Oleh : Pudjo Rahayu Risan
“Mohon maaf kepada seluruh pengacara yang ada di Indonesia, inilah system yang buruk dinegara kita dimana setiap aspek dari tingkat bawah sampai tingkat atas harus menyediakan uang, salah satu korbannya adalah kita…..”. Itulah penggalan kalimat yang diucapkan oleh Yosep Parera, Pengacara papan atas di Semarang, yang terjerat dan sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Yosep Parera masih berujar, “…maka saya dan Mas Eko sebagai lawyer itu mengakui secara jujur bahwa kami menyerahkan uang …menyerahkan uang kepada salah seorang di Mahkamah Agung, tapi kami tidak tahu dia panitera ataukah bukan, intinya kami akan buka semuanya, kami siap menerima hukumannya karena itu sebagai penegak hukum kami merasa moralitas kami sangat rendah kami bersedia dihukum seberat-beratnya dan harapannya kepada semua pengacara tidak mengulangi hal-hal seperti ini…”
Peristiwa OTT kasus korupsi suap menyuap yang melibatkan Hakim Agung SD, sama dengan jebolnya benteng terakhir dunia peradilan di Indonesia. Kenapa ? Karena dilakukan secara terstruktur, sistematis bahkan dimungkinkan masif, karena tidak menutup kemungkinan persitiwa semacam ini terjadi pada waktu sebelumnya.
Terstruktur dan sistematis, untuk internal MA sebagai penerima SD, Hakim Agung pada MA, ETP, Hakim Yustisial/Panitera Pengganti MA, DY, PNS pada Kepaniteraan MA, MH, PNS pada Kepaniteraan MA, R, PNS MA dan Al, PNS MA.
Sebagai pemberi, YP, pengacara, ES, pengacara, HT, swasta/debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana, dan IDKS, swasta/debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Sedangkan sistematis seperti diungkapkan oleh Pengacara YP diatas, ada permintaan ada menyandang dana, ada yang menyalurkan ada yang menerima untuk didistribusikan dan terakhir dibagi secara proporsional.
Sebagai penerima suap dikalangan MA, tampak sekali terstruktur yang digambarkan begitu berjenjang mulai dari bawah melibatkan PNS kemudian ditingkat menengah ada panitera pengganti/dan hakin Yustisial dan ditingkat atas, Hakim Agung.
Kenapa masih banyak yang korupsi?
Alasan seseorang korupsi bisa beragam, paling tidak harus memiliki kekuasaan, atau wewenang, ada niat dan ada kesempatan atau peluang. Bagaimana mungkin bisa korupsi walau ada kesempatan tetapi tidak memiliki kekuasaan atau wewenang. Power tends to corrupt, the greater the power, the more corrupt. Kekuasaan cenderung korup semakan besar kekuasaan semakin besar korup.
Betapapun kekuasaan atau wewenang sekecil apapun sepanjang ada niat dan peluang korupsi bisa terjadi. Maaf, tukang buat minuman, yang bersangkutan memiliki kekuasaan atau wewenang mengelola gula teh kopi. Ada niat dan peluang terbuka tukang buat atau menyediakan minuman sangat mungkin korupsi. Korupsi ya terbatas gula the kopi. Kalau yang korupsi Hakim Agung menjadi sangat dasyat tidak sekedar gula teh kopi.
Dalam konteks suap yang melibatkan Hakin Agung, seperti pengakuan dari YP, pengacara, ada permintaan. Permintaan sejumlah uang dan ada penyandang dana yang memang berkepentingan atas hasil akhir keputusan di MA. Perantarannya tidak lain pihak ketiga yang satu circle, ya pengacara.
Para pelaku korupsi adalah para figur dalam hal ini Hakim Agung yang menempati posisi strategis, dimana keputusannya adalah final dan mengikat. Lantas kita jadi bertanya, hidup mereka sudah enak, gaji pastilah besar, semuanya sudah dimiliki, lalu kenapa masih saja korupsi ? Naluri keserakahan, memiliki kekuasaan, ada niat dan kesempatan. Sempurnalah sudah.
