TAHUN INI rakyat Azerbaijan memperingati 31 tahun Genosida Khojaly, yang merupakan tragedi tragis umat manusia pada abad ke-20.
Tragedi ini bermula pada saat malam hari, yakni tanggal 25-26 Februari 1992, Angkatan Bersenjata Armenia dan pasukan paramiliter yang dibantu resimen senapan bermotor ke-366, datang merebut Kota Khojaly, setelah melakukan pemboman besar-besaran di kota tersebut.
Setelah serangan Armenia dilakukan, setidaknya 2.500 penduduk berusaha meninggalkan Kota Khojaly dan mencapai wilayah terdekat yang dikuasai Azerbaijan.
Namun, orang-orang yang melarikan diri tersebut disergap oleh pos militer Armenia. Mereka ditembak, dibantai, dan ditangkap di dekat Desa Nakhchivanli dan Piramal.
Sementara wanita dan anak-anak, serta penduduk lainnya yang melarikan diri dari Kota Khojaly meninggal di pegunungan karena radang dingin. Hanya beberapa orang yang bisa mencapai Kota Aghdam yang berada di bawah kendali Azerbaijan.
Pada 28 Februari, dua kelompok jurnalis mencapai lokasi tersebut menggunakan helikopter. Lokasi tersebut sangat mengerikan, sebab seluruh area penuh dengan mayat.
Meskipun helikopter kedua memainkan peran defensif, namun mereka tidak bisa mengambil semua mayat dari lokasi tersebut karena pengeboman berat yang dilakukan oleh Armenia. Hanya empat mayat yang bisa diambil dari daerah tersebut.
Pada 1 Maret, ketika kelompok jurnalis lokal dan asing datang ke daerah tempat terjadinya pembantaian, pemandangan semakin mengerikan. Mayat telah rusak dan kulit kepala mereka telah dihilangkan.
Chingiz Mustafayev yang merupakan seorang jurnalis, datang bersama salah satu korban, mengunjungi daerah tersebut dan menurut pidatonya – “ada puluhan anak, wanita, dan orang tua yang tewas akibat penembakan jarak dekat.”
Jika kita melihat kondisi mayat, jelas terlihat bahwa sebagian besar orang dibunuh dengan sengaja. Penduduk yang dibunuh oleh Armenia tidak berniat melawan atau melarikan diri. Beberapa dari mereka dibantai sendirian.
Dalam beberapa kasus, seluruh anggota keluarga dibantai. Ada jejak di beberapa kepala mayat yang membuktikan bahwa orang yang terluka telah dibunuh.
Mereka memotong telinga anak-anak, kulit wajah sebelah kiri wanita paruh baya dan kulit kepala pria telah terkelupas. Jelas terlihat bahwa ada beberapa mayat yang juga dirampok.
Pembunuhan di Khojaly adalah pembantaian terbesar dalam konflik tersebut. Secara total, akibat penyerangan dan perebutan kota tersebut, terdapat 106 wanita, 63 anak-anak, dan 70 orang lanjut usia, termasuk 613 orang dibantai.
Sebanyak 1.275 penduduk disandera oleh Armenia, dan nasib 150 dari mereka masih belum diketahui, dan kota tersebut hancur.
Pada malam yang tragis ini, 487 warga Khojaly terluka, dan 76 di antaranya adalah anak-anak. Sebanyak 8 keluarga tewas total, 25 anak kehilangan kedua orang tuanya, sedangkan 130 anak kehilangan salah satu orang tuanya.
Di antara orang yang dibantai, 56 di antaranya dibantai dengan brutal. Kulit kepala mereka terkelupas, mata dicongkel, dibakar hidup-hidup, dan perut ibu hamil dipotong dengan pisau.
Khojaly dibedakan karena berbagai karakteristiknya. Pertama, Khojaly benar-benar permukiman sipil yang tidak memiliki peralatan militer. Itu sebabnya tidak perlu menyerang dan memasuki kota dengan artileri berat karena tempat itu adalah permukiman yang tidak ada senjata. Serangan terhadap warga sipil di Khojaly merupakan hal yang tidak adil.
