Hari ini, saya ingin menulis lagi. Menulis yang sifatnya sangat personal. Hanya untuk saya baca sendiri, kalau perlu di ruang sunyi. Saat usia saya memasuki pitung windu pada Senen Kliwon hari ini.
Banyak orang bilang tak terasa tiba-tiba senja datang. Datang, bahkan tak undangan. Inilah saat, ketika tidak semua orang mengharapkannya segera tiba.
Tapi saya tidak begitu. Toh, memang tidak ada namanya mendadak senja. Sebab, senja itu memukau. Indah, disepuh jingga merona.
Senja memang sering diidentikkan dengan usia yang mendekati usai. Usia lebih dari setengah abad yang berarti akan segera usai melaksanakan tugas, termasuk tugas sebagai seorang abdi negara.
Begitulah. September tahun ini saya genap 55 tahun. Atau Menuju Sat Windu. Dan, saya teringat kembali pesan ibu. Simbok saya yang orang nggunung itu, tapi memiliki sikap hidup yang adiluhung. Pesan itu, adalah bersyukur dan bersabar.
Sikap itu, menjadi ajaran semua orangtua. Tapi ketika disampaikan simbok, terasa sangat istimewa. Prinsip yang luar biasa berguna. Kita bersyukur saat apa yang kita harapkan itu kita dapatkan. Namun, perlu bersabar saat yang datang tak sesuai harapan. Itu inti pesan ibu yang tak akan terlupakan.
Jika dihitung-hitung, terlalu banyak hal yang mesti saya syukuri dibanding mesti bersabar di awal memasuki ulang tahun kali ini. Saya masih sangat ingat pada bulan Maret lalu. Pimpinan mengamanahi tanggung jawab yang lebih menantang di Jawa Tengah.
Saya mampu menambah sahabat tak kurang dari 120 orang di kantor Semarang, mulai dari pegawai organik hingga pegawai outsourcing. Saya juga mengenal banyak kolega baru dari pemerintah daerah (baik provinsi maupun kabupaten/kota), kementerian/lembaga, dan industri jasa keuangan. Tapi memang, untuk semua kegembiraan itu, saya mesti bersabar karena jauh dari keluarga.
Rasa syukur berikutnya, soal kakak (ini panggilan putri sulung saya). Belum ada sebulan dari hari ini kakak berangkat sekolah ke luar negeri. Ini nikmat lain lagi yang pantas disyukuri. Apalagi ia tak meminta diongkosi. Beasiswa dari negara mengantarnya meraih cita-cita.
Begitupun adik, puteri kedua saya yang kini mulai bisa mencari nafkah sendiri. Di usia yang ganjil, 55 tahun, anak-anak telah dewasa dan selaku orang tua mesti yakin mereka akan sukses dan memiliki rejekinya sendiri. Saatnya berhenti mengkhawatirkan mereka.
Kini, kami memang tak serumah lagi. Berempat tapi ada di empat tempat berbeda. Saya di Semarang, istri di Depok, kakak di Amerika, dan adik di Jakarta. Hal terberat adalah rindu yang menyayat kalbu. Bersyukurnya ada teknologi membuat jarak dan waktu menjadi dekat.
Semarang tidak hanya memberi rasa senang. Dia mampu menambah berat badan, seolah tak perlu menunggu waktu. Tapi okelah. Hari ini, menjelang pergantian hari (artinya usia saya 55 tahun lewat satu hari) saya ingin bersyukur dengan rasa syukur paling luhur. Terimaksih untuk usia yang memasuki sat windu, pintung windu. Semoga selalu ada pitulungan untuk menghadapi hari-hari selanjutnya.(*)