Jakarta, Koranpelita.com
Berbagai fenomena global seperti perubahan iklim (climate change), pandemi covid-19, berbagai konflik termasuk perang Rusia-Ukaraina, serta fenomena El-Nino yang berkepanjangan, telah menyebabkan krisis pangan mengancam banyak negara termasuk Indonesia karena terjadi penurunan produksi, kenaikan harga pangan, kenaikan biaya produksi, gangguan distribusi pangan dan restriksi ekspor negara lain.
Berdasarkan penilaian Global Food Security Index (GFSI) dari The Economist Intelligence Unit (EIU) yang dipublikasikan pada Desember 2022, ketahanan pangan Indonesia dengan skor 60,2 berada di posisi 63 dari 113 negara.
Ketersediaan pangan Indonesia dinilai kurang baik dengan skor 50,9. Keadaan ini tentu masih memprihatinkan. Banyak negara, untuk memenuhi ketersediaan pangannya dilaksanakan melalui swasembada dengan cara memproduksinya di dalam negeri.
Hal tersebut di ungkapka Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo pada FGD Ranah Tata Sejahtera bertema “Mengurangi Food Loss dan Food Waste untuk meningkatkan Ketahanan Pangan Nasional, di Jakarta Jumat (17/11/2023).
Tidak hanya itu saja lanjut Pontjo, konsep swasembada pangan dipandang sebagai salah satu cara efektif dalam mencapai ketahanan pangan suatu negara, sehingga negara tersebut memiliki kontrol yang besar terhadap pasokan pangannya dan tidak tergantung pada pasar internasional.
Namun fenomena perubahan iklim telah mengancam produksi dan ketersediaan pangan. Menghadapi fenomena ini, ada kebutuhan untuk membangun sistem produksi berkelanjutan (sustainable) tanpa terpengaruh oleh perubahan iklim.
Untuk itu, pemerintah diharapkan mengambil kebijakan khusus berupa perlindungan terhadap para petani yang mengalami gagal panen serta mendorong pengembangan inovasi teknologi pertanian dan pangan.
“Terganggunya ketersediaan pangan dalam negeri, dapat dilakukan dengan kebijakan impor secara terbatas dengan tetap memperhatikan aspek kemandirian dan kedaulatan pangan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Oleh karena itu, kebijakan impor pangan harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya apa yang disebut “state capture” atau “state capture corruption”,” himbau Pontjo.
Pontjo mengingatkan, State capture merupakan tindakan untuk mengkooptasi, mengintervensi, dan mendominasi kebijakan negara melalui suap dan tekanan. State capture, dapat juga terjadi di sektor pertanian dan pangan, karena kebijakan dalam sektor pertanian dan pangan masih memiliki banyak celah yang dapat dimanfaatkan oleh oknum pencari rente. Khususnya terkait perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan tata niaga impor.
Tidak tergantung
Lebih lanjut Pontjo mengatakan, pemenuhan kebutuhan pangan seharusnya juga tidak bergantung hanya pada beras dan gandum. Apalagi Indonesia saat ini masih bergantung 100% dengan gandum impor. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia masih impor gandum mencapai 10,2 juta ton dengan nilai 2,6 miliar dolar AS. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah karena besarnya permintaan produk gandum di tanah air.
Untuk itu lanjutnya, diversifikasi produk pangan menjadi penting dilakukan dalam rangka membangun ketahanan pangan yang didasarkan pada keberagaman sumber daya hayati dan budaya lokal. Indonesia sangat kaya dengan varian tanaman pangan lokal yang bisa ditanam dan tumbuh seperti sagu, jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, dan lain-lain.
“Inovasi teknologi bisa menjadi jawaban atas persoalan ini agar Indonesia tidak bergantung pada satu atau dua produk makanan pokok saja. Memperhatikan berbagai keadaan yang saya sampaikan tadi, maka menjadi penting untuk mendorong perbaikan tata kelola, transparansi dan akuntabilitas investasi publik sektor pertanian dan pangan sehingga memberikan manfaat berupa peningkatan produksi pangan dalam negeri dan perbaikan kesejahteraan petani,” jelasnya.
Perbaikan tersebut tentu saja harus dimulai dengan perbaikan kebijakan dan program yang ada, khususnya pada investasi publik yang dilakukan oleh negara pada sektor pertanian dan pangan. Tata kelola pangan yang baik dan berkelanjutan menjadi sangat penting. Oleh karena itu, kehadiran Peraturan Presiden Nomor: 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional (Bapanas) tentu saja menjadi harapan sebagai solusi atas berbagai persoalan pangan yang masih kita hadapi. Bapanas diharapkan mampu menjawab tuntutan swasembada, ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan Indonesia.