Dari beberapa teori dan konsep terjadinya korupsi, ada teori GONE untuk menjelaskan faktor penyebab korupsi. Teori GONE yang dikemukakan oleh penulis Jack Bologna adalah singkatan dari Greedy (Keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (Kebutuhan) dan Exposure (pengungkapan). Exposure atau pengungkapan merupakan faktor eksternal lainnya yang mempengaruhi perilaku tindakan korupsi. Exposure adalah berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku ditemukan melakukan kecurangan.
Teori GONE mengungkapkan bahwa seseorang yang korupsi pada dasarnya serakah dan tak pernah puas. Tidak pernah ada kata cukup dalam diri koruptor yang serakah. Keserakahan ditimpali dengan kesempatan, maka akan menjadi katalisator terjadinya tindak pidana korupsi. Setelah serakah dan adanya kesempatan, seseorang berisiko melakukan korupsi jika ada gaya hidup yang berlebihan serta pengungkapan atau penindakan atas pelaku yang tidak mampu menimbulkan efek jera.
Teori Fraud Triangle (TFT)
Ada lagi teori penyebab korupsi disampaikan oleh peneliti Donald R Cressey yang dikenal sebagai Teori Fraud Tiangle (TFT). Teori ini muncul setelah Cressey mewawancarai 250 orang terpidana kasus korupsi dalam waktu 5 bulan.
Dalam teori tersebut, ada tiga tahapan penting yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan korupsi, yaitu pressure (tekanan), opportunity (kesempatan), dan rationalization (rasionalisasi). Seseorang memiliki motivasi untuk korupsi karena tekanan, sebagai contoh, misalnya motif ekonomi yang menjadi pelatuknya. Namun menurut Cressey tekanan ini terkadang tidak benar-benar ada. Seseorang cukup berpikir bahwa dia tertekan atau tergoda pada bayangan insentif, maka pelatuk pertama ini telah terpenuhi.
Kedua adalah kesempatan, sudah kita bahas. Contoh yang paling mudah ditemui adalah lemahnya sistem pengawasan sehingga memunculkan kesempatan untuk korupsi. Menurut Cressey, jika dia tidak melihat adanya kesempatan maka korupsi tidak bisa dilakukan.
Ketiga adalah rasionalisasi. Cressey menemukan bahwa para pelaku selalu memiliki rasionalisasi atau pembenaran untuk melakukan korupsi. Rasionalisasi ini setidaknya menipiskan rasa bersalah pelaku, contohnya “saya korupsi karena tidak digaji dengan layak” atau “keuntungan perusahaan sangat besar dan tidak dibagi dengan adil”.
Kalau kita cermati, faktor penyebab korupsi meliputi dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal merupakan penyebab korupsi dari diri pribadi, sedang faktor eksternal karena sebab-sebab dari luar.
Faktor Penyebab Internal
Sifat serakah/tamak/rakus manusia. Keserakahan dan tamak adalah sifat yang membuat seseorang selalu tidak merasa cukup atas apa yang dimiliki, selalu ingin lebih. Dengan sifat tamak, seseorang menjadi berlebihan mencintai harta. Padahal bisa jadi hartanya sudah banyak atau jabatannya sudah tinggi. Dominannya sifat tamak membuat seseorang tidak lagi memperhitungkan halal dan haram dalam mencari rezeki. Sifat ini menjadikan korupsi adalah kejahatan yang dilakukan para profesional, berjabatan tinggi, dan hidup berkecukupan.
Gaya hidup konsumtif, gaya hidup yang konsumtif menjadi faktor pendorong internal korupsi. Gaya hidup konsumtif misalnya membeli barang-barang mewah dan mahal atau mengikuti tren kehidupan perkotaan yang serba glamor. Korupsi bisa terjadi jika seseorang melakukan gaya hidup konsumtif namun tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai.
