Jakarta, Koranpelita.com
Salah satu isu yang dapat memicu konflik bahkan perang antar negara adalah persaingan dalam penguasaan sumber daya alam (SDA) terutama energi dan pangan yang ketersediaannya memang terbatas.
Dari pengalaman empirik, sekitar 70 persen konflik yang terjadi di dunia bersumber dari isu energi dan pangan akibat pergulatan kepentingan bagi kelangsungan hidup bangsa dan pemajuan negara masing-masing.
Seperti kita ketahui, seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia, kebutuhan energi dan pangan akan terus meningkat.
Sebagai kebutuhan dasar (basic needs) manusia, energi dan pangan merupakan komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik, sosial, dan keamanan nasional.
Dalam persaingan tersebut, negara-negara yang memiliki keunggulan dan ambisi berkuasa pada umumnya menggunakan pendekatan berdasarkan politik kekuatan (power politics) dan melaksanakan strategi eksploitatif berupa monopoli, dominasi dan hegemoni.
Akibat politik kekuatan tersebut, Perang Dunia I dan II serta Perang Dingin pada abad 20 merupakan bukti destruktif yang konkrit. Tentu menjadi pertanyaan sekarang apakah dan bagaimana pengalaman buruk itu dapat dicegah oleh masyarakat internasional agar tidak terjadi lagi pada abad 21 ini.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam Fokus Group Discuseion (FGD) Ranah Tata Nilai “Peran Agama Dalam Ikut Serta Melaksanakan Ketertiban Dunia Bedasarkan Abadi dan Keadilan Sosial,” di Jakarta Jumat (1/6/2023).
Dijelaskan Ponjto, persoalan besar yang juga dihadapi masyarakat dunia internasional saat ini, adalah kebangkitan China sebagai kekuatan baru negara adidaya (superior state) yang menjagad (globalized) sehingga dianggap oleh Amerika Serikat (AS), kekuatan lama (old established force), merupakan ancaman pada statusnya sebagai negara adikuasa yang tetap berambisi menjadi pemimpin pemerintahan dunia (world government order).
“Kedudukan kedua negara tersebut sebagai Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB menambah kerumitan solusi masalah jika terjadi konflik militer antar mereka. Kondisi berbahaya tersebut dapat berujung pada kedaruratan situasi yang mengancam ketertiban dan perdamaian dunia (world and peace order),” jelasnya.
Pertarungan kepentingan politik global kedua negara tersebut yang memiliki senjata pamungkas nuklir, mampu untuk saling menghancurkan (mutual assured destructive) dan berimbas kehancuran total pada kehidupan manusia dan semua makhluk di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
“Mengantisipasi dinamika destruktif potensial tersebut, patut kiranya FGD kita hari ini mengeksplorasi langkah dan cara yang perlu dan dapat dilakukan untuk mendayagunakan kekuatan nilai-nilai universal kemanusiaan pada agama dalam segala bentuk dan wujudnya demi menjamin kepentingan eksistensi human security,” kata Ponjto.
Peran agama
Pembahasan peran agama dalam ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial adalah upaya aktualisasi gagasan politik tentang relevansi nilai-nilai universal kemanusiaan pada agama agar berkontribusi konstruktif bagi solusi masalah dunia.
Sebabnya, hak asasi manusia (HAM) sebagai atribut sekularitas dalam konteks hubungan antar manusia (dimensi horizontal), tidak dapat dipisahkan dari kewajiban asasi manusia (KAM) dalam konteks hubungan keillahian (dimensi vertikal) wujud ketaatan makhluk pada penciptanya, yaitu menjadi rakhmatanlil alamiin.
Secara hakiki, HAM dan KAM bersifat manunggal, demi terwujudnya ketertiban dunia. Untuk itu, sikap mental perilaku pemimpin dunia perlu dipengaruhi agar memiliki kemauan dan komitmen politik untuk melaksanakan nilai-nilai universal kemanusiaan pada agama, dalam memperjuangkan kepentingan negaranya,kepentingan masyarakat dunia.
Oleh sebab itu, hubungan internasional perlu melibatkan negara-negara yang mengarus utamakan akal sehat bagi terciptanya keamanan dan kesejahteraan serta kenyamanan hidup semua manusia dan bangsa. Hal itu perlu dilaksanakan melalui penghormatan pada kesetaraan (equality) dan keadilan sosial (social justice) bagi kemartabatan manusia (human dignity) sebagai makhluk mulia ciptaan-Nya Pemahaman tersebut relevan bagi bangsa Indonesia untuk berkontribusi konstruktif mendukung pelaksanaan kewajiban konstitusional pemerintahan negara Indonesia, untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” yang termaktub dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945.
Menggalang, membangun dan mengembangkan upaya dan kegiatan agar nilai-nilai universal kemanusiaan pada agama juga berkontribusi konstruktif dalam melaksanakan ketertiban dunia (world order) adalah cita-cita (das Sollen) bangsa Indonesia yang cinta pada kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagai tiga kriteria kondisi prasyarat bagi ketertiban dunia.
