Jangan ada lagi politik identitas dan politisasi agama

Oleh : Pudjo Rahayu Risan

Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR dan DPD, Selasa 16 Agustus 2022, menegaskan jangan ada lagi politik identitas dan politisasi agama. Kenapa Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan mewanti – wanti jangan ada lagi politik identitas dan politisasi agama ? Apakah begitu mengkawatirkan politik identitas dan politisasi agama ?

Secara empirik, sejak Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, mulai tampak muncul politik identitas dan politisasi agama. Suhu dan ketebalan politik identitas dan politisasi agama semakin meningkat bahkan sudah cenderung mengkawatirkan keharmonisan, keutuhan, persatuan, kesatuan dan toleransi berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, pada Pilkada DKI Jakarta 2017 semakin tebal pada Pilpres 2019.

Apa yang dimaksud dengan identitas ? Identitas, menurut Stella Ting Toomey merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi. Termasuk agama dan paham politik. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita.

Apa yang dimaksud dengan politik identitas ? Politik identitas secara sederhana bisa dimaknai sebagai strategi politik yang memfokuskan pada pembedaan dan pemanfaatan ikatan primordial sebagai kategori dan variable utamanya.

Apa yang dimaksud dengan politisasi agama ? Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, bahwa politisasi agama adalah politik manipulasi mengenai pemahaman dan pengetahuan keagamaan/kepercayaan dengan menggunakan cara propaganda, Indoktrinasi, kampanye, disebarluaskan, sosialisasi dalam wilayah publik dilaporkan atau diinterpretasikan agar terjadi migrasi pemahaman, permasalahan dan menjadikannya seolah-olah merupakan pengetahuan keagamaan/kepercayaan, kemudian, dilakukan tekanan untuk memengaruhi konsensus keagamaan/kepercayaan dalam upaya memasukan kepentingan sesuatu kedalam sebuah agenda politik pemanipulasian masyarakat atau kebijakan publik.

Kenapa ini hal yang penting sebagaimana sampai Jokowi menegaskan di forum yang sangat strategis pada Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR dan DPD, Selasa 16 Agustus 2022 ? Kita sepakat bahwa tahapan pemilu yang sedang berproses di Komisi Pemilihan Umum (KPU) menuju 2023 dan 2024 harus terus diwaspadai. Disamping politik identitas dan politisasi agama, juga tak ada lagi polarisasi sosial dalam kontestasi politik.

Apa yang dimaksud polarisasi sosial dalam kontestasi politik ? Polarisasi politik di masyarakat, saat warga terbelah ke dalam dua kutub yang berseberangan atas sebuah isu, kebijakan, atau ideologi, telah membentuk wajah politik, seperti ketika Pilpres hanya ada dua pasangan calon hal ini akan terbelah secara ekstrim. Yang ada hanya lawan atau kawan. Maka pernyataan Puan Maharani, Ketua DPR RI, sangah tepat “Kita harus paham, kapan tanding kapan bersanding”

Apa sisi negatif politik identitas, politisasi agama dan polarisasi politik masyarakat.

Kita sepakat bahwa politik identitas di Indonesia merupakan keniscayaan. Untuk itu, perlu langkah kreatif dan antisipatif untuk mencegah dampak negatifnya. Pluralisme di Indonesia merupakan kondisi normal, karena Indonesia pada dasarnya memiliki keragaman etnik, budaya, dan agama. Variabel ini bisa jadi kekuatan sekaligus potensi tetapi bisa juga sebagai kelemahan sekaligus ancaman.

Politik identitas, politisasi agama dan polarisasi politik masayrakat sangat tampak pada puncak keniscayaan, karena potensi ada peluang terbuka ketika Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017. Ketiga variable masing – masing, identitas, agama dan polarisasi menjadi focus untuk memenangkan kandidat. Potensi ada sejak 2014, ditambah Pilkada DKI Jakarta 2017 dan dilengkapi dengan Pilpres 2019. Muncul “perang terbuka”, petahana versus oposisi dan sangat familiar “cebong versus kampret”.

Dalam hal ini politik identitas merupakan penjabaran dari identitas politik yang dianut oleh warga negara berkaitan dengan arah paham politiknya. Ada pandangan bahwa politik identitas lahir dari sebuah kelompok sosial yang merasa diintimidasi dan didiskriminasi oleh dominasi negara dan pemerintah dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan. Hal inilah yang ditengarai menjadi dasar lahirnya politik identitas dalam persoalan kenegaraan.

Hampir semua aspek dan fenomena ada yang menguntung dan ada yang merugikan. Sama dengan politik indentitas bisa diartikan sebagai wahana pemersatu. Pada saat yang sama, bisa diartikan memecah belah kesatuan dan persatuan. Karena yang akan muncul aku bukan kamu, saya bukan anda, kami bukan kalian, kita bukan meraka. Inilah kalau kita merujuk pada Bhineka Tunggal Ika, ketika berbicara nasionalisme, kebangsaan sebagai bangsa Indonesia bisa menjadi persoalan serius.

Sulit dibantah, bahwa politik identitas memberikan ruang besar bagi terciptanya keseimbangan dan pertentangan menuju proses demokratisasi sebuah negara. Persoalannya, apabila tidak dikelola dengan tepat dan bijak akan menyebabkan hancurnya stabilitas negara. Pertentangan paham dan arah politik serta terjadinya polarisasi ditambah politisasi agama, potensi besar mengancam kestabilan negara apabila pemerintah tidak memiliki political will dalam mengelola isu ini.

Bukan saja kepentingan politik yang dipertaruhkan melainkan juga kepentingan masyarakat luas, sebab politik identitas sebagai politik perbedaan merupakan tantangan tersendiri bagi tercapainya sistem demokratisasi yang mapan. Eranya masa berdirinya negara sudah beda dengan masa sekarang dimana kran demokrasi dibuka lebar. Kita ingat pernyataan Presiden pertama, Sang Proklamator Bung Karno, yang paling dikenang adalah, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.” Maksud Soekarno lewat ucapan itu yakni mengingatkan ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia setelah merdeka.

Semoga setelah Jokowi menegaskan jangan ada lagi politik identitas dan politisasi agama yang merembet ke polarisasi politik masyarakat, dijadikan momentum 77 tahun usia kemerdekaan untuk membangun bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang semakin kokoh. Tepat tema yang diusung dalam peringatan HUT Kemerdekaan RI yang ke-77 pada 17 Agustus 2022 adalah “Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat”. Tekad ini merupakan menjadi acuan bagi masyarakat Indonesia dalam bersinergi merayakan hari kemerdekaan.

Hal ini penting mengingat elit mudah bersatu tetap akar rumput perlu proses dan waktu yang lama. Dimana sampai saat ini sisa – sisa masyarakat terkotak – kotak dan terbagi tidak hanya dalam kehidupan perpolitikannya namun juga sosial dan budayanya. Fenomena ini perlu menjadi perhatian semua pihak, terutama para tokoh masyarakat, toloh agama elit politik, mengingat perbedaan yang kita miliki sejatinya pernah menjadi kekuatan kita, saat ini kalau tidak disadari dan dikelola dengan baik serta bijak jangan sampai malah menjadi senjata yang menghancurkan kita dari dalam bangsa kita sendiri.

(Pudjo Rahayu Risan, Pengamat Kebijakan Publik)

About suparman

Check Also

Mengapa Disiplin dan Bersih Begitu Susah Di Indonesia ?

Oleh  : Nia Samsihono Saat aku melangkah menyusuri Jalan Pemuda Kota Semarang aku mencoba menikmati …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca