Buku ini, telah melewati perjalanan yang panjang, dengan banyak warna. Akhirnya, hari Sabtu, 16 Oktober 2021, buku berjudul Menoreh Kiprah, berhasil diluncurkan, dalam momentum paling sakral: Perayaan HUT Kabupaten Kulon Progo ke-70.
Oleh: irwan
Penulis buku Menoreh Kiprah
Esok hari adalah hari yang sudah kami tentukan, sejak dua tahun lalu. Momentum yang ditunggu untuk memberi kado ulangtahun Kulon Progo. Alhamdulillah, tercapai. Tapi banyak peristiwa yang melatari terbitnya buku ini. Terutama latar duka.
Ceritanya begini: Saya paham, buku ini harus terbit, agar bisa melunasi mimpi Kang Dwi. Jadi, saya menulis tak ubahnya Bandung Bondowoso mencipta Prambanan yang serba gegas. Semua memang harus lekas.
Dan, Bandung Bondowoso menulis serta mengumpulkan bahan tulisan dalam waktu 15 hari. Ini kerja yang nyaris mustahil, apalagi untuk mencapai target 70 profil tokoh Kulon Progo. Dan, benar. Saya hanya mampu merampungkan 30 tulisan biografi singkat tokoh Kulon Progo. Itu, dimulai dari tanggal 22 September 2021 sampai 7 Oktober 2021.
Lalu, tulisan masuk di meja editor pada 8-9 Oktober. Berikutnya, dua hari masuk tim layout. Serta, naik cetak tanggal 12 untuk harus sudah selesai dalam empat hari agar tanggal 16 Oktober 2021 bisa diluncurkan bersama perayaan HUT Kulon Progo.
Memang. Buku ini adalah usaha melunasi mimpi Kang Dwi, yang sudah sangat lama ingin memiliki buku yang berkisah tentang kesuksesan tokoh-tokoh Kulon Progo. Ide ini digagasnya jauh sebelum kesehatannya menurun, setelah pensiun akhir tahun 2018.
Saat itu, setiap kali saya sowan ke Ndalem Kautaman (karena nama kakang saya itu Dwidjo Utomo, rumahnya di Bekasi, biasa saya sebut Ndalem Kautaman), yang lebih banyak dibahas adalah bagaimana mewujudkan buku ini. Buku yang judulnya selalu disebut dengan penuh gairah: Menoreh Kiprah.
Setelah pensiun di tahun 2018, niat mewujudkan buku ini datang lagi. Kang Dwi berfikir, memiliki waktu sangat banyak, karena sudah tidak ngantor lagi di Harian Pelita. Tapi rupanya, sejak saya mengajaknya membidani lahirnya koranpelita.com, kesibukannya malah bertambah. Tidak sekadar mengeditori tulisan seperti saat masih di Harian Pelita, kali ini, bahkan juga harus berfikir tentang produk koranpelita.com secara keseluruhan, lengkap dengan bisnisnya. Jