-Berikan Kuliah Pascasarjana S3
Jakarta,koranpelita.com
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo sekaligus Dosen Tetap Pascasarjana S3 Ilmu Hukum Universitas Borobudur memberikan kuliah/mengajar mahasiswa S3 Ilmu Hukum Universitas Borobudur. Bamsoet membahas tentang pentingnya MPR RI memiliki kewenangan kembali mengeluarkan TAP MPR, yang bersifat mengikat (regeling).
TAP MPR yang bersifat mengikat dapat menjadi solusi manakala negara dihadapkan pada berbagai kebuntuan. Baik kebuntuan konstitusi, kebuntuan politik, maupun kebuntuan hukum.
Misalnya, kebuntuan politik antar lembaga negara atau antar cabang kekuasaan, antara lembaga kepresidenan (pemerintah/eksekutif) dengan lembaga DPR (legislatif).
“Kebuntuan politik antara Pemerintah dan DPR (eksekutif dan legislatif) dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (yudikatif). Karena sesuai asas peradilan yang berlaku universal, yaitu nemo judex idoneus in propria causa (hakim tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri), maka MK maupun lembaga peradilan lainnya tidak dapat menjadi pihak yang berperkara dalam sengketa lembaga negara,” ujar Bamsoet saat mengajar mahasiswa Pascasarjana S3 Ilmu Hukum Universitas Borobudur, di kampus Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu (24/6/23).
Menurut mantan Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, TAP MPR juga bisa menjadi solusi untuk mengisi kekosongan hukum dalam mengatasi keadaan darurat yang datang secara tiba-tiba. Misalnya, hingga saat ini tidak ada ketentuan dalam konstitusi maupun dalam perundangan manapun tentang tata cara pengisian jabatan publik yang pengisian jabatannya dilakukan melalui Pemilu, jika seandainya Pemilu terpaksa harus ditunda
“Seandainya Pemilu harus ditunda karena berbagai hal yang sudah diatur dalam UU, seperti datangnya pandemi secara tiba tiba sehingga kita tidak bisa menyelenggarakan Pemilu, kita bisa menggunakan TAP MPR untuk mengisi kekosongan hukum tentang pengisian berbagai jabatan publik yang berasal dari pemilihan umum seperti Presiden dan Wakil Presiden, Anggota MPR RI, DPR RI, DPD RI, hingga DPRD Kabupaten/Kota,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, kekosongan hukum lainnya yang bisa saja terjadi yakni jika Pemilu 2024 hanya memiliki satu pasangan Capres-Cawapres, karena gabungan partai politik memboikot Pemilu dan tidak mengajukan calon.
” Keberadaan calon tunggal tersebut akan menghadirkan berbagai persoalan. Misalnya tentang penyebaran suara dan lain-lain. Jika di Pilkada terdapat aturan calon tunggal melawan kotak kosong, di Pilpres tentu sangat lucu,” katanya.
Meski demikian, lanjutnya, UU No.7/2017 tentang Pemilu telah sedemikian rupa mengatur agar tidak terjadi calon tunggal dalam Pilpres. Sebagaimana terlihat dalam pasal 229 ayat 2, serta 235 ayat 5. Namun potensi capres tunggal masih mungkin terjadi, karena peluangnya terakomodir dalam pasal 232 ayat 1, pasal 233, pasal 234 ayat 1, serta pasal 235 ayat 6.
” Namun bagaimana proses tahapan lebih lanjut jika hanya ada satu pasangan capres-cawapres, tidak diatur dalam UU,” ujarnya.
Jika pun dibuat melawan kotak kosong, tambahnya, sebagaimana dilakukan dalam Pilkada, maka akan mendatangkan konsekuensi hukum lebih lanjut. Misalnya, terkait syarat persebaran suara yang harus didapatkan oleh minimal 50 persen + 1 suara yang tersebar di minimal 18 provinsi yang suara masing-masing minimal 20 persen.
“MK memang sudah memutuskan bahwa jika hanya ada dua pasangan calon, maka syarat tersebut tidak berlaku. Pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak otomatis menjadi pemenang. Namun apakah kotak kosong tersebut boleh dianggap sebagai calon?. Lalu jika kotak kosong menang, seperti apa konsekuensi hukum lebih lanjutnya? Karena itu, kita perlu memiliki terobosan pembaharuan hukum, salah satunya bisa melalui TAP MPR. Sementara MPR saat ini tidak lagi memiliki kewenangan mengeluarkan TAP yang bersifat regeling,”pungkasnya. (sup)