Moral yang lemah, mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Aspek lemah moral misalnya lemahnya keimanan, kejujuran, atau rasa malu melakukan tindakan korupsi. Jika moral seseorang lemah, maka godaan korupsi yang datang akan sulit ditepis. Godaan korupsi bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan untuk melakukannya.
Faktor penyebab eksternal.
Aspek Sosial, seseorang berpengaruh dalam mendorong terjadinya korupsi, terutama keluarga. Bukannya mengingatkan atau memberi hukuman, keluarga malah justru mendukung seseorang korupsi untuk memenuhi keserakahan mereka. Aspek sosial lainnya adalah nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung korupsi. Contoh, masyarakat hanya menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya atau terbiasa memberikan gratifikasi kepada pejabat.
Aspek politik, keyakinan bahwa politik untuk memperoleh keuntungan yang besar menjadi faktor eksternal penyebab korupsi. Tujuan politik untuk memperkaya diri pada akhirnya menciptakan money politics. Dengan money politics, seseorang bisa memenangkan kontestasi dengan membeli suara atau menyogok para pemilih atau anggota-anggota partai politiknya.
Pejabat yang berkuasa dengan politik uang hanya ingin mendapatkan harta, menggerus kewajiban utamanya yaitu mengabdi kepada rakyat. Melalui perhitungan untung-rugi, pemimpin hasil money politics tidak akan peduli nasib rakyat yang memilihnya, yang terpenting baginya adalah bagaimana ongkos politiknya bisa kembali dan berlipat ganda.
Dalam kasus Hakim Agung, yang terjerat kali ini, pernah tersiar “Komunikasi Toilet”. Sedikit banyak balas jasa politik seperti jual beli suara di DPR atau dukungan partai politik juga mendorong pejabat untuk korupsi. Dukungan partai politik yang mengharuskan imbal jasa akhirnya memunculkan upeti politik. Secara rutin, pejabat yang terpilih membayar upeti ke partai dalam jumlah besar, memaksa korupsi.
Aspek hukum, sebagai faktor penyebab korupsi bisa dilihat dari dua sisi, sisi perundang-undangan dan lemahnya penegakan hukum. Koruptor akan mencari celah di perundang-undangan untuk bisa melakukan aksinya. Selain itu, penegakan hukum yang tidak bisa menimbulkan efek jera akan membuat koruptor semakin berani dan korupsi terus terjadi.
Hukum menjadi faktor penyebab korupsi jika banyak produk hukum yang tidak jelas aturannya, pasal-pasalnya multitafsir, dan ada kecenderungan hukum dibuat untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Sanksi yang tidak sebanding terhadap pelaku korupsi, terlalu ringan atau tidak tepat sasaran, juga membuat para pelaku korupsi tidak segan-segan menilap uang negara.
Aspek Ekonomi, sering dianggap sebagai penyebab utama korupsi. Di antaranya tingkat pendapatan atau gaji yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Fakta juga menunjukkan bahwa korupsi tidak dilakukan oleh mereka yang gajinya pas-pasan. Korupsi dalam jumlah besar justru dilakukan oleh orang-orang kaya dan berpendidikan tinggi.
Aspek organisasi, adalah organisasi tempat koruptor berada. Biasanya, organisasi ini memberi andil terjadinya korupsi, karena membuka peluang atau kesempatan. Misalnya tidak adanya teladan integritas dari pemimpin, kultur yang benar, kurang memadainya sistem akuntabilitas, atau lemahnya sistem pengendalian manajemen. Apalagi organisasi bisa mendapatkan keuntungan dari korupsi para anggotanya yang menjadi birokrat dan bermain di antara celah-celah peraturan.
Mengapa pemberantasan korupsi di Indonesia belum berhasil ? Paling tidak ada lima (5) variable, yaitu kurang adanya teladan dari pemimpin; tidak adanya kultur organisasi yang benar; sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai; manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi; dan lemahnya pengawasan. (Pudjo Rahayu Risan, Pengamat Kebijakan Publik)