Jakarta, koranpelita.com
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), ikut menyelidiki dugaan intimidasi yang dialami seniman Butet Kartaredjasa dan Agus Noor. Butet mengaku mendapat intimidasi dari polisi saat akan menggelar pertunjukan teater “Musuh Bebuyutan” di Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (1/12/2023).
Putra budayawan Bagong Kussudiardja itu diminta menandatangani surat pernyataan oleh polisi agar tidak menyinggung isu politik selama pertunjukan berlangsung. “Itu persyaratan administrasi sebelumnya tidak pernah ada sejak reformasi 1998. Hanya orde baru saja seperti itu,” kata Butet kepada wartawan, Selasa (5/12/2023).
Anggota Kompolnas, Yusuf Warsyim mengatakan pihaknya masih menelusuri dugaan intimidasi yang menimpa Butet Kartaredjasa dan Agus Noor.
Menurut Yusuf, jika mengacu pada aturan teknis, kegiatan di TIM adalah pertunjukkan teater berbayar, yang pengajuan izin dan tata cara pengawasannya diatur dalam PP Nomor 60 tahun 2017.
PP tersebut mengatur rezim perizinan untuk kegiatan keramaian umum seperti pertunjukkan teater di TIM, dan rezim pemberitahuan untuk kegiatan politik.
Yusuf menduga, terjadi miskomunikasi yang membuat Butet merasa terintimidasi. “Barangkali polisi ingin memastikan, pertunjukkan ini kegiatan politik atau bukan,” katanya. Tapi yang jadi masalah, mengapa Butet sebagai penampil yang diminta menandatangani surat pernyataan.
“Permintaan tandatangan kepada kang butet, posisinya apa? sementara penyelenggara yang mengajukan izin ke polisi,” tanya Yusuf mengakhiri.
Sebelumnya Juru Bicara Timnas Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin), Marco Kusumawijaya menyebut intimidasi yang dialami Butet adalah bukti kemunduran demokrasi di Indonesia.
“Ini termasuk melawan demokrasi. Ini belum pernah terjadi sejak reformasi. Jadi kemunduran yang luar biasa,” ujar Marco yang juga seniman, di Jakarta, belum lama ini.
Marco menduga tekanan terhadap Butet, dilatarbelakangi sikap politiknya yang kini berbalik mengkritik Jokowi.
“Mungkin dikhawatirkan pentas dia akan terlalu kritik rezim. Tapi apa mau dikata kecuali bahwa ini adalah pelanggaran, apalagi pelanggaran hak ekspresi di dalam bidang kesenian itu adalah benteng suci terakhir yang harus kita pertahankan,” tegasnya.
*Kejadian Berulang*
Sebelum kasus Butet mencuat, Juru Bicara TPN Ganjar-Mahfud, Aiman Witjaksono juga pernah mengeluhkan jerat hukum terhadap dirinya, gara-gara mengingatkan soal netralitas aparat dalam Pemilu 2024.
Aiman heran, ada enam pihak yang melaporkannya dalam waktu berdekatan ke Polda Metro Jaya. Padahal kritik yang ia unggah melalui akun media sosial pribadinya, adalah hak dan kewajiban warga negara untuk menjaga demokrasi agar berjalan transparan.
Tak cuma mempertanyakan kepentingan pelapor, Aiman juga merasakan kejanggalan dalam penanganan kasusnya. Seperti surat panggilan klarifikasi yang dikirim jelang tengah malam sekitar pukul 23.50 WIB. “Jelas itu jam menurut saya tidak wajar untuk mengantarkan undangan, untuk bertamu,” keluh Aiman.
Kekhawatiran tentang keberpihakan aparat, berujung pada wacana pembentukan panitia kerja khusus. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Trimedya Panjaitan mengusulkan pembentukan Panja Netralitas Polri untuk Pemilu 2024. Trimedya merujuk pada langkah Komisi I DPR yang sudah lebih dahulu membentuk Panja Netralitas TNI.(*)