Jakarta, Koranpelita.com
Direktur IRESS Marwan Batubara, mengimbau kisruh kontrak antara PT Adaro Indonesia (Adaro) dan PT Intan Sarana Teknik (IST) segera menempuh jalan damai. Sebab, penggunaan delik TPPU dengan ancaman pidana maksimal 13 tahun, denda kerugian serta penyitaan aset dalam sengketa bisnis yang menjerat IST jelas salah kaprah, serta merusak ekosistem iklim usaha yang sehat.
“Kami meyakini bahwa kisruh yang terjadi merupakan sengketa perdata, yang telah dipaksakan masuk ranah pidana. Hal ini pun sempat dilontarkan oleh hakim-hakim PN Jaksel, yang pada awal-awal sudah telah mengusulkan kepada para pihak untuk berdamai,” kata Marwan kepada wartawan di Jakarta, Jumat (10/2/2023).
Marwan mengungkapakn, TPPU sejatinya merupakan kejahatan serius, sistematis dan bersifat publik, yakni yang merugikan negara, masyarakat dan merusak keuangan serta perekonomian negara, tidak untuk digunakan menjerat transaksi bisnis yang legal dan saling menguntungkan.
Karena itu, dakwaan yang diajukan JPU dan Adaro ini dapat dianggap sebagai fenomena gunung es yang melibatkan APH yang tidak profesional, diragukan integritas dan independensinya, cenderung bertindak sebagai alat pihak pemodal kuat dan dekat oligari kekuasaan, ketimbang menjadi pedang penegak keadilan dan kebenaran.
Pada dasarnya, seluruh dakwaan dari hasil penyidikan dan penuntutan telah diperiksa fakta-fakta, peristiwa, bukti dan keterangannya di pengadilan. Putusan hakim PN Jaksel adalah bebas murni, karena tidak terbukti adanya penipuan, sementara itu, transaksi para pihak sah sesuai perjanjian dan peraturan yang ada. Dengan demikian secara hukum mestinya tidak ada unsur pelanggaran TPPU-nya.
“Kita menuntut agar MA sebagai benteng terakhir keadilan untuk bersikap mandiri, tidak tunduk kepada oligarki dan kekuasaan oligarkis, bebas intervensi, dan bersih dari praktik-praktik mafia peradilan. MA harus mampu memberikan keadilan baga para korban arogansi kekuasaan dan kesewenang-wenangan, dan sekaligus dapat menjamin kepastian hukum bagi dunia usaha yang jujur dan sehat,” ujarnya.
Sekadar informasi, kisruh kontrak antara kedua perusahaan tersebut bermula saat IST ditunjuk oleh Adaro untuk mengkaji kemungkinan pengelolaan limbah tambangnya pada 2014. IST menjalankan kesepakatan tersebut menggunaan teknologi Geotube Dewatering (GD), yakni teknik pelepasan air dari lumpur yang dimasukkan ke dalam kantong geotube yang terbuat dari bahan tekstil khusus dan berpori-pori.
Adaro menyetujui implementasi teknologi GD yang ramah lingkungan dan mengutamakan keselamatan kerja kepada IST melalui tahap trial dengan POC (proof of concept) di tahun 2014 dan pilot project pada 2015. IST berhasil menyelesaikan kedua proses trial ini sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ditentukan Adaro. Dengan hasil pengujian ini IST berhasil memperoleh kontrak pengelolaan limbah tambang Adaro untuk periode 2016 hingga 2020.
Dikatakan Marwan, GD merupakan teknologi unggul temuan asli anak bangsa, yakni PT IST yang dipimpin oleh Ibnu Rusyd Elwahby (IRE). Dengan memanfaatkan teknologi DG temuan IST, Adaro berhasil meraih tropi Keselamatan Pertambangan 2016 dan Pengelolaan Lingkungan 2015 dari Menteri ESDM pada 18 Mei 2017. Berkat teknologi GD, Adaro pun memberi piagam penghargaan kepada IST.
Sementara Ikatan Alumni Fakultas Teknik Universitas Indonesia (ILUNI FTUI) bersama Tim Advokasi Hukum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), setelah mempelajari kasus ini secara seksama, mengimbau seluruh stakeholder alumni UI dan civitas academica UI, serta masyarakat Indonesia yang bernalar sehat serta menjunjung tinggi hukum dan keadilan, untuk melawan secara hukum atas kriminalisasi yang sedang terjadi terhadap Sdr. IRE.
Sekretaris Jenderal ILUNI FTUI, Dr. Andy Tirta mengatakan, hal ini menjadi sikap yang lahir atas berbagai pengalaman dan sinyalemen yang kemudian hari terbukti, bahwa kasus seperti ini memaksa publik untuk high alert tentang adanya indikasi keterlibatan mafia peradilan yang dikendalikan oligarki dari kalangan industri pertambangan.
“Keputusan drastis dari sidang kasasi MA kami nilai cacat hukum karena mengenyampingkan fakta-fakta hukum bahwa kasus yang bermula pada Agustus 2020 ini sejatinya adalah problem internal AI dengan karyawan mereka sendiri, Sdr. W,” kata Andy dalam pernyataannya.
Dia melanjutkan, pada saat itu PT AI melaporkan Sdr. W ke pihak Bareskrim Polri sehubungan dugaan tindak pidana terkait penolakan penggunaan teknologi pengolahan lumpur yang diajukan oleh PT Trans Coalindo Megah (TCM), berkantor pusat di Kalimantan Selatan. TCM adalah perusahaan kompetitor PT Intan Sarana Teknik (IST) yang didirikan Sdr. IRE dan dinakhodainya sebagai direktur utama.
Akibat perseteruan internal antara AI dengan W, yang notabene adalah karyawan mereka sendiri, Bareskrim Polri kemudian meminta keterangan kepada pihak kontraktor yakni Sdr. IRE dan Sdr. Ishak Rivai alias Johny, co-founder IST. Tentunya, sebagai warga negara yang baik dan taat hukum, keduanya memenuhi permintaan Bareskrim.
Namun, tak dinyana setelah setahun kasus bergulir, pada Agustus 2021, Bareskrim justru menetapkan 4 (empat) tersangka, yakni W, IRE, IR alias J, dan PT IST sebagai korporasi. Proses berlanjut dengan Sidang pertama pada 11 Mei 2022 di PN Jakarta Selatan. Setelah empat bulan persidangan, pada 7 September 2022, PN Jakarta Selatan mengeluarkan keputusan bahwa Sdr. IRE terbukti tidak bersalah atas atas semua tuduhan dan dakwaan yang dilontarkan AI.
“Dalam episode upaya Hukum dari pihak AI berikutnya, terjadi perkembangan yang dramatis melalui lahirnya keputusan drastis dari Mahkamah Agung lewat sidang kasasi yang berlangsung tertutup pada 31 Januari 2023 sebagaimana kami jelaskan di atas,” ujar Andy. (Vin)