Seratus Hari Kerja Kepala Daerah, Antara Harapan dan Kenyataan

Oleh : Ahmad Suparman

Meski seratus hari kerja waktu sudah lewat bagi kepala daerah, setelah mengikuti retreat di Magelang namun  belakangan ini masih ada kepala daerah baik gubernur, bupati dan walikota berlomba lomba untuk memberikan pernyataan atau penciteraan terkait kinerjanya dalam waktu seratus hari. Apa saja kebijakan yang dilakukan buat masyarakatnya setelah dilantik presiden Prabowo Subianto di Istana Negara Jakarta.

Seratus hari pertama masa kerja seorang gubernur, bupati atau wali kota sering kali menjadi momentum simbolik yang penuh ekspektasi. Sehingga apa yang dilakukan dianggap sebagai etalase awal untuk mengukur kesungguhan, kecepatan, dan arah kebijakan kepala daerah dalam menunaikan janji kampanyenya. Dalam momen ini ternyata banyak dihiasi peluncuran program-program unggulan, mulai dari reformasi birokrasi, pelayanan publik berbasis digital, hingga program infrastruktur skala mikro.

Selain itu, ada sebagian kepala daerah memilih cara spektakuler melakukan konferensi pers, baliho raksasa, hingga konten media sosial berbayar. Sementara sebagian lain tampil lebih sederhana dan minim ekspos. Namun, terdapat pertanyaan kritis tetap muncul yaitu sejauh mana capaian kinerja 100 hari kerja ini, benar-benar mencerminkan efektivitasnya bukan sekadar pencitraan politik belaka.

Padahal, kalau dikalkulasi masa jabatan kepala daerah selama lima tahun (1.825 hari), seratus hari hanya mewakili sekitar 5,5 persen dari total waktu yang dimiliki. Hanya saja, dalam durasi sesingkat itu mustahil bisa mewujudkan seluruh program visi-misinya. Sebaliknya justru karena keterbatasan inilah, masyarakat menaruh perhatian besar apa yang sudah dilakukan, seberapa cepat merespons masalah dan bagaimana kepala daerah memimpin birokrasi.

Jika diukur dalam kinerjanya, 100 hari pertama adalah berbagai kebijakan yang menampilkan semangat dan arah dari pemerintahan yang baru terbentuk. Namun, jika diibaratkan keberhasilan dalam etalase toko bukan jaminan terhadap kualitas isi toko. Tapi yang dibutuhkan bukan hanya kecepatan, tetapi ketepatan serta arah kebijakan yang berbasis data, relevan dengan kebutuhan daerah, dan memiliki payung hukum yang jelas.

Mengacu pada data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per Mei 2025, dari 39 provinsi dengan total 514 kabupaten/kota di Indonesia, baru 298 daerah (58%) yang berhasil mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Ini artinya, sekitar 216 daerah (42%) masih belum memiliki dokumen formal yang menjadi landasan pembangunan selama lima tahun ke depan.

Padahal RPJMD merupakan turunan langsung dari visi dan misi kepala daerah yang disepakati dalam dokumen politik, dan menjadi acuan utama dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), penganggaran, hingga evaluasi kinerja. Tanpa RPJMD yang sah, program-program unggulan kepala daerah tak bisa dieksekusi secara legal, dan berisiko tidak mendapat alokasi anggaran.

Kondisi ini diperparah dengan proses pembahasan RPJMD yang kerap tersendat, baik karena perbedaan pandangan dengan DPRD, lemahnya perencanaan teknokratik, atau dominasi opini dari pakar atau praktisi yang lebih menekankan retorika dibandingkan analisis berbasis data.

RPJMD dan Harapan Masyarakat 

Meski dalam prakteknya untuk memenuhi harapan masyarakat yang berdasar pada  RPJMD tersebut, arah pelaksanaan yang akan dijalankan tanpa arah dan tujuan. Sayangnya, praktik ini masih kerap muncul dalam diskusi kebijakan publik, baik di forum formal maupun media sosial. Kepala daerah perlu menghindari jebakan diskusi panjang yang tidak produktif dan segera berpijak pada data lapangan, riset sosial ekonomi, serta dinamika masyarakat lokal.

Sementara di era digital ini, publik dapat dengan mudah memantau dan mengkritisi kinerja kepala daerah. Tidak hanya dari media massa, tetapi juga dari kanal-kanal partisipatif seperti laporan warga, media sosial, hingga sistem pengaduan berbasis aplikasi.

Seratus hari kerja memang bukan akhir segalanya, tetapi semua ini merupakan  pertanda penting bagi kinerja selanjutnya. Evaluasi atas periode ini seharusnya bukan pada seberapa banyak program dilaunching, tetapi seberapa kuat fondasi kebijakan yang telah dibangun. Setiap program harus dilengkapi dengan indikator kinerja utama, estimasi anggaran yang realistis, dan perencanaan eksekusi yang matang.

Meski demikian tanpa keberanian untuk mengeksekusi, semua rencana hanyalah angan angan saja. Dalam istilah populer solusi tanpa eksekusi hanyalah halusinasi kebijakan. Oleh karena itu, Kepala daerah harus melampaui ritual seremoni, beranjak ke fase implementasi yang terukur. Tidak cukup hanya hadir di media sosial, media mainstream dan panggung publik, tetapi juga hadir di lapangan mendengar masyarakat, melihat langsung pelayanan, dan memastikan setiap kebijakan berdampak secara nyata.

Selama menjabat sebagai pemimpin daerah dengan waktu lima tahun adalah waktu yang cukup untuk membangun fondasi dan mewujudkan perubahan, namun waktu bisa habis begitu saja jika diisi dengan manuver politik dan pencitraan semata. Apalagi energi awal yang telah dikeluarkan dalam 100 hari pertama harus dijaga agar tidak menjadi sekadar catatan singkat dalam sejarah pemerintahan daerah.

Namun yang perlu diperhatikan adalah Publik, media, dan masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mengawal kinerja pemerintahan bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk memastikan bahwa mandat rakyat benar-benar dijalankan dengan integritas, inovasi, dan keberpihakan pada kepentingan publik.

Kepala daerah juga dituntut untuk tidak hanya berkutat dalam diskusi bersama para pakar dan praktisi saja, yang pandai beretori tapi tidak bisa menemukan solusi berbasis data. Kebijakan publik tidak cukup dilahirkan dari ruang-ruang debat tanpa arah, melainkan harus tumbuh dari kebutuhan nyata di lapangan dan dilaksanakan dengan keberanian serta konsistensi.

Masa depan daerah bergantung pada keberanian pemimpinnya mengambil kebijakan berpihak pada masyarakat serta bergerak mengambil solusi yang tepat, dan bukan hanya berbicara. Tetapi yang dibutuhkan masyarakat adalah tindakan nyata di lapangan yang menjadi harapan yang diinginkan.(*)

About suparman

Check Also

Danantara dan Tantangan yang Mengemuka Akibat Ketidakpastian Global

Oleh : DR Bambang Soesatyo INISIATIF Presiden Prabowo Subianto mendirikan Daya Anagata Nusantara atau Danantara …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca