Oleh Gunoto Saparie
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Tengah secara resmi meluncurkan tahapan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah (Pilgub Jateng) 2024. Acara peluncuran digelar di Kelenteng Sam Poo Kong, Semarang, Sabtu, 24 April 2024. Dalam acara tersebut, KPU Jateng juga memperkenalkan maskot serta jingle resmi Pilgub Jateng 2024.
Maskot yang dipilih KPU Jateng dalam menggelar Pilgub Jateng 2024 adalah Semar Ki Lurah Badranaya, tokoh pewayangan punakawan yang memiliki sifat adil, jujur, tulus, bijaksana, cerdas, dan berpengetahuan luas. Ekspresi bahagia pada wajah Semar melambangkan ramah dan keberadaannya yang ikonik serta dihormati oleh masyarakat Jawa. Pemilihan Semar sebagai maskot Pilgub Jawa Tengah 2024 dilakukan setelah melakukan diskusi dengan instansi terkait, budayawan, dan seniman untuk mendesain logo pilgub dan memberikan masukan terkait pilihan maskot.
Maskot Semar Ki Lurah Badranaya diubah dengan bentuk yang lebih futuristik untuk mencerminkan citra KPU Jateng yang kekinian dalam pemanfaatan teknologi informasi dalam penyelenggaraan Pilgub Jateng 2024. Sedangkan tagline atau slogan yang dipilih untuk Pilgub Jateng 2024 adalah “Luwih Becik Luwih Nyenengke”, yang menggambarkan harapan agar pelaksanaan pilgub dapat berjalan lebih baik dan membuat semua pihak yang terlibat merasa senang bagi warga Jawa Tengah.
KPU Jateng agaknya menyadari benar tentang pentingnya komunikasi politik berbasis kearifan lokal dalam Pilgub. Semar adalah tokoh pewayangan yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa Tengah khususnya. Masyarakat di provinsi ini memang memiliki nilai-nilai kultural yang tinggi, dan sesungguhnya tidak sulit menemukan berbagai kearifan lokal yang menghidupi masyarakat Jawa Tengah. Selain itu ditemukan dalam wayang, kearifan lokal juga termuat dalam nyanyian, tembang, pepatah, yang melekat pada keseharian masyarakat Jawa Tengah. Kearifan lokal masyarakat tercermin dalam kebiasaan hidup atau pun nilai yang berlaku pada masyarakat Jawa Tengah.
Kearifan lokal adalah nilai-nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat atau aturan-aturan khusus yang mengandung nilai-nilai kebijaksanaan untuk mengatur kehidupan sosial masyarkat, agar tercapai kebaikan atau harmoni sosial. Kearifan lokal berasal dari kata local (lokal atau daerah tertentu) dan wisdom (kearifan atau kebijaksanaan).
Dalam kaitan ini, kita berharap para calon Gubernur Jawa Tengah tidak mengabaikan kearifan lokal yang ada di provinsi ini. Mereka diharapkan mengenal budaya setempat, sehingga segala tindakan dan perilaku mereka disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang berkembang pada budaya setempat itu. Pola komunikasi politik yang mereka lakukan diharapkan dmendekatkan diri dengan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Jawa Tengah. Kita kenal, misalnya, tembang “Holopis Kuntul Baris” yang memuat tentang pentingnya gotong royong, keguyuban, dan kerukunan dalam suatu kegiatan atau pekerjaan.
Kearifan Lokal Bisa Dikembangkan
Memang banyak nilai-nilai kearifan lokal di Jawa Tengah yang bisa dikembangkan. Contohnya, ungkapan “Yen menang aja umuk, yen kalah aja ngamuk.” Artinya, jika menang jangan sombong, arogan, dan jika kalah jangan mengamuk atau merusak. Kearifan lokal berbasis nilai-nilai Jawa ini sesungguhnya amat positif dan mendukung berbagai upaya untuk menjaga iklim kondusif dan mencegah terjadinya konflik pada pelaksanaan maupun pascapilgub.
Ada juga ungkapan, “Jer basuki mawa bea.” Artinya, untuk sukses dibutuhkan pengorbanan. Bea dalam dalam konteks ini adalah modal atau pengorbanan, yang bukan berarti hanya uang saja, tetapi bisa berupa modal materi, modal tenaga (usaha), pengorbanan, dan sebagainya. Calon gubernur yang menang karena tanpa Lelah berkeliling bersilahturahmi ke berbagai kalangan masyarakat dari pagi hingga larut malam sesungguhnya merupakan bea juga.
Selain itu, ada pula ungkapan, “Ana rembug dirembug.” Artinya, semua hal sesungguhnya bisa diselesaikan melalui proses komunikasi politik yang baik. Ada musyawarah, dialog atau berdiskusi untuk mencari kesepahaman.
Dengan komunikasi politik berbasis kearifan lokal, masyarakat yang berbeda pilihan akan reda ketegangannya. Suhu politik lebih mendingin dan tidak ada rasa saling curiga antara masyarakat pendukung, penyelenggara pemilu, dan penguasa. Tentu saja komunikasi politik yang dikemas dengan nilai-nilai budaya Jawa Tengah itu bukanlah sekadar basa-basi atau hanya kampanye sesaat. Sosialisasi atau komunikasi poltiik yang dibangun benar-benar mengedepankan kearifan lokal bukan tidak mungkin mereka lebih diterima, karena di dalamnya terdapat bahasa santun, damai, toleran, dan penuh solidaritas.
Demikianlah, para kandidat gubernur, tim sukses, dan relawannya diharapkan agi para elit politik di dalam komunikasi politik dan diplomasi politik dengan masyarakat di daerah mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal yang sudah berakar di Jawa Tengah. Selain itu, untuk menghindari konflik, baik antarkandidat maupun antarpendukung diharapkan sejak dari awal kegiatan politik atau kampanye para calon gubernur, politisi, tim sukses, maupun relawan, melibatkan nilai-nilai kearifan lokal. Dengan berbasis kearifan lokal, maka kita berharap, semoga Pilgub dapat berrjalan dengan lancar, aman, dan tertib.
Memang sangat disayangkan ketika kearifan lokal yang dimiliki oleh Provinsi Jawa Tengah tidak banyak digali dan digunakan oleh para elite politik. Padahal banyak nilai-nilai kearifan lokal di Jawa Tengah, bahkan pada masing-masing daerah kabupaten dan kota, yang bias dikembangkan secara positif dan efektif untuk membantu mengatasi berbagai persoalan Pilgub tersebut. ( Gunoto Saparie adalah Ketua Dewan Kesenian Jawa Tengah )