Jakarta, Koranpelita.co
Jurnalis adalah salah satu profesi yang rentan terkena depresi. Karena sifat pekerjaan terus mengejar deadline, meliput konflik, bencana, kekerasan, kriminal dan mobilitas tinggi dapat mengakibatkan kecemasan, kelelahan, trauma, depresi bahkan gangguan stress paska trauma (PTSD).
Dalam wawancara yang dilakukan oleh Canadian Journalism Forum tentang Kekerasan dan Trauma, kepada 1000 pekerja media menemukan 69% pekerja media melaporkan sendiri bahwa mereka menderita kecemasan dan 46% depresi.
Kesehatan mental berdampak pada kesehatan fisik, sosial, dan ekonomi individu dan masyarakat di seluruh dunia. Lebih dari tiga perempat orang yang menderita penyakit mental tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMICs), dimana banyak dari mereka tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan mental yang berkualitas. Faktanya, lebih dari 75% orang dengan gangguan kesehatan mental di negara-negara berkembang dan berkembang tidak menerima perawatan sama sekali.
Kesehatan mental merupakan hal yang penting bagi setiap individu untuk dapat menyadari kemampuan, potensi yang dimiliki, sehingga dapat produktif dan berperan dalam komunitasnya. Saat ini dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi dan maraknya informasi mengenai kesehatan mental yang dapat mudah diakses melalui sosial media dapat menjadi boomerang apabila mengarah pada perilaku self-diagnose yang justru memperburuk kondisi pasien.
Pada umumnya gejala depresi yang banyak dialami yaitu seperti kecemasan, sedih, murung, suasana hati kosong, putus asa, gelisah, lemah, lesu, tidak dapat mengambil keputusan dan lain sebagainya yang seringkali tidak disadari oleh pasien. Baik karena kesibukan maupun stigma di masyarakat yang mengakibatkan pasien mengabaikan kondisi kesehatan mentalnya.
Hal tersebut di katakan, dr. Lahargo Kembaren, SpKJ saat ‘Media Gathering Supporting Mental Health Johnson n Johnson di Jakarta, Kamis(14/12/2023).
Foto Ki-ka : dr. Lahargo Kembaren, SpKJ dan Devy Yheanne, Leader of Communications & Public Affairs Johnson & Johnson Pharmaceutical for Indonesia, Malaysia & Philippines, saat pemaparan di Acara Year End Media Gatherin Johnson & Johnson Indonesia 2023 “Minds The News : Supportin Mental Health in the Media Landscape”. (foto : ist)
Menurut Lahargo, bahwa kondisi ini dapat berdampak pada kesejahteraan pasien secara fisik dan mental yang berdampak pada produktifitas dan kesehariannya.
“Kita perlu memahami pentingnya kesehatan mental. Depresi adalah masalah kejiwaan yang dapat ditangani dan disembuhkan apabila segera mendapatkan penanganan medis yang tepat. Sehingga tidak perlu ragu untuk memeriksakan diri ke tenaga medis profesional apabila merasakan gejala seperti lesu, sedih terus-menerus, kehilangan minat pada hobi, sulit berkonsentrasi, dan yang teburuk adalah berulang-ulang memikirkan kematian. Pasien disarankan segera memeriksakan diri dan jangan melalukan self-diagnose karena dapat memperparah gejala,” jelasnya.
Selama lebih dari 60 tahun, Johnson & Johnson telah berdedikasi untuk meningkatkan hasil bagi mereka yang menderita penyakit mental.
Tidak hanya itu saja, Johnson & Johnson Indonesia juga terus berupaya meningkatkan literasi dan menghapus stigma mengenai kesehatan mental di masyarakat melalui berbagai kegiatan edukasi yang dilakukan.
“Johnson & Johnson Indonesia di tahun 2023 sebagai bentuk komitment Johnson & Johnson mengedukasi masyakat mengenai pentingnya kesehatan mental,” ujar Devy Yheanne, Leader of Communications & Public Affairs Johnson & Johnson Pharmaceutical for Indonesia, Malaysia & Philippines.
Devy mengatakan, kesehatan mental merupakan salah satu fokus utama kami. Jurnalisme, sebagai profesi yang memegang peran krusial dalam membentuk masyarakat, terkadang mengorbankan kesehatan mental para pelakunya. Jurnalis, yang sering kali berada di garis depan peristiwa traumatis seperti konflik, bencana alam dan menghadapi tekanan berlebih. Meskipun tugas mereka memerlukan ketangguhan dan ketahanan, kesehatan mental jurnalis sering luput dari perhatian. Padahal berita yang berkualitas dapat dihasilkan dengan baik apabila kesehatan fisik dan mental jurnalis dapat terjaga,” tungkasnya.
Untuk itu lanjut Devy, Johnson & memang di Indonesia Johnson Indonesia berkomitmen untuk mendukung rekan-rekan media dalam menjalankan profesinya dengan baik salah satunya melalui edukasi kesehatan mental.
Dengan demikian kata Devy, dr. Lahargo Kembaren, SpKJ membagikan beberapa tips yang bisa dilakukan jurnalis untuk membangun kesehatan mental yang baik, “Cobalah untuk tidak fokusl padal apa yang tidak bisa kita kontrol tapi fokus pada apa yang bisa kita kontrol, yaitu tidur, makanan dan hubungan. Pastikan untuk tidur pada jam yang sama, sehingga tubuh akan terlatih. Tubuh kita memiliki ritme sirkadian yang unik, dimana jumlah hormon kortisol meningkat di pagi hari dan turun di malam hari sehingga akan terasa sangat mengantuk, gunakan waktu ini untuk tidur.
Nutrisi lengkap
Mulailah mengonsumsi makanan dengan nutrisi lengkap dan seimbang. Lalu, alokasikan waktu untuk menjalin hubungan dengan sesama karena hubungan yang baik akan melindungi kesehatan mental. Ambillah cuti untuk melakukan hal yang berbeda dari rutinitas peliputan berita, misalnya jalan-jalan dengan teman. Rasa cemas dan stres memang sangat normal, tetapi apabila sudah mulai menganggu kinerja, maka sebaiknya segera konsultasikan dengan dokter.”
Melalui kegiatan ini, Johnson & Johnson Indonesia berharap dapat mendukung kesehatan mental di Indonesia dan mengajak semua pihak, terutama jurnalis, untuk bersama-sama memerangi stigma dan peduli terhadap kesehatan mental.
Untuk di ketahui, sebuah studi pada tahun 2020 yang dilakukan oleh Reuters Institute for the Study of Journalism dan University of Toronto terhadap 73 jurnalis dari organisasi berita internasional menunjukkan bahwa 70 persen diantaranya menderita tekanan psikologis pada tingkat tertentu dan tanggapannya menunjukkan bahwa 26 persen memiliki kecemasan yang signifikan secara klinis sesuai dengan diagnosis tersebut. Generalized Anxiety Disorder yang meliputi gejala khawatir, perasaan gelisah, insomnia, konsentrasi buruk dan kelelahan.
Depresi 50% lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki
Di seluruh dunia, lebih dari 10% wanita hamil dan baru melahirkan mengalami depresi. Lebih dari 700.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Bunuh diri adalah penyebab kematian keempat pada kelompok usia 15-29 tahun.(Vin)