Jakarta, Koranpelita.com
Aliansi Kebangsaan yang dipimpin Pontjo Sutowo, merayakan 15 tahun perjalanannya memberikan sumbangsih pemikiran kepada Indonesia. Selama 15 tahun konsisten mengamalkan dan “mengajarkan” mengenai nilai-nilai kebangsaan, diskusi, pelatihan, dialog, beasiswa Dana Pancasila.
Pada kesempatan tersebut Aliansi Kebangsaan menggelar syukuran sekaligus peluncuran buku berjudul “Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia?” karya Dewan Pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latif. Buku setebal 750 halaman yang disusun secara marathon selama 3 tahun tersebut, menjadi sumbangan pemikiran yang cemerlang yang dapat menjadi pandu bagi pembangunan masa depan Indonesia dari seorang cendekiawan Yudi Latif.
“Aliansi Kebangsaan hadir untuk mengajak para akademisi, para intelektual, para pengusaha, para pemuka agama, dan tokoh-tokoh lainnya, untuk membangun kembali peradaban dan meneguhkan kembali cita-cita founding father dalam membangun bangsa ini. Agar Indonesia menjadi pemimpin peradaban global di masa depan,” ujar Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo. Ia berharap, karya terbaru Yudi ini dapat membuka cakrawala masyarakat untuk memahami signifikansi kekayaan alam, kemanusiaan, dan peradaban Nusantara bagi dunia.

Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo.
Menurutnya, mengenali sejarah dan kejayaan masa lalu dapat memperkuat nasionalisme dan identitas kolektif yang berperan sangat penting bagi pembangunan bangsa. Keberadaan buku ini pun diharapkan bisa membantu masyarakat untuk terus belajar menjadi merdeka dan menghilangkan mentalitas peninggalan penjajah yang masih tersisa.
Pada kesempatan yang sama, Senator Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Sumatera Barat, Irman Gusman, yang hadir dalam momen perayaan 15 tahun Aliansi Kebangsaan mengaku bangga dengan buku yang ditulis Yudi Latif itu. Sosok yang selalu aktif mengupayakan pembaruan pemikiran kebangsaan melalui tulisan, ceramah, dan advokasi intelektual.
Acara tersebut juga dihadiri sejumlah tokoh antara lain Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Latipulhayat, Ketua Dewan Pembina Nurcholis Madjid Society Ori Komariah Madjid, Pendiri Yayasan Dana Darma Pancasila Ir Aburizal Bakrie dan beberapa tokoh nasional lainnya.
Buku “Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia?”yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas Gramedia menjadi sebuah refleksi dan bahan perenungan tentang bagaimana peran Indonesia dalam tataran dunia yang sedemikian penting dan strategis. Buku tersebut mengupas bagaimana kekayaan alam, kebijaksanaan, serta peradaban yang terbangun di Indonesia tak hanya berperan di tengah kehidupan masyarakat tetapi juga berkontribusi signifikan terhadap perkembangan dunia.
“Namun, selama ratusan tahun, hal itu tidak terungkap akibat kolonialisme yang menghegemoni pandangan dunia sekaligus mencerabut masyarakat dari akar identitasnya,” ungkap Yudi Latif.
Karena itu, penulisan sejarah yang bebas dari bias dan manipulasi untuk merekonstruksi jati diri bangsa sebagai bangsa yang punya signifikansi di setiap fase perjalanan dunia sangatlah penting.

