Jakarta,koranpelita.com
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memutuskan Pemilu Legislatif 2024 menggunakan sistem proporsional terbuka. Di satu sisi, sistem tersebut dapat mendorong kedekatan emosional antara Caleg dengan konstituennya. Namun disisi lain, harus diakui bahwa sistem tersebut juga membuat masyarakat terjebak dalam politik pragmatis jangka pendek, terjebak dalam politik angka-angka.
“Karena itu, untuk menguatkan sistem proporsional terbuka, masyarakat juga harus cerdas dalam menentukan sikap politik. Jangan mau menerima uang Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu dari para kontestan politik. Karena setelah itu bisa jadi ketika terpilih caleg akan mudah meninggalkan konstituennya. Pilihlah Caleg, Capres, Cagub, Cabup dan Cawalkot sesuai hati nurani. Dengan mempertimbangkan rekam jejak, kapabilitas, dan profesionalitas. Jangan memilih hanya berdasarkan nominal rupiah,” ujar Bamsoet usai taping saat menjadi narasumber program Q&A, BEB, Bamsoet Emang Beda di Studio Metro TV, Jakarta, Jumat (16/6/23).
Turut hadir menjadi panelis antara lain, Budayawan Sudjiwo Tedjo, penulis Kang Maman, wartawan Virgie Baker, pengamat politik Pangi Syrwi Chaniago, serta konten kreator Sharlie Anavita.
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, putusan MK tersebut sekaligus menunjukan bahwa Pemilu 2024 masih on the track. Sehingga wacana penundaan Pemilu menjadi tidak relevan lagi untuk dibahas dan diperbincangkan.
Meskipun UU No. 7/2017 tentang Pemilu, khususnya dalam Pasal 431 memang telah mengatur tentang penundaan Pemilu. Yakni disebabkan terjadinya kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian dan atau seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan.
” Hingga saat ini, berbagai prasyarat penundaan Pemilu tersebut belum terpenuhi,” ujarnya.
Tata Cara Pengisian Jabatan Publik
Waketum Golkar ini mengatakan, meski Pemilu tidak ditunda, kita tetap harus memikirkan terkait perlunya bangsa Indonesia membahas lebih lanjut tentang tata cara pengisian jabatan publik yang pengisian jabatannya dilakukan melalui Pemilu, seperti Presiden dan Wakil Presiden, Anggota MPR RI, DPR RI, DPD RI, hingga DPRD Kabupaten/Kota. Sehingga apabila suatu saat terjadi penundaan Pemilu yang disebabkan berbagai hal yang sudah diatur oleh UU, kita sudah mempunyai aturan yang jelas tentang pengisian berbagai jabatan publik tersebut.
” Mengingat hingga saat ini, tidak ada ketentuan dalam konstitusi maupun dalam perundangan manapun tentang tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan karena penundaan Pemilu,” jelas Bamsoet.
Bamsoet menerangkan, pekerjaan rumah kebangsaan lainnya yang perlu diselesaikan yakni tentang pentingnya Indonesia memiliki Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Sehingga siapapun presidennya, tidak perlu cawe-cawe, tidak perlu khawatir terhadap berbagai program pembangunan yang telah dijalankannya.
” Karena siapapun penggantinya memiliki kewajiban untuk melanjutkan berbagai program pembangunan sesuai pedoman PPHN,” ungkapnya.
Tidak hanya PPHN, lanjutnya, MPR RI juga menerima banyak aspirasi tentang pentingnya menghadirkan kembali Utusan Golongan dalam keanggotaan MPR RI. Utusan Golongan dalam lembaga perwakilan merupakan amanat dan legasi kesejarahan, yang telah diwariskan sejak cita-cita awal kemerdekaan.
” Keberadaan Utusan Golongan memperkuat ikhtiar agar tidak ada satupun unsur elemen bangsa yang ditinggalkan. Sekaligus dapat menjadi penyeimbang peran dari keterwakilan politik yang dipegang oleh DPR dan keterwakilan daerah yang berada ditangan DPD,” pungkas Bamsoet.(sup)