Pagi hari Jakarta hujan rintik-rintik. Tapi tak mengurungkan niat saya dan Nita untuk mengikuti wisata Jelajah Pecinan Tangerang bersama mba Yuliani Kuspambudi dari Wisata Kreatif Jakarta.
Karena belum pernah dan juga kurang pede naik KRL ke Tangerang, saya dan Nita diantar menuju stasiun Tangerang tempat meeting poin wisata kami. Sebelum jalan, kami dijelaskan mengenai sejarah stasiun Tangerang yang dibangun oleh Belanda sebagai jalur persimpangan dari Duri ke Tangerang, pada saat pembangunan jaringan kereta api dari Batavia ke Anyer sekitar tahun 1899, sehingga merupakan salah satu heritage milik Kereta Api Indonesia.
Saat ini, jalur kereta tersebut menjadi salah satu transportasi yang banyak dipakai masyarakat untuk menuju Tangerang atau ke Jakarta karena tentu lebih cepat dibanding dengan kendaraan lewat jalan Daan Mogot. Nah dari penjelasan mba Yuli, saya baru tahu kalau Mayor Daan Mogot yang namanya diabadikan sebagai jalan itu adalah orang Sunda.
Mayor Daan Mogot gugur saat memimpin taruna dari Akademi Militer Tangerang untuk melucuti pasukan Jepang, karena rencana tersebut ternyata ada yang membocorkan sehingga diketahui Jepang dan terjadi baku tembak yang menewaskan Daan Mogot serta banyak taruna Akademi Militer tersebut.
Karena gerimis tak kunjung berhenti, kami memutuskan naik angkot menuju area Pasar Lama. Setelah beberapa saat berjalan kaki menuju obyek yang akan dilihat, ternyata hujan makin deras. Meskipun sudah memakai payung tetap saja ada tetesan air hujan yang singgah di baju atau tas sehingga kami semua peserta tanpa dikomando sepakat untuk membeli jas hujan ponco saat melintas salah satu toko swalayan yang ada. Jadilah kami ber delapan seperti pasukan khusus berponco jas hujan warna warni menyusuri jalan kecil menerobos hujan rintik rintik.
Saat memasuki daerah Benteng yang dulunya merupakan pemukiman warga Tionghoa, dijelaskan oleh mba Yuli bahwa rumah orang Tionghoa jaman dulu selalu memperhatikan lima unsur alam yaitu air, tanah, api, logam dan udara serta biasanya ditanami Delima, Mawar dan Srikaya agar mendapat kesuburan, keharuman dan kekayaan.
Warga Tionghoa Benteng kebanyakan merupakan keturunan warga Tionghoa kota Batavia yang lari ke daerah pinggiran benteng kota, karena tidak tahan dengan pungutan pajak yang diterapkan oleh VOC. Sedangkan nama Tangerang sendiri konon berasal dari kata “Tanggeran” atau tanda, tempat wilayah perbatasan Kesultanan Banten masa Sultan Ageng Tirtayasa dengan pemerintah VOC, dimana banyak orang Makassar yang bekerja sebagai penjaga benteng tersebut, tidak mengenal akhiran N tetapi NG sehingga terucaplah Tangerang.
Selain itu, Jejak warisan budaya Tionghoa banyak mewarnai kultur setempat seperti yang tampak dalam baju Muslim Koko, pernak pernik pakaian adat Tangerang, Ronggeng Betawi, Gambang Keromong, merupakan kenyataan sejarah bahwa eksistensi kaum Tionghoa peranakan Benteng telah memberi warna sebagai bagian dari kekayaan budaya Nusantara.
Selanjutnya kami menyusuri Flying Deck sungai Cisadane yang tertata rapi, dimana sering diadakan festival perahu Naga sebagai bagian dari tradisi perayaan Peh Cun dengan hidangan khas bacang yang disantap pada perayaan tersebut. Menurut cerita, tradisi tersebut di negara asalnya adalah untuk mencari Qu Yuan yang terjun ke sungai karena merasa nasehatnya tidak dipedulikan oleh Raja, dengan cara memberi makan ikan dengan nasi bacang yang dibungkus daun bambu.
Dari tepi sungai Cisadane, saat ini masih terlihat beberapa rumah yang dijadikan sarang burung Walet, dimana waktu itu banyak orang Tionghoa hidup dari sarang burung walet yang mahal.