Yudi Latif, penulis buku “Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia.
Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia? merupakan buku kelima dengan tema Pancasila dan kebangsaan yang dituliskan oleh Yudi Latif selama lebih dari satu dekade Negara Paripurna. Yudi juga menulis pedoman transformasi sosial dalam buku. ”Setelah empat buku itu, saya berpikir apa yang belum saya lakukan? Ternyata yang belum adalah Pancasila untuk dunia,” ungkap Yudi.
Dalam sambutannya, Yudi menegaskan Pancasila sebagai ideologi negara yang mengandung nilai keadilan dan kemanusiaan, misalnya, telah menjadi inspirasi bersatunya bangsa-bangsa terjajah untuk berhimpun di Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955 guna melawan penjajahan. Semangat tersebut hingga kini madih ditawarkan oleh Pancasila terhadap segala bentuk neokolonialisme di balik wacana globalisasi. Di masa depan, Pancasila juga dinilai bakal berperan penting untuk menjembatani tradisi dan modernitas di tengah pusaran krisis multidimensi yang melanda peradaban kontemporer.
Tidak hanya Pancasila, kekayaan alam dan berbagai teknologi yang diciptakan oleh masyarakat Indonesia menurut Yudi juga berperan signifikan dalam perjalanan sejarah perkembangan dunia. Misalnya saja, sejak era sebelum Masehi hingga abad ke-16, Indonesia dapat disebut sebagai episentrum perkembangan teknologi maritim dunia.
“Mengapa demikian? Sebab, ketika bangsa lain belum memiliki keberanian untuk mengarungi lautan, nenek moyang bangsa Indonesia di wilayah timur telah membuat jenis-jenis perahu untuk menyeberangi samudra serta menciptakan teknologi penangkapan ikan di laut dalam,” papar Yudi Latif.
Di bidang arsitektur, Indonesia juga menciptakan berbagai rumah tahan gempa dan juga candi-candi yang memuncak pada pembangunan Candi Borobudur. Pembangunan Borobudur yang menggunakan batu andesit dengan ukuran yang sangat presisi dinilai hanya mungkin dilakukan dengan sistem komputasional, tetapi saat itu masyarakat menciptakannya secara manual.
Arsitektur dan teknik pembangunan itu pun memberikan pengaruh kuat pada sistem arsitektur yang berkembang di kawasan Asia Tenggara. ”Jadi, kita bukan saja kaya dari alamnya, melainkan kita juga pelopor berbagai inovasi di dunia. Masalahnya sekarang, kenapa ada proses pembalikan sejarah sehingga kita hanya menjadi konsumen dari hasil peradaban bangsa-bangsa lain,” kata Yudi.
Menurut Yudi, kontradiksi nasib bangsa saat ini dengan masa lalu tidak terlepas dari pengaruh kolonialisme yang telah mencerabut masyarakat dari akar identitasnya. Di bawah pemerintah kolonial, masyarakat dipaksa untuk mengikuti seluruh program dan kebijakan tanpa ada pelibatan dalam ranah apa pun.
Yudi mencotohkan program tanam paksa yang dilakukan colonial, di mana warga diminta menanam jenis tanaman yang sudah ditentukan dengan teknologi yang juga sudah diputuskan. Padahal, sebelum kolonialisme berlangsung, masyarakat juga memiliki pengetahuan untuk melakukan hal serupa dengan caranya sendiri. ”Kolonialisme benar-benar telah memutus pengetahuan masyarakat sehingga masyarakat menjadi tercerabut dari akar-akar sosialnya,” kata Yudi.
Meski sudah merdeka puluhan tahun, diakui Yudi, dampak kolonialisme itu masih berlanjut hingga kini. Penjajahan menyisakan luka yang membentuk watak inferior dan mental terjajah. Akibatnya, bangsa Indonesia tidak bisa berinovasi secara optimal seperti di masa-masa sebelumnya.
Oleh karena itu, menurut Yudi, diperlukan rekonstruksi jati diri bangsa. Hal itu dapat dilakukan dengan penulisan sejarah yang bebas dari bias dan manipulasi kepentingan tertentu.
Indonesia memiliki berbagai keunggulan
Pada kesempatan yang sama, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mengakui, selama ini Indonesia masih dikenal secara terbatas, misalnya, terkait dengan bencana tsunami yang pernah melanda Aceh atau peristiwa Bom Bali. Padahal, Indonesia memiliki berbagai keunggulan yang bisa diperkenalkan baik kepada masyarakat setempat maupun masyarakat di berbagai negara, salah satunya Pancasila. “Penulisan buku mengenai signifikansi Indonesia dalam perkembangan dunia menjadi krusial,” tegas Mu’ti.
Meski tidak banyak, Mu’ti mengungkapkan bahwa beberapa Duta Besar dari negara-negara lain pernah berpesan kepadanya agar Indonesia bisa menjaga Pancasila. Sebab, Pancasila merupakan sumber kerukunan yang bisa menjadi rujukan bagi masyarakat dunia yang beragam.
Sementara itu, Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam sambutannya berharap, karya terbaru Yudi dapat membuka cakrawala masyarakat untuk memahami signifikansi kekayaan alam, kemanusiaan, dan peradaban Nusantara bagi dunia. Sebab dengan mengenali sejarah dan kejayaan masa lalu dapat memperkuat nasionalisme dan identitas kolektif yang berperan sangat penting bagi pembangunan bangsa.
“Keberadaan buku ini pun diharapkan bisa membantu masyarakat untuk terus belajar menjadi merdeka dan menghilangkan mentalitas peninggalan penjajah yang masih tersisa,” ungkap Pontjo.
Apresiasi juga disampaikan senator Irman Gusman. Menurutnya buku karya Yudi Latif hadir pada momentum yang sangat tepat, saat narasi global tentang Indonesia kerap dimainkan secara tidak utuh dan belum mencerminkan besarnya kontribusi bangsa ini bagi peradaban dunia. “Pemikiran yang tertuang dalam buku ini dapat menjadi energi intelektual untuk mengembalikan kepercayaan diri bangsa Indonesia,” kata Irman Gusman. (Vin)
 www.koranpelita.com Jernih, Mencintai Indonesia
www.koranpelita.com Jernih, Mencintai Indonesia
				 
			 
		 
						
					 
						
					 
						
					 
					
				