Mamuju, Koranpelita.com
Kehadiran perpustakaan sangat penting agar Indonesia karena dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Namun,untuk membawa Indonesia menjadi negara maju dibutuhkan waktu. Dan kuncinya ada pada seberapa kuatnya keinginan masyarakat dalam berliterasi, khususnya mencari ilmu di perpustakaan.
Kepala Perpustakaan Nasional RI Muhammad Syarif Bando, mengatakan jika Indonesia tidak pernah merubah paradigma pendidikan, dari pemberantasan buta aksara sampai sekarang.
“Padahal sudah 78 tahun merdeka. Tapi fokusnya masih ke arah sana. Bandingkan dengan Jepang (saat berusia) 30 tahun, memiliki visi di dunia pendidikan dan industrialisasi. Ketika sudah 60 tahun (pasca perang dunia II), menjelma menjadi negara informasi. Kemudian negara-negara di Asia Timur lainnya seperti Tiongkok dan Korea. Ketika 40 tahun merdeka, menjelma sebagai negara produsen,“ beber Syarif dalam kegiatan peresmian gedung layanan perpustakaan umum Provinsi Sulawesi Barat dan Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat (PILM) di Mamuju, Senin (20/11/2023).
Ia menuturkan, perpustakaan bisa membawa masyarakat memiiki kedalaman pengetahuan yang bisa sampai kepada kemampuan produksi barang, dan jasa berkualitas tinggi. Sehingga dipakai dalam memenangkan persaingan gloal.
“Perpustakaan dibangun karena jantungnya pendidikan bangsa, dengan catatan harus menjadi ruang terbuka. Dengan membaca bisa mengukur ilmu pengetahuan yang dimiliki,“ ucap Syarif.
Perpusnas, tambahnya, memiliki lima tingkatan literasi, yakni baca tulis hitung(calistung) diserta pembentukan karakter. Kemudian memiliki akses informasi dan pengetahuan melalui bahan bacaan, memahami yang tersirat dari yang tersurat, memiliki inovasi untuk maju dan memiliki ilmu pengetahuan untuk memproduksi barang. “Tidak perlu anggaran untuk menciptakan sesuatu. Semua ada dalam perpustakaan,“ imbuhnya.
Sementara itu, Pejabat (Pj) Gubernur Sulawesi Barat, Prof Zudan Arif Fakrulloh menuturkan, sudah sewajarnya jika koleksi buku-buku perpustakaan harus banyak, makin banyak makin bagus itu adalah level pertama dalam tata kelola perpustakaan.
“Koleksi harus jadi akses sebanyak banyaknya.Sebab, di Sulbar masih banyak masyarakat yang membaca secara manual. Namun perkemangan zaman juga membuat buku bisa dibacara secara digital melalui ponsel.“
“Perpustakaan Sulbar harus melakukan desain buku untuk didigitalkan, dan ada file digital yang bisa diakses masyarakat. Perpustakaan juga harus datang ke desa bangun komunitas literasi di sana,“ imbuhan Uda.
Zudan mengibaratkan yang gemar membaca diibaratkan sumbu panjang. “Kalau sumbu pendek kan, begitu api dinyalakan bakal langsung meledak. Sumbu panjang berbeda. Begitu api nyala, perlu waktu untuk sampai ke sumber ledakan. Bakal diolah, dianalisa sebelum diputuskan. Makin banyak membaca, masyarakat bisa kelola informasi. Tidak ada orang pintar tanpa membaca. Perpustakaan punya peran luar biasa dalam mewujudkan tradisi sumbu panjang ini,“ tandasnya.
Sementara Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Sulbar Muhammad Idris menyatakan, wilayahnya tertinggal dalam level literasi publik. Alasannya karena ketidaan ekosistem yang menjadi penyebab tumbuhnya literasi.
“Sebagai contoh lembaga pendidikan. Seharusnya menjadi kunci munculnya atmosfer baru ekosistem literasi. Tapi belum berani mengambil peran serta tanggung jawab yang lebih jauh lagi dalam menggalakkan literasi di Sulbar,“ ungkapnya.
Idris berpendapat sulit mewujudkan hal itu hanya dengan ajakan-ajakan. Harus diperjuangkan oleh berbagai pihak. kuncinya mendorong kebijakan literasi publik di tingkat struktural. Misalnya pemkot/pemkab menjadi unit yang menyediakan infrastruktur, ekosistem dan dukungan-dukungan lain yang dibutuhkan. Masyarakat adanya di kabupaten/kota. Harus ada kesinambungan dengan provinsi.
“Harus menunjukkan urgensi literasi pada level daya saing. kunci Sulbar ingin melampaui provinsi lain, pintu masuknya ada pada literasi yang digaungkan secara masif,“ jelasnya.
Pustakawan Ahli Utama Perpusnas, Deni Kurniadi menambahkan, keberadaan gedung fasilitas Layanan perpustakaan umum tak terlepas dari dukungan dan peran serta pemerintah pusat. Kemudian sinergitas antara Perpunas dengan Komisi X DPR RI, membuat bangunan senilai Rp15 miliar itu bisa hadir.
“Perpustakaan bukan hanya menjadi tempat mencari informasi. Tapi juga sebagai tempat berkumpul, beraktivitas, berlatih keterampilan dan juga pusat kebudayaan, “ ucapnya.
Ketua DPRD Provinsi Sulbar St. Suraidah Suhardi menyampaikan, jika pihaknya sedang membahas kebijakan anggaran dan mengharapkan masukan OPD terkait untuk kebutuhan apa saja yang diperlukan. (Vin)