Kedua, serangan terhadap warga sipil di Khojaly bertepatan dengan dimulainya klaim teritorial Armenia dan kebijakan agresif terhadap Azerbaijan.
Mereka membunuh warga sipil tanpa ampun. Kekejaman Armenia terhadap orang Azerbaijan membuktikannya.
Klaim “koridor” Armenia adalah poin penting lainnya. Armenia mengklaim bahwa mereka membangun koridor kemanusiaan bagi penduduk kota untuk meninggalkan daerah tersebut.
Menurut klaim tersebut, ada pertanyaan yang muncul. Jika tujuan Armenia adalah untuk meruntuhkan kota, lalu mengapa mereka membiarkan koridor ini tetap terbuka yang memungkinkan orang keluar dari kota?
Jawabannya sederhana. Armenia tidak memegang koridor ini karena alasan kemanusiaan, seperti yang mereka klaim. Entah Armenia tidak dapat mempertahankan koridor atau mereka bertindak demikian untuk mengklaim bahwa mereka memberikan pilihan kepada warga sipil.
Dengan bertindak demikian, Armenia akan mengklaim bahwa mereka tidak berniat membantai warga sipil. Itu sebabnya Armenia tidak memegang koridor.
Ekspresi saksi, bukti tertentu, laporan internasional, bahkan pengakuan pejabat Armenia menunjukkan kelemahan klaim koridor Armenia.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa penduduk Khojaly tidak memiliki tujuan, kacau, dan tidak mendapat informasi ketika mereka meninggalkan kota.
Jika ada koridor seperti yang diklaim Armenia, para penduduk akan diberi tahu tentang keberadaan koridor tersebut.
Selain itu, jika tujuan Armenia adalah untuk menyediakan koridor kemanusiaan yang membawa orang Azerbaijan mencapai Kota Aghdam, lalu mengapa orang Azerbaijan terjebak dan dibantai oleh Angkatan Bersenjata Armenia, sementara penduduk Khojaly berusaha mencapai Aghdam yang berada di bawah kendali Azerbaijan? Armenia harus menjawab pertanyaan ini.
Meskipun genosida Khojaly adalah pembantaian konflik yang paling berdarah dan terbesar, hal tersebut bukanlah satu-satunya kasus.
Pembantaian dilakukan oleh Armenia di permukiman lain di Azerbaijan, termasuk Desa Jamilli, Meshali, Karkijahan, Malibeyli, dan Guschular, untuk mengepung Khojaly
Pada Februari 1992, Armenia tidak hanya menduduki Khojaly, tapi juga menduduki wilayah lain di Azerbaijan selama dua tahun berikutnya.
Di wilayah pendudukan, Armenia tidak hanya mengusir lebih dari satu juta orang Azerbaijan dari tanah airnya dan melakukan pembersihan etnis, tetapi juga, selama masa konflik, kejahatan serius dilakukan oleh Armenia terhadap penduduk Azerbaijan.
Sebagai hasil dari operasi kontra-ofensif Angkatan Bersenjata Azerbaijan pada September 2020, wilayah yang diduduki Armenia selama hampir 30 tahun akhirnya dibebaskan.
Konvensi internasional dan hukum universal di dunia mengutuk genosida, seperti tragedi Khojaly, dan menyatakan bahwa kejahatan semacam itu tidak dapat diterima.
Menurut “Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida” yang disetujui pada 9 Desember 1948, Azerbaijan berhak menggugat Republik Armenia di Mahkamah Internasional PBB atas kejahatan brutal Armenia.
Seluruh dunia harus menyadari bahwa ini bukan hanya kejahatan terhadap warga sipil Azerbaijan, tetapi juga kejahatan terhadap seluruh dunia yang beradab dan berkemanusiaan.
*) Y.M. Jalal Mirzayev adalah Duta Besar Azerbaijan untuk Indonesia