Oleh : Gunoto Saparie
Mendadak kita tergagap-gagap menghadapi perkembangan teknologi informasi yang mencengangkan, yaitu Artificial Intelligence (AI–kecerdasan buatan). Ini boleh dikatakan merupakan revolusi teknologi yang kemungkinan akan membawa perubahan besar dalam hidup kita. Perkembangan teknologi memang selalu membawa tantangan baru dan kita tidak mungkin mengingkari atau menghindarinya.
Teknologi AI mau tidak mau akan memberikan pengaruh terhadap dunia kesenian. Dalam bidang musik, misalnya, teknologi AI dapat digunakan untuk menghasilkan musik baru secara otomatis dengan mengumpulkan data dari genre musik yang berbeda-beda. Ia akan menghasilkan komposisi baru yang didasarkan pada algoritma. Sedangkan pada industri film teknologi AI dapat digunakan untuk menghasilkan skenario, trailer, dan bahkan adegan film.
Pengaruh revolusi teknologi AI pun menerpa sastra. Ada perangkat lunak AI yang mampu menghasilkan karya sastra, seperti puisi, cerita pendek, dan novel. Hal itu dilakukan dalam hitungan detik, meskipun kualitas dan keaslian karya sastra yang dihasilkan sampai hari ini masih diperdebatkan.
Kita tahu, pada tahun 2018, perusahaan Jepang, SoftBank, meluncurkan aplikasi bernama “AI Puisi” yang dapat membuat puisi secara otomatis dengan menggabungkan kata-kata dan frasa yang di-input-kan pengguna. Apakah teknologi AI ini dapat membantu para sastrawan untuk memperluas kreativitas mereka dan memberi mereka sarana baru untuk bereksperimen?
Akan tetapi, para sastrawan sesunggguhnya dapat memanfaatkan teknologi AI untuk memperkaya karya mereka. Mereka dapat menggunakan chatbot seperti GPT-3 (Generative Pre-trained Transformer 3) yang dikembangkan oleh OpenAI untuk membantu dalam menemukan sumber inspirasi. Chatbot seperti GPT-3 dapat memahami konteks dan memberikan ide-ide kreatif yang dapat membantu para sastrawan dalam mengeksplorasi konsep baru dan mengembangkan karya mereka.
Tak pelak, penggunaan teknologi AI dalam sastra dapat membawa manfaat yang signifikan bagi sastrawan. Ia membantu dalam menganalisis data yang berkaitan dengan tren dan preferensi pembaca. Selain itu, ia juga dapat membantu dalam perumusan kerangka cerita, mempercepat proses penyuntingan, dan membantu dalam penerjemahan karya sastra ke bahasa yang berbeda-beda.
Memang harus diakui, teknologi AI mampu menghasilkan teks yang koheren dan terstruktur. Dengan teknologi AI kita mampu menghasilkan karya-karya kreatif, seperti puisi, cerita pendek, naskah drama, dan novel. Akan tetapi, agaknya kita harus mengakui pula bahwa ada kekurangan dan keterbatasan teknologi AI ketika diterapkan ke dalam karya sastra.
Bukankah sastra melibatkan ekspresi dan interpretasi emosi kompleks yang sulit diukur atau dipahami sepenuhnya oleh teknologi AI? Ketika teknologi AI beroperasi berdasarkan algoritma dan pola yang telah diprogram sebelumnya, makai a akan kesulitan menangkap dan mereproduksi esensi kreativitas dan emosi manusia secara otentik. Teknologi AI tentu tidak mampu menghasilkan teks yang benar-benar orisinal dan memiliki perasaan mendalam.
Teknologi AI Menghasilkan Teks Gramatikal
Teknologi AI memiliki keterbatasan dalam memahami makna yang tersembunyi dalam teks sastra dan menghubungkannya dengan konteks budaya, sejarah, atau sosial yang relevan. Padahal karya sastra itu dipenuhi dengan makna simbolik yang membutuhkan pemahaman kontekstual. Teknologi AI barangkali mampu menghasilkan teks yang gramatikal, namun bukan tidak mungkin kehilangan nuansa dan makna yang ada di balik kata-kata.
Mungkinkah teknologi AI mampu menangkap nuansa budaya dan konteks sosial yang kompleks dalam sastra? Ketika sastra merefleksikan realitas sosial, sejarah, dan latar belakang budaya tertentu, maka teknologi AI sulit memahami konteks budaya dan menghasilkan karya yang mempertimbangkan latar belakang dan nuansa sosial. Akibatnya, karya-karya sastra yang memanfaatkan teknologi AI bukan mustahil kurang menggambarkan kehidupan manusia secara autentik.
Teknologi AI tidak mampu menilai estetika dan kualitas karya sastra, di mana membutuhkan elemen subjektivitas. Teknologi AI tidak bisa menggantikan manusia yang dapat mengembangkan intuisi dan penilaian estetika, yang dapat mengapresiasi dan menghargai nilai artistik suatu karya sastra.
Teknologi AI memiliki keterbatasan dalam memahami pengalaman emosional, konteks sosial, dan interaksi manusia yang membentuk sastra. Padahal salah satu kekuatan sastra yang dihasilkan sastrawan adalah kemampuannya untuk merangkul pengalaman manusia yang kaya dan beragam. Oleh karena itu, teks sastra yang dihasilkan oleh teknologi sering terasa kehilangan kedalaman serta dimensi manusiawi.
Para sastrawan tidak perlu cemas oleh kehadiran teknologi AI. Ketika berkarya sastra merupakan pekerjaan yang mengutamakan perasaan, maka teknologi AI tidak akan mampu menggantikannya. Cara teknologi AI bekerja tidak sama dengan manusia. Teknologi AI bekerja dengan cara mengumpulkan informasi dari berbagai sumber.
Teknologi AI bisa saja menghasilkan novel dalam waktu singkat, namun komposisinya memiliki perbedaan yang sangat jelas dengan novel yang ditulis oleh manusia. Hasil karya sastra ciptaan teknologi AI tidak terasa indah dan cenderung kering. Berbeda dengan hasil karya asli manusia, bahasa yang digunakan pun sangat berbeda dengan hasil teknologi AI. Manusia melibatkan perasaan. Oleh karena itu, hasil karyanya pun terasa lebih hidup.
Penggunaan teknologi AI dalam sastra adalah tantangan yang memerlukan pendekatan etis dan regulasi yang bijaksana. Teknologi AI adalah sarana yang dapat kita manfaatkan sesuai dengan kebutuhan kita, tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan mengadopsi pendekatan yang seimbang, kita dapat menghadapi revolusi teknologi informasi ini dengan bijaksana. Kita harus tetap menjaga peran kreativitas manusia di tengah kemajuan teknologi yang pesat. Kita tidak perlu tergagap-gagap dan terkejut karenanya.(*)
Gunoto Saparie : Ketua Satu Pena Jateng Semarang,15 September 2024.