewajiban pelaporan transaksi tersebut tidak lagi menjadi beban bagi PPAT, akan tetapi menjadi beban dan tanggung jawab lembaga perbankan dan jasa keuangan lainnya. Pembelian property sebagai modus dari pencucian uang merupakan pilihan menarik bagi para pelaku.
Interpretasi FATF
Dalam menelusi aliran uang haram melalui transaksi mencurigakan, FATF (Financial Action Task Force) menjelaskan bahwa rujukan terhadap praduga laporan transaksi keuangan mencurigakan dijelaskan dalam Rekomendasi 20 yang mengacu pada semua tindakan kriminal yang merupakan tindak pidana asal untuk pencucian uang. Kemudian, referensi untuk pendanaan teroris dalam Rekomendasi 20 mengacu pada pendanaan aksi teroris dan juga organisasi teroris atau teroris individual, bahkan tanpa adanya kaitan dengan tindakan atau tindakan teroris tertentu. FATF menekankan, bahwa transaksi dan interpretasi lembaga yang telah disebutkan di atas, termasuk transaksi percobaan, harus dilaporkan terlepas dari besarnya jumlah transaksi.
Merujuk pada FATF, dalam konteks Indonesia terdapat Undang Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU) yang menjelaskan bahwa Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM) meliputi beberapa modus, yaitu pertamaTransaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan. Kedua melalui transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Keteiga melalui transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. Keempat melalui transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Selain itu, terdapat beberapa indikator umum yang termasuk dalam Transaksi Keuangan Mencurigakan, antara lain tidak memiliki tujuan ekonomi dan bisnis yang jelas, atau menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar dan/atau dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran; atau melakukan suatu aktivitas transaksi nasabah di luar kebiasaan dan kewajaran.
Dengan demikian, pemeriksaan pada setiap transaksi keuangan mencurigakan menjadi sangat penting untuk dilakukan. Hal ini karena apabila terdapat oknum pelaku yang melakukan pencucian uang, biasanya pelaku tersebut tidak menghabiskan atau menggunakan properti yang diperoleh dari tindakan kriminalnya secara langsung, tetapi oknum tersebut akan terlebih dahulu untuk memasukan properti tersebut ke dalam sistem keuangan melalui fase penempatan, pelapisan atau integrasi.
Upaya tersebut dilakukan dengan tujuan menyembunyikan atau menutupi asal-usul uang, i sehingga tampak menjadi legal. Selanjutnya, pelaku tindak pidana tersebut dapat menggunakan hasil tindak pidananya dengan aman.
Sehubungan dengan hal tersebut, identifikasi dan pengawasan secara komprehensif terhadap transaksi keuangan mencurigakan merupakan kegiatan yang harus dilakukan oleh lembaga yang berwenang.
Tindakan tersebut diperlukan untuk mendukung upaya pencegahan atau pemberantasan tindak pidana pencucian uang secara umum, sebagai modus daripelaku korupsi dan tindakan melawan hukum lainnya, semisal untuk pendanaan terorisme atau menyembunyikan hasil transaksi obat terlarang hal ini tidak berarti bahwa setiap transaksi keuangan mencurigakan merupakan hasil dari tindak pidana, melainkan transaksi legal yang berasal dari penjualan aset saat waktu tertentu.***