Menjelang tengah hari, hujan agak reda saat kami menyusuri jalanan becek menuju Klenteng atau Vihara Boen Tek Bio di daerah Pasar Lama. Klenteng tertua yang memiliki arti Tempat Kebajikan tersebut, didirikan sekitar tahun 1684, masih terjaga bagus kondisinya dan merupakan bagian dari sejarah pemukiman kaum Tionghoa di Tangerang. Menjelang Imlek makin ramai yang berkunjung, baik untuk ritual sembahyang maupun untuk wisata seperti yang kami lakukan.
Kami berkesempatan juga melihat Masjid Jami Kalipasir di kawasan Pasar Lama, yang merupakan masjid tertua di Tangerang. Masjid ini didirikan oleh Ki Tengger Jati dari Kerajaan Galuh Kawali untuk melakukan syiar Islam di Tangerang, dimana kubahnya berbentuk teratai yang merupakan perpaduan dengan budaya Tionghoa.
Selanjutnya kami menuju Museum Benteng Heritage di jalan Cilame, di daerah Pasar Lama yang didirikan tanggal 11.11.2011 jam 20.11 oleh Udaya Halim, budayawan peranakan Tionghoa yang lahir dan remaja di daerah Museum tersebut. Dahulunya museum ini merupakan rumah berarsitektur tradisional Tionghoa yang dibeli dan direstorasi oleh pak Halim untuk dilestarikan menjadi museum peranakan Tionghoa pertama di Indonesia. Beberapa bagian rumah masih asli seperti ornamen pada void di ruang tengah yang berasal dari batu yang dipahat dan dihiasi porselen.
Selain itu ada tangga, lantai dan pintu dari kayu yang masih asli. Keunikan pintu tersebut ada pada kunci rahasianya berupa palang pintu yang hanya bisa dibuka dari dalam rumah. Jadi pada masa itu, rumah tak pernah ditinggal kosong karena untuk memasuki rumah, hanya orang yang ada di dalam rumah yang bisa membuka pintunya dengan mendorong slot tersembunyi dibawah palang pintu tersebut.
Pada rumah tersebut terpasang juga undakan kayu kecil di pintu supaya kita menunduk saat masuk, yang maksudnya adalah untuk menghormati si pemilik rumah. Di dalam museum juga terdapat koleksi sepatu yang ukurannya sangat kecil sekitar 4 inchi, dimana pada masa Dinasti Qing, setiap gadis yang akan menikah harus memiliki kaki yang kecil, sehingga semua perempuan sejak kecil diikat kakinya dan memakai sepatu ketat seukuran kepalan tangan. Konon perempuan dengan kaki yang kecil dianggap sebagai simbol kcantikan. Namun ada pula cerita bahwa tradisi tersebut dilakukan untuk menyamarkan anak Kaisar yang cacat tidak bisa berjalan. Sayang sekali kami dilarang memotret selama berada di museum sehingga tidak bisa menunjukkan keunikan rumah kuno tersebut.
Dalam museum terdapat juga lukisan yang menceritakan sejarah kedatangan Laksamana Cheng Ho, seorang muslim Tionghoa yang melakukan perjalanan ke Nusantara sebanyak 6 kali, diantaranya ke Banten melalui pantai utara Tangerang yang dikenal dengan Teluk Naga.
Hujan telah reda dan mba Yuli kembali mengajak kami menyusuri jalanan becek di tengah Pasar Lama yang ternyata menuju ke restoran vegetarian “Tehe” di dekat Balaikota Tangerang. Kami beruntung mendapat tempat duduk karena rombongan lain baru saja selesai makan. Semua menu menarik, apalagi kondisi lapar setelah berjalan kaki menyusuri daerah Pecinan di Pasar Lama.
Saya dan Nita memesan Soto Betawi, sedang teman yang lain memesan sop kambing, nasi ayam hainan dan mie ayam yang semuanya makanan vegetarian. Sambil menunggu makanan tersaji, kami melihat toko sebelah yang menjual aneka makanan vegetarian yang masih satu pemilik dengan restoran Tehe. Akhirnya setelah kenyang menyantap makanan vegetarian yang enak, saya segera berpamitan karena masih harus balik ke Jakarta. Sepanjang perjalanan pulang, dengan ditemani mendung yang masih bertahan, saya mulai terkantuk kantuk dan akhirnya terlelap pulas.(*)