Semarang, koranpelita.com – Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Jawa Tengah kampus Semarang mendeklarasikan sebagai sekolah ramah anak. Pendeklarasian itu dilakukan di kampus Semarang, di Jalan Brotojoyo, tepatnya di lapangan sekolah, pada Jumat (10/11/2023).
Kepala SMK Jateng kampus Semarang Hardo Sujatmiko memimpin langsung pendekarasian yang diikuti oleh guru, karyawan, siswa dan lainnya. Kemudian, dari pihak sekolah, komite sekolah, hingga siswa melakukan penandatanganan sebagai bentuk kesepakatan untuk melengkapi prosesi deklarasi tersebut.
“Deklarasi sekolah ramah anak (dilakukan) karena basicnya sekolah asrama. Yang notabenenya harus mewujudkan. Jangan terjadi bullying, pelecehan seksual dan terjadi perbuatan intoleransi,” kata Hardo pada kesempatan tersebut di lokasi acara.
Menurutnya, deklarasi ini sebenarnya merupakan tindak lanjut dari program pemerintah untuk pencegahan pelecehan seksual dan pencegahan bullying di sekolah, atau di satuan pendidikan. Hal itu merupakan langkah pemerintah supaya setiap sekolah melakukan hal itu.
“Sudah ada penandatanganan integritas. Mulai dari kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, semua tanda tangan bikin pernyataan, satu integritas dari sekolah untuk pencegahan anti bullying, anti pelecehan di satuan pendidikan. Baru ini ada pendeklarasian sekolah ramah anak,” ujarnya.
Sekolah ramah anak, menurutnya, di sekolah dengan sistem asrama atau boarding school seperti di SMK Jateng itu sangat perlu ditekankan. Karena fungsi guru tidak hanya menjadi guru semata (teaching), tapi ada fungsi jadi orang tua (parenting), dan fungsi pendamping (coaching). Selain juga pendampingan anak dari berbagai permasalahan, ada kepala sekolah, karyawan, guru yang menjadi model mereka.
“Jadi tidak hanya mengajar, selesai, di boarding tidak demikian. Tapi ada konsep parenting, sangat penting, karena berbagai latar belakang siswa, asal yang berbeda, masalah yang beda, jauh dari orang tua,” tuturnya.
Seorang siswa Debi Nurhayati, antusias dengan adanya pendeklarasian sekolah ramah anak di SMK Jateng karena hal itu akan membantu dalam pengembangan siswa. Sebab siswa yang terbiasa dengan kekerasan maka akan mengganggu perkembangan siswa.
“Di sekolah diajarkan untuk saling toleransi. Seperti sekolah tidak boleh membeda-bedakan. Di sini juga banyak siswa yang (beragama) non-Islam, di sini kami tetap berteman satu-sama lain, di sini juga diterapkan larangan berat. Salah satunya dilarang berkelahi. Ini kan termasuk tindakan kekerasan. Di sini, sangat dilarang,” kata siswi kelas XII.(sup)