Jakarta,Koranpelita.com
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama Wahana Visi Indonesia (WVI) meluncurkan “Petunjuk Teknis (Juknis) Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) di Desa/Kelurahan”, yang bertujuan membantu pemerintah desa dan kelurahan dalam mewujudkan wilayahnya menjadi layak anak.
Program Kabupaten/Kota Layak Anak dapat terwujud dengan dukungan desa/kelurahan. Desa dan kelurahan perlu membangun sistem yang mendukung pelindungan dan pemenuhan hak anak. Pasalnya, secara khusus bagi pemerintah desa, juknis ini akan membantu program desa ramah perempuan dan peduli anak, yang merupakan hasil kerja bersama antara Kementerian Desa, Pembangunan Derah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemen PDTT) dan Kemen PPPA.
Angelina Theodora, Direktur Nasional WVI menyampaikan bahwa WVI sebagai organisasi kemanusiaan yang fokus kepada anak bersama Kemen PPPA secara kolaboratif menyusun dan meluncurkan Petunjuk Teknis Penyelenggaraan KLA di Desa/Kelurahan ini.
“WVI sangat mendukung pembuatan petunjuk teknis dan diharapkan dokumen ini menjadi bagian dari alat perangkat desa. WVI berharap pemerintah daerah mendapatkan informasi yang bermanfaat dari petunjuk teknis, dan masyarakat juga memahami tentang peran desa dan kelurahan untuk mencapai terwujudnya Kota Layak Anak.
“Kami sangat mengapresiasi seluruh pihak yang berperan dalam hadirnya petunjuk teknis ini, dan semoga ini menjadi kontribusi positif untuk anak Indonesia,” pungkas Angelina.
KLA adalah kabupaten/kota dengan sistem pembangunan yang menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak yang dilakukan secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan (Kementerian Sekretariat Negara, 2021).
Konsep KLA sendiri dibentuk untuk menyesuaikan sistem pelaksanaan pemerintahan Indonesia yaitu melalui otonomi daerah, dengan tujuan akhir Indonesia Layak Anak (IDOLA) yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030. Hal ini juga merupakan wujud kontribusi Indonesia bagi komunitas global yang sejalan dengan komitmen Indonesia dalam mendukung gerakan dunia layak anak (world fit for children). Pada 2022 sebanyak 457 kabupaten/kota melakukan evaluasi mandiri untuk KLA.
Petunjuk Teknis dikeluarkan pada masa yang tepat, yaitu ketika proses evaluasi 2023 akan dilakukan. Proses verifikasi administrasi diberikan kepada pemerintah provinsi. Peran pemerintah pusat, dalam hal ini Kemen PPPA di Jakarta, terbatas untuk melakukan proses verifikasi lapangan dan final.
“Kami berterima kasih kepada WVI yang sudah mendukung penyusunan Juknis, juga kepada Kementerian Desa PDTT yang sudah memberikan masukan dan memfasilitasi uji coba di lapangan. Anak Indonesia adalah sumber daya bagi bangsa yang wajib dilindungi haknya. Kualitas anak-anak menentukan kualitas bangsa di masa depan,” ujar Rini Handayani, Plt. Deputi Pemenuhan Hak Anak, Kemen PPPA.
Potensi anak harus dimaksimalkan melalui pemenuhan hak dan perlindungan khusus kepada mereka. Pemerintah mendorong semua kabupaten/kota untuk mewujudkan KLA. Karena KLA merupakan sebuah sistem, maka penyelenggaraannya melibatkan banyak pihak, mulai dari pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, dunia usaha, dunia pendidikan, media, dan anak itu sendiri sebagai subjek pembangunan.
Prinsip hak anak dan good governance digunakan dalam penyelenggaraan KLA. Seluruh provinsi di Indonesia diharapkan menjadi provinsi yang ramah perempuan dan layak anak.
Kemen PPPA dan Kemen Desa PDTT bersama-sama akan mengawal implementasi juknis ini agar seluruh provinsi di Indonesia bisa ramah perempuan dan layak anak.
Indikator desa dan kelurahan layak anak adalah (1) Memiliki peraturan tentang penyelenggaraan Perlindungan Anak, (2) Memiliki anggaran untuk penyelenggaraan perlindungan anak,
(3) Memiliki Forum Anak, (4) Memiliki kelompok Kegiatan Anak (organisasi anak berbasis minat, bakat, dan hobi) (5) Memiliki cakupan akta kelahiran anak mencapai >90%, (6) Tidak ada perkawinan anak, (7) Tidak memiliki anak dengan gizi buruk, gizi kurang, gizi lebih, dan stunting, (8) Semua anaknya mendapatkan pendidikan formal/non formal, (9) Memiliki ruang baca/layanan informasi layak anak, (10) Memiliki tempat (Lembaga) konsultasi keluarga, (11) Memiliki Kawasan Tanpa Rokok, (12) Memiliki layanan Pendidikan Anak Usia Dini Holistik dan Integratif (PAUD-HI), (13) memiliki ruang/taman bermain anak, (14) melaksanakan fungsi Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) atau sejenis, (15) memiliki profil desa/kelurahan yang memuat data pilah anak.
Dalam melakukan evaluasi KLA, Kemen PPPA menemukan kendala utama dalam proses perwujudan KLA, seperti ketidakpahaman pemerintah daerah atas indikator KLA serta indikator kinerja turunannya,
yang menyebabkan belum optimalnya pemangku kepentingan yang terlibat dalam kerja -kerja KLA.
Ini tidak terbatas pada pemangku kepentingan negara, tetapi juga dari masyarakat sipil, misalnya peran
serta lembaga masyarakat, dukungan dunia usaha, dan juga dukungan media massa. Kolaborasi dan keterlibatan pemerintah daerah, legislatif, yudikatif, dunia usaha, media, masyarakat, dan anak dalam kerja-kerja KLA dibentuk dalam sebuah kelompok yang disebut GUGUS TUGAS KLA.
Pada kesempatan yang sama, Sugito, S.Sos, M.H, Dirjen PDP Kemendesa PDTT menjelaskan bahwa SDGs desa adalah pembangunan total atas desa yang harus berdampak pada peningkatan ekonomi desa, agar manfaat pembangunan desa dapat dinikmati oleh siapapun, termasuk anak.
“Apa yang kita lakukan hari ini merupakan bagian dari investasi yang kita lakukan untuk kemajuan Indonesia di masa yang akan datang.
Anak sebagai penentu masa depan bangsa, tak terkecuali juga di desa. Pilar SDGs, ada 16 tujuan dan 91 target yang di dalamnya ada kesetaraan gender dan pemenuhan hak perempuan dan anak. “Kami sangat mengapresiasi Kemen PPPA dan WVI dalam menyusun juknis ini dan diharapkan dapat menjadi acuan untuk pemerintah provinsi, kabupaten kota, NGO, dan lain sebagainya, untuk mendorong terwujudnya kabupaten/kota layak anak,” ujar Sugito.
Rekomendasi bagi pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia adalah: mendorong Pemerintah Daerah untuk memperluas penyelenggaraan KLA sampai ke tingkat kecamatan, desa, dan kelurahan;
Membangun kolaborasi program antara Dinas PPPA dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa dan para pihak lainnya dalam pengembangan Model Desa/Kelurahan Layak; Memasukkan indikatorindikator KLA dalam dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah maupun rencana kerja pemerintah baik tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa, dan kelurahan, termasuk pengalokasian anggaran untuk penyelenggaraan KLA.
Selain itu Pemerintah Daerah diminta untuk meningkatkan partisipasi aktif Forum Anak (FA) dalam pembangunan daerah dengan:
a. Memfasilitasi terselenggaranya ruang-ruang partisipasi anak di semua strata pemerintah daerah mulai dari desa/kelurahan, kecamatan, dan kabupaten/kota. b. Meningkatkan kapasitas anggota FA melalui pelatihan dan pendampingan secara intensif.
c. Melibatkan anak dalam penyusunan program dan kegiatan di semua Organisasi Perangkat Desa yang terkait dengan anak, (6). Mendorong dan memfasilitasi desa/kelurahan untuk mampu mengembangkan sistem pencegahan, respons cepat, dan penanganan kasus anak korban kekerasan (termasuk pendataan, pelaporan/pengaduan, assessmen awal, dan pengembangan sistem rujukan.
Yang harus menjadi catatan penting adalah bahwa Penyelenggaraan Perlindungan Anak merupakan tugas dan kewajiban Pemerintah Daerah termasuk Desa dan Kelurahan (Pasal 21 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
Pemerintah Pusat dan Daerah memperkenalkan kebijakan perlindungan anak kepada desa/kelurahan, sebagai upaya mengembalikan tanggung jawab pemerintah desa dan pemerintah kelurahan terhadap anak yang hidup dan tinggal di wilayah desa/kelurahan mereka. (Vin)