Menurut Pontjo, harapan besar publik kepada Bapanas tentu sangat wajar, karena Indonesia dipandang masih perlu melakukan pembenahan dalam tata kelola pangan. Perbaikan perlu dilakukan pada tata niaga impor pangan nasional, produksi, distribusi, serta konsumsi,btermasuk juga permasalahan mengenai data pangan, yang selama ini masih kerap disorot berbagai pihak.
“Peserta FGD yang saya muliakan, dalam memenuhi ketersediaan pangan, kita juga masih mengalami masalah kehilangan pangan (food loss) dan pemborosan pangan (food waste). Oleh karena itu, jawaban atas kebutuhan ketersediaan pangan yang akhirnya berpengaruh terhadap ketahanan pangan, tidak cukup hanya dengan meningkatkan produksi, namun juga mengatasi masalah kehilangan dan pemborosan pangan.,” ujarnya.
Menurut data dari The Economist Intelligence Unit tahun (2020), Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara yang membuang makanan terbanyak di dunia setelah Arab Saudi. Rata-rata setiap orang Indonesia membuang sekitar 300 kilogram makanan layak makan setiap tahunnya, atau secara keseluruhan, hampir 13 juta ton makanan dibuang sia-sia setiap tahunnya di Indonesia dengan nilai keekonomian setara dengan 27 triliun rupiah.
“Kehilangan dan pemborosan pangan, selain menyebabkan hilangnya nilai ekonomi pangan itu sendiri, juga berdampak langsung terhadap memburuknya ketahanan pangan nasional kita. Oleh karena itu, harus ada upaya sungguhsungguh dari semua pihak untuk menekan kehilangan dan pemborosan pangan ini,” kata Pontjo.
Pemanfaatan inovasi
Pemanfaatan inovasi teknologi ini lanjut Pontjo, diyakini dapat membantu memperkecil kehilangan dan pemborosan pangan. Selain itu, hal ini terjadi karena persoalan budaya. “Kita merasa bersyukur bahwa penanganan kehilangan dan pemborosan pangan telah menjadi perhatian sungguh-sungguh pemerintah. Badan Pangan Nasional lewat kampanye “Stop Boros Pangan” serta “Belanja Bijak” telah melakukan sosialisasi, edukasi, dan advokasi untuk mengurangi pemborosan pangan. Sesuai komitmen dalam SDGs, negara-negara di dunia termasuk Indonesia diharapkan dapat mengurangi 50% food waste per kapita di tingkat retail dan konsumen pada tahun 2030.
“Upaya membangun ketahanan pangan termasuk mengurangi kehilangan dan pemborosan pangan tentu tidak bisa sepenuhnya kita serahkan kepada pemerintah. Harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait. Untuk itu, diperlukan sinergi dan kolaborasi dari hulu ke hilir yang melibatkan akademisi, dunia usaha, komunitas, pemerintah dan media massa,” tungkasnya.
Peran masyarakat lanjut Pontjo, juga sangat diperlukan. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh masyarakat terutama pada tingkat keluarga untuk membantu meningkatkan ketahanan pangan nasional. Membangun ketahanan pangan berbasis keluarga dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan pekarangan melalui home farming atau family farming. Dengan memanfaatkan pekarangan yang ada serta berbagai
teknik penanaman, setiap keluarga dapat memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri, yang pada akhirnya berkontribusi bagi penguatan ketahanan pangan nasional.
Masyarakat terutama keluarga juga dapat ambil peran dalam mengurangi food waste dengan mengubah perilaku keluarga dalam konsumsi pangan, antara lain dengan : membuat rencana makan yang tepat, membeli makan yang kita butuhkan saja, mendaur ulang apa yang tersisa, simpan dengan baik apa yang tidak kita makan, dan mengambil makanan sesuai porsi yang dibutuhkan.
Sebenarnya banyak kearifan lokal dari nenek moyang kita yang mencerminkan upaya untuk mencegah terjadinya pemborosan atau limbah makanan. “Seperti kata bijak atau nasehat: “Kalau makanannya tidak dihabiskan, nanti makanan atau nasinya nangis” Atau “Kalau makanannya tidak habis nanti ayamnya mati”, dan lain-lain,” kata Pontjo.
Oleh karena itulah maka ketahanan pangan sudah seharusnya menjadi kepentingan nasional utama yang harus terus diperjuangkan. Terlebih karena program “Sustainable Development Goals (SDGs)” yang merupakan komitmen global sekaligus juga komitmen Indonesia, telah menetapkan salah satu tujuannya yang harus dicapai pada tahun 2030 yaitu: “Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung pertanian berkelanjutan. (Vin)