Jakarta,Koranpelita.com
Kepala Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas), Muhammad Syarif Bando, menyatakan tugas pustakawan adalah mengumpulkan berbagai informasi yang tersebar kemudian disajikan untuk kepentingan publik.
Untuk itu, Kepala Perpusnas mendorong para pustakawan agar menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Selain itu, pustakawan harus menjadi pemimpin dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan kepada masyarakat.
Kehadiran organisasi profesi kepustakawan seperti Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), dapat menjadi wadah untuk mengembangkan hal tersebut, bahkan hingga ke daerah.
Syarif menegaskan, pustakawan harus hadir untuk masyarakat yang membutuhkan pengetahuan demi memperoleh kecerdasan.
“Sesuai mandatori Undang-Undang Dasar 1945, tugas kita adalah mencerdaskan anak bangsa. Jadi apabila tidak diurus dengan baik, IPI bisa dibilang gagal. Maka saya mengajak IPI untuk turun ke daerah bersama Perpusnas,” ujarnya saat membuka webinar kepustakawanan yang mengangkat tema “Organisasi Profesi dan Kepemimpinan” yang digelar secara hibrida pada Kamis (19/1/2023).
Syarif juga menambahkan, pustakawan melalui organisasi profesi dapat mengambil peran dan pengabdian dalam bidang perpustakaan.“Organisasi profesi mempunyai kode etik yang mengikat untuk memastikan anggotanya berada dalam koridor yang tepat,” ujarnya.
Organisasi profesi kepustakawanan diharapkan akan mengembangkan kepemimpinan yang dapat menjawab tantangan perkembangan dunia perpustakaan pada masa mendatang.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum IPI, T. Syamsul Bahri, mengatakan sejak dibentuk pada 1973, masih banyak tantangan yang dihadapi IPI dalam membangun dan mengembangkan perpustakaan dan dunia kepustakawanan di Indonesia. Namun, IPI akan terus berkolaborasi dan menjadi rekan Perpusnas dalam menjalankan programnya.
“Salah satunya dalam pencapaian lima tingkatan literasi di Indonesia di mana pada setiap tingkatannya banyak pihak yang berperan di dalamnya. Ini tidaklah mudah. Semua pustakawan harus memahami lima tingkatan literasi. IPI tidak bisa hanya diam,” imbuhnya.
Sementara itu, Presiden Persatuan Pustakawan Malaysia, Ghazzali Mohamed Fadzhil, menjelaskan seorang pustakawan harus memahami bahwa dirinya bukan menjalankan tugas mengurus buku.
“Pola pikir kita harus diubah, di mana saya berpendapat bahwa sebenarnya apa yang kita urus adalah ilmu. Bukan bukunya tapi apa yang ada di dalam buku,” jelasnya.
Dengan begitu, pustakawan akan lebih berani untuk mengubah wajah perpustakaan. Dengan adanya perubahan pola pikir tersebut, pustakawan sebagai pemimpin akan lebih berani untuk mendekati masyarakat.
Di sisi lain, pakar kepustakawanan Universitas Gadjah Mada, Ida Fajar Priyanto, menjelaskan IPI harus memberi perhatian atas persepsi masyarakat mengenai tugas pustakawan di Indonesia. “Kita punya masalah pada brand image. Masyarakat masih banyak yang melihat bahwa pustakawan hanya sebagai penjaga buku. Jadi perlu diubah bahwa pustakawan lebih dari itu,” gagasnya.
Menurutnya, IPI harusnya dapat memegang peran lebih penting. Contohnya seperti yang dilakukan American Library Assosication (ALA) yang dapat mengakreditasi berbagai program studi pendidikan.
“IPI bisa menjadi organisasi yang penting meskipun tantangannya memang berat. Saya membayangkan, IPI menjadi payung seluruh asosiasi perpustakaan di Indonesia yang memiliki divisi-divisi,” urainya.
Ida Fajarn menilai perlu adanya regenerasi dalam IPI melalui kolaborasi antara pengurus senior dan junior, seperti yang terjadi di Malaysia dan Tiongkok. “Perilaku pustakawan juga harus dimunculkan di mana pustakawan menjadi idola, bukan hanya penjaga buku,” pungkasnya. (Vin)