Komunitas non-state actors
Sehubungan dengan itu, komunitas non-state actors dengan dilandasi semangat spiritualitas, ikut berperan untuk membangun titik temu, titik tumpu dan titik tuju agar nilai-nilai universal kemanusiaan pada agama digunakan bagi solusi krisis dunia.
Salah satu langkah kongkrit untuk menjadikan agama sebagai dasar membangun ketertiban/perdamaian dunia, diprakarsai oleh Indonesia melalui Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan menggagas Forum Religion of Twenty (R-20) sebagai bagian dari forum KTT Ke-17 G-20 yang diselenggarakan tanggal 1–2 November 2022 yang lalu di Bali dalam bentuk engagement group.
“Langkah awal Indonesia itu perlu ditindak lanjuti secara koheren dan konsisten pada lingkup internal dan external agar berkelanjutan (sustainable) dan menjadi bagian integral second track diplomacy bagi pemajuan kepentingan Indonesia di 7kalangan masyarakat dunia internasional,” jelasnya.
Tentu diharapkan, agar dialog “konstruktif yang dibangun dalam forum ini tidak berhenti pada tataran konsep semata, tetapi mewujud secara nyata dalam upaya perdamaian dunia,” ujar Pontjo.
Perlu disadari bahwa selama masih ada negara adikuasa maupun negara adidaya berambisi memimpin sistem pemerintahan dunia (world government system), secara individual atau kolektif, berlandaskan politik kekuatan (power politics) untuk berkuasa yang berujung pada eksploitasi, monopoli, dominasi dan hegemoni atas kepentingan hajat hidup manusia, bangsa dan negara lain maka gagasan menjadikan nilai-nilai universal kemanusiaan pada agama untuk mencegah dan mengatasi ketegangan (tension), konflik dan peperangan merupakan opsi solusi masalah dunia yang relevan dan berguna.
Sebagai konsekuensi logis, idea tersebut perlu diperjuangkan agar didukung semua manusia dan bangsa berbagai negara penghuni planet bumi ini.
Proses transformasi nilai-nilai universal kemanusiaan pada agama untuk ikut menciptakan hubungan internasional berkeadaban dan berkeadilan adalah titian utama agar agama berkontribusi konsruktif bagi ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Nilai-nilai univers kemanusiaan pada agama perlu diaktualisasikan menjadi world soft power, sebagai opsi problem solver masalah dunia.
Menjadikan agama sebagai world soft power melalui upaya spiritual diplomacy sebagai sarana untuk meredam dan mengatasi ambisi power politics negara adikuasa maupun negara adidaya yang bersifat eksploitatif adalah suatu keniscayaan sehingga gagasan Indonesia pada KTT Ke-17 G-20 di Bali, perlu terus diperjuangkan pada berbagai fora internasional.
Perhelatan Religion of Twenty (R-20) yang digelar di Bali tersebut, memiliki
makna strategis untuk mendorong perdamaian global. Apa yang bisa dikontribusikan agama untuk mendorong ketertiban/perdamaian dunia, inilah pertanyaan utama yang
coba dicari jawabannya dalam forum tersebut yang mengambil tema “Revealing and Nurturing Religion as Source of Global Solution”.
“Forum ini membuktikan bahwa agama harus dilibatkan dalam menyelesaikan problematika yang berkembang di masyarakat. Agama bukan hanya urusan privat, namun harus masuk ke ruang publik untuk mengatasi masalah kekerasan, ekstrimisme, kemiskinan, dan kesenjangan akibat krisis global.
“Agama bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan penciptanya dan bukan juga hanya urusan yang menyangkut para pengikut agamanya masing–masing. Namun, sesungguhnya semua agama mengajarkan kebaikan, cinta kasih, dan keadilan bagi semua umat manusia.
Dari sini dapat dilihat bahwa agama memiliki peranan penting yang dapat
mengatur dan membentuk para penganutnya untuk menciptakan perdamaian di dunia dan memiliki pengaruh yang besar dalam menciptakan hubungan baik antar sesama umat manusia. Walaupun dalam kenyataannya, masih banyak yang menjadikan agama sebagai sarana untuk kepentingan kelompok-kelompok yang tidak menyukai perdamaian dunia.
“Sejarah buruk relasi antar agama sebagaimana terjadi di Eropa pada abad pertengahan, harus menjadi pengingat dan pembelajaran untuk kita semua. Bahwa dalam “truth claim” yang tanpa batas, tidak ada dampak positif yang disisakan kecuali kekerasan dan peperangan. Oleh karena itu, kita menaruh harapan besar terhadap tindaklanjut forum R-20 tersebut dan seluruh umat beragama di dunia secara umum dalam mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia,” ujar Pontjo. (Vin)
www.koranpelita.com Jernih, Mencintai Indonesia