Jakarta,Koranpelita.com
Keputusan pemerintah untuk membatasi biaya aplikasi dalam tarif angkutan online, yang terdiri dari taksi dan ojek online, dinilai dapat merugikan ekosistem transportasi online itu tersendiri, termasuk memberi dampak negatif bagi pengemudi dan konsumen. Banyak pihak menyangka, biaya aplikasi ini merupakan keuntungan bersih aplikator, padahal biaya tersebut dibutuhkan agar aplikator dapat terus mengembangkan sistem yang lebih baik dan menguntungkan baik bagi pengemudi maupun konsumen.
Ekonom Universitas Airlangga, Surabaya, Rumayya Batubara menyatakan pemerintah perlu melihat bahwa sebagian komponen dalam biaya aplikasi tersebut kembali ke pengemudi dalam bentuk insentif, dukungan, dan pelayanan di luar tarif.
“Sebagian dari biaya aplikasi itu kembali ke pengemudi dalam bentuk manfaat-manfaat non-tunai, seperti teknologi yang lebih baik, sistem keselamatan dan perlindungan pengemudi, dan masih banyak lagi. Ketika biaya ini dibatasi, aplikator tidak memiliki ruang gerak untuk melakukan inovasi yang sejatinya menguntungkan pengemudi, konsumen, dan ekosistem transportasi online secara keseluruhan,” kata Rumayya menjawab pertanyaan wartawan pada Selasa, 27 September 2022.
Rumayya menyarankan agar besaran biaya aplikasi tidak perlu diatur karena itu akan menjadi ruang kompetisi yang akan menguntungkan pengemudi dan konsumen.
“Seharusnya aplikator diberikan kebebasan untuk menentukan berapa biaya sewa aplikasinya, dan nanti mereka akan bersaing untuk menyediakan pelayanan yang baik dengan biaya bersaing. Ketika konsumen happy, maka pengemudi juga akan happy karena order yang terus bertambah,” tambahnya.
Rumayya menambahkan bahwa yang dimaksud ekosistem transportasi online tidak terbatas pada pengemudi dan konsumen, tetapi juga mencakup nasib usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang sudah tergantung dengan transportasi online, khususnya ojek online, dalam melayani pelanggannya. Ia mengingatkan bahwa program-program pemasaran adalah inisiatif aplikator dan itu tentu membutuhkan biaya.
“Jangan sampai nanti aplikator tidak lagi membuat program-program promosi atau insentif yang seharusnya bisa menggiatkan UMKM karena ruang untuk itu sudah tidak ada lagi. Akhirnya transaksi di UMKM menurun dan lesu,” tambahnya.
Rumayya mengingatkan bahwa digitalisasi UMKM adalah program pemerintah yang disuarakan langsung oleh Presiden Joko Widodo dalam banyak kesempatan. Presiden sendiri telah menargetkan sebanyak 30 juta UMKM bisa onboarding di platform digital pada 2023.
“Jangan sampai kebijakan Kementerian Perhubungan ini tidak sinergis, atau bahkan menghambat pencapaian target onboarding UMKM yang ditetapkan oleh Presiden,” tambah Rumayya.
Rumayya mengingatkan, dampak negatif pengurangan biaya aplikasi dapat berlaku sistemik terhadap ekosistem transportasi online. Biaya promosi berkurang, insentif non-tarif dan non-tunai berkurang, konsumen kehilangan minat karena minimnya promosi dan inisiatif pemasaran yang menarik, dan pendapatan sektor UMKM yang selama ini terbantu oleh kehadiran transportasi online juga berkurang.
“Dari begitu banyak dampak negatif tersebut, sekali lagi saya menyarankan agar besaran biaya aplikasi tidak perlu diregulasi pemerintah karena malah menjadi distorsi bagi pengembangan ekosistem transportasi onlineyang telah meluas hingga ke UMKM dan sektor-sektor lainnya. Transportasi online sebagai bagian dari ekonomi digital telah terbukti menjadi pilar resiliensi ekonomi nasional di tengah perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Momentum yang baik ini jangan sampai dirusak oleh kebijakan yang distortif,” pungkas Rumayya.
Kenaikan tarif ojol berlaku sejak 11 September 2022 lalu. Tarif ojol yang baru tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 667 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi. Dalam keputusan tersebut, juga ditetapkan biaya sewa penggunaan aplikasi ditetapkan paling tinggi 15% dari sebelumnya 20%. (Vin)