Mengawal Perda Pemajuan Kebudayaan

Oleh : Gunoto Saparie

Sampai saat ini Komisi E DPRD Provinsi Jawa Tengah hampir selesai melakukan finalisasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pemajuan Kebudayaan. Kabar terakhir Komisi E DPRD Jawa Tengah belum lama ini berkonsultasi ke Ditjen Otda Kemendagri. Dalam prosesnya, Komisi E telah menyelesaikan rancangan akhir draft raperda yang terdiri dari 13 Bab dan 29 Pasal.

Dari kunjungan ke Kemendagri itu, Komisi E DPRD Jawa Tengah berharap, agar ada beberapa catatan dan masukan sebagai arahan untuk raperda tersebut. Ketua Komisi E DPRD Jawa Tengah Abdul Hamid meminta masukan dan saran guna menyempurnakan draf Raperda Pemajuan Kebudayaan. Dengan adanya masukan, ia berharap raperda mampu menjadi payung hukum yang sesuai. Raperda tentang Pemajuan Kebudayaan ini memang boleh dikatakan telah hampir mencapai tahap final.

Ada beberapa masukan guna menyempurnakan Raperda tentang Pemajuan Kebudayaan tersebut dari Plh. Direktur Produk Hukum Daerah Ditjen Otda Kemendagri Sukaca. Masukan tersebut meliputi muatan lokal dan kemanfaatan produk hukum daerah. Muatan lokal memang merupakan salah satu aspek penting yang tidak boleh ditinggalkan. Materi tersebut berguna untuk membedakan satu daerah dengan daerah yang lain, sehingga daerah tersebut memiliki ciri khasnya sendiri. Yang kedua adalah manfaat dari produk hukum tersebut guna menjadi pondasi di masyarakat.

Kita tahu, Indonesia, termasuk Provinsi Jawa Tengah, dikenal sebagai negara yang kaya akan potensi dan kearifan lokal yang beraneka ragam karena memiliki keragaman budaya, ras, suku bangsa, kepercayaan, agama, dan bahasa. Potensi dan kearifan lokal diharapkan bisa dipertahankan, sehingga dibutuhkan payung hukum dalam Perda tentang Pemajuan Kebudayaan. Kearifan lokal dianggap mampu untuk mengendalikan berbagai pengaruh dari luar karena menyangkut nilai dan moral pada masyarakat setempat.

Tentang masukan dari Kemendagri untuk penyempurnaan Perda Pemajuan Kebudayaan mengenai perlunya memperhatikan manfaat dari produk hukum, barangkali pernyataan J.C.T. Simorangkir dan Woerjono dapat menjadi acuan. Bahwa hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.

Meski hukum itu tidak dapat dilihat, namun sangat penting bagi kehidupan masyarakat, karena hukum itu mengatur hubungan antara anggota masyarakat seorang dengan yang lain, begitu pula hubungan antara anggota masyarakat dengan masyarakatnya. Artinya, hukum mengatur hubungan antara manusia perseorangan dengan masyarakat.

C.S.T. Kansil menunjukkan tujuan hukum. Menurutnya, untuk menjamin kelangsungan keseimbangan dalam hubungan antara anggota masyarakat, diperlukan peraturan hukum, di mana setiap pelanggar hukum akan dikenai sanksi hukuman.Demi menjaga peraturan hukum dapat berlangsung terus dan diterima masyarakat serta harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas keadilan, tujuan hukum adalah menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus bersendikan pada keadilan, yaitu asas keadilan dari masyarakat.

Kebudayaan memiliki peran sangat penting di dalam pembangunan berkelanjutan. Kebudayaan tidak saja menunjukkan peradaban suatu bangsa, tetapi juga dapat menjadi kekuatan penggerak dan modal dasar pembangunan. Dengan majunya kebudayaan, diharapkan dapat memperkokoh jati diri dan karakter bangsa, memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, melestarikan warisan budaya bangsa, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam dokumen perencanaan dan evaluasi pembangunan di Jawa Tengah, pembangunan kebudayaan ternyata menghadapi berbagai kendala baik dari sisi fisik maupun nonfisik, yaitu masih rendahnya nilai-nilai budaya masyarakat, dan belum optimalnya pelestarian seni dan budaya.

Mengacu pada Naskah Akademik Raperda Provinsi Jawa Tengah tentang Pemajuan Kebudayaan, -pemajuan kebudayaan daerah adalah upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya daerah bagi pemajuan kebudayaan secara nasional melalui pelindungan, pelestarian, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan, sehingga sejalan dengan dinamika dan perkembangan regulasi secara nasional seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Kontribusi Kebudayaan Dalam Pembangunan 

Berdasarkan identifikasi masalah dalam naskah akademik itu disebutkan bahwa kontribusi kebudayaan dalam pembangunan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan. Meskipun demikian, pembangunan kebudayaan di Jawa Tengah ternyata menghadapi tantangan tersendiri, yaitu menurunnya nilai pembangunan kebudayaan yang direpresentasikan melalui Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.

IPK dibentuk melalui tujuh dimensi yang memiliki ruang lingkup cukup luas dan bersifat lintas sektor. Nilai IPK Jawa Tengah selama empat tahun terakhir berada di atas angka IPK Nasional namun kecenderungan semakin menurun dalam tiga tahun terakhir. Penurunan angka IPK Jawa Tengah didorong oleh penurunan pada tiga dimensi pembentuknya, yaitu dimensi ekonomi budaya, dimensi ekspresi budaya dan dimensi gender.

Kecenderungan penurunan dimensi ekonomi budaya mengindikasikan bahwa minat masyarakat yang menurun untuk menjadikan aktivitas seni budaya sebagai salah satu upaya peningkatan kemampuan ekonomi mereka. Hal tersebut bisa saja terjadi karena “pasar budaya lokal” di Jawa Tengah belum memberikan reward yang menjanjikan untuk para pelaku seni budaya lokal. Selain itu, pengukuran ekonomi kreatif/industri ekonomi kreatif juga belum terukur dalam dimensi ini.

Penurunan dimensi ekspresi budaya menunjukkan indikasi bahwa ada kecenderungan peralihan cara masyarakat untuk mendukung proses penciptaan karya budaya yaitu melalui media digital. Sementara itu, pengukuran dimensi ekspresi budaya (indikator) masih terbatas pada partisipasi masyarakat dalam kegiatan rapat, kegiatan organisasi, penduduk yang terlibat sebagai pelaku/ pendukung pertunjukan seni, dan rumah tangga yang menyelenggarakan/menghadiri acara adat. Pada dimensi ekspresi budaya, penurunan angka didorong oleh menurunnya indikator persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang aktif mengikuti kegiatan organisasi dan persentase penduduk yang pernah terlibat sebagai pelaku/pendukung pertunjukan seni.

Di samping itu, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menyebutkan bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa dan hasil karya masyarakat. Kebudayaan sebagai penggerak roda pembangunan berkelanjutan bukan merupakan hal yang baru. Unsur kebudayaan menjadi hal penting yang patut diperhatikan, saat arah pembangunan berkelanjutan saat ini tidak hanya bertumpu pada peningkatan perekonomian dan kesejahteraan semata.

Dengan segala karakteristik penduduknya, keanekaragaman budaya di Jawa Tengah merupakan modal dasar pembangunan. Oleh karena itu, rancangan kebijakan yang berfokus kepada pengembangan dan pelestarian budaya, sekaligus sebagai booster untuk mendorong laju pembangunan perlu dilakukan. Isu-isu sosial budaya yang terintegrasi dalam perencanaan pembangunan mutlak diperlukan untuk peningkatan kualitas hidup manusia sekaligus memperbaiki kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh, sehingga perwujudan agenda SDGs (Goals 11.4 Mempromosikan dan Menjaga Warisan Budaya Dunia dan Warisan Alam Dunia) dapat dipetakan dengan baik.

Tentu saja hal-hal yang ideal dalam naskah akademik itu perlu menjadi serius bagi Komisi E DPRD Jawa Tengah dalam mematangkan dan menyempurnakan Raperda Pemajuan Kebudayaan. Karena fungsi naskah akademik dalam pembentukan raperda adalah sebagai landasan yang bersifat akademis, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu hukum dan politik hukum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pemerintah, sehingga raperda ini jika sudah melalui pembahasan di badan legislatif dan kemudian menjadi perda telah memiliki kepastian hukum dan berdaya guna, berhasil guna bagi kepentingan masyarakat dan pemerintah.

Naskah akademik merupakan satuan kesatuan dari suatu raperda, sehingga secara substansial harus ada kesesuain antara naskah akademik dan raperda yang tertuang dalam pasal-pasalnya. Secara substansia raperda harus berdasarkan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis.(*)

Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah

About suparman

Check Also

Mengapa Disiplin dan Bersih Begitu Susah Di Indonesia ?

Oleh  : Nia Samsihono Saat aku melangkah menyusuri Jalan Pemuda Kota Semarang aku mencoba menikmati …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca