Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, M.T.
Permasalahan banjir yang terjadi di Kota Semarang, tentu terkait erat dengan sistem tata air wilayah hulu dan hilir. Dengan kata lain, sebab-sebab terjadinya banjir ada hubungannya dengan sistem tata air wilayah hulu ke hilir.
Sistem tata air terbagi menjadi tiga. Pertama, Sistem tata air yang berada di permukaan tanah (surface drainage) yang berupa sistem drainase makro (alami), sistem ini meliputi sungai-sungai beserta anak-anak sungai dan juga kanal yang berfungsi sebagai penerima air. Kedua, Sistem tata air yang berada di permukaan tanah (surface drainage) yang berupa sistem drainase mikro (buatan), sistem ini meliputi saluran-saluran buatan manusia, terutama berguna untuk saluran pengendalian banjir. Ketiga, Sistem tata air yang berada di bawah permukaan tanah (subface drainage), meliputi: peresapan, air tanah bebas, mata air, infiltrasi, muka air tanah (bebas), air tanah bertekan dan lapisan kedap air.
Kondisi Eksisting Sistem Tata Air
Untuk menangani banjir Kota Semarang, maka perlu mempelajari sistem tata air yang ada. Kondisi eksisting sistem tata air yang berada di permukaan tanah (surface drainage) berupa sungai-sungai beserta anak-anak sungai dan juga kanal yang berfungsi sebagai penerima air, maupun saluran-saluran buatan, terkait erat dengan topografi dan fungsi ruangnya terbagi menjadi dua bagian.
Pertama, Semarang bagian bawah (ketinggian kurang dari 25 meter DPL), wilayahnya membentang dari Barat ke Timur dan mempunyai jarak dari garis pantai antara 3,5 km sampai 10 km. Bagian tengah terdapat kota lama (pusat kota) yang merupakan pusat perdagangan, perkantoran, pendidikan, permukiman padat. Bagian Barat dan Timur wilayah ini dibatasi oleh Sungai Banjir Kanal Barat dan Sungai Banjir Kanal Timur serta bagian Selatan dibatasi oleh saluran Sriwijaya dan CBZ.
Saluran-saluran tersebut berfungsi untuk melindungi pusat kota Semarang. Disamping itu terdapat pula dua saluran drainase utama, yaitu Kali Banger dan Kali Semarang untuk mengatasi banjir lokal (yang sebagian besar sudah dinormalisasi). Bagian Timur dominasi wilayahnya sebagai kawasan industri dan permukiman. Pada wilayah tersebut terdapat dua saluran drainase utama, yaitu Kali Tenggang dan Kali Sringin yang berfungsi untuk mengatasi banjir lokal. Disamping itu, dibagian Timur ini terdapat pula Kali Babon yang berfungsi untuk mengatasi banjir kiriman dari wilayah atas.
Bagian Barat dominasi wilayahnya sebagai kawasan industri dan permukiman. Pada wilayah tersebut terdapat beberapa saluran drainase utama antara lain yaitu Kali Mangkang, Kali Beringin, Kali Tapak, dan beberapa saluran kecil lainnya yang masih belum ditangani, yaitu Kali Ronggolawe dan Kali Karangayu yang bagian hilirnya sudah dinormalisasikan. Untuk mengatasi banjir dari wilayah atas terdapat Kali Silandak yang bagian hilirnya sudah dinormalisasikan yang difungsikan pula untuk mengatasi banjir di sekitar Bandara Ahmad Yani.
Kedua, Semarang bagian atas (bagian Selatan) dengan ketinggian diatas 90 Meter DPL, wilayah ini berupa perbukitan dengan ketinggian berkisar antara 90-348 meter DPL. Wilayah ini tampaknya menjadi area pengembangan baru sebagai kawasan permukiman dan kawasan pendidikan.
Mestinya perlu diperhatikan bahwa wilayah tersebut awalnya merupakan kawasan “agroforestry” dan “agriculture”, yang berfungsi sebagai wilayah tangkapan air (Catchment area) untuk Kota Semarang.
Jika wilayah tersebut dikonversi (dialihfungsikan) menjadi fungsi terbangun lainnya, artinya terjadi perubahan tutupan dan penggunaan lahan terkait dengan pertumbuhan penduduk, aktivitas, perlakuan manusia dalam melakukan kegiatan produksi, mata pencaharian, aksesibilitas, fasilitas pendukung kehidupan serta kebijakan pemerintah sehingga menyebabkan perubahan pada areal tersebut.
Dengan kata lain, terjadinya konversi lahan (beralihnya fungsi penggunaan lahan) di wilayah Semarang bagian atas, terjadinya penebangan pohon tentu menyebabkan berkurangnya jenis tanaman yang mempunyai kemampuan tinggi menahan air.
Kawasan hutan lindung semakin berkurang, begitu pula dengan luasan tangkapan air (catchment area), sehingga daya resap air (permeabilitas) semakin sedikit karena sebagian permukaan tanah semakin banyak yang dipadatkan atau tertutup aspal dan bahan perkerasan jalan lainnya. Pada gilirannya berdampak pada rusaknya sistem tata air dan berubahnya siklus hidrologi.
Kerusakan sistem tata air atau berubahnya siklus hidrologi ini terjadi karena area tangkapan air (Catchment area) tersebut tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Beralihnya fungsi lahan konservasi menjadi lahan permukiman, maka air hujan sedikit sekali yang masuk ke dalam tanah melalui infiltrasi, akan tetapi air hujan langsung mengalir berupa aliran permukaan (surface run off). Disamping itu, bekurangnya proses infiltrasi, menyebabkan aliran air dalam tanahpun semakin berkurang.
Keseimbangan Ekologi dan Tata Lingkungan
Kerusakan sistem tata air atau siklus hidrologi di Kota Semarang bagian atas, akan berdampak tidak sekedar berubahnya sistem tata air, namun menjadi permasalahan yang berkait dengan terjadinya banjir (banjir kiriman, luapan air limpasan maupun genangan) pada wilayah Kota Semarang bagian bawah. Selain itu juga menjadi penyebab berkurangnya sumber air bersih pada wilayah Kota Semarang bagian bawah. Dampak ikutan lain akibat banjir adalah terganggunya berbagai kegiatan di Kota Semarang bagian bawah, baik secara fisik, sosial, ekonomi maupun budaya.
Oleh karenanya, maka pengarahan pemanfaatan lahan pada wilayah Semarang bagian atas perlu memperhatikan keseimbangan ekologi dan tata lingkungan secara menyeluruh. Selain itu sistem tata air (jaringan infrastruktur drainase) baik surface drainage maupun subface drainage perlu dirancang dengan tujuan mengatur dan mengendalikan aliran air (air hujan dan limbah) dalam suatu lingkungan dan wilayah menuju tempat yang lebih aman.(*)
Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, M.T., Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, UNISSULA dan Sekretaris Umum Satupena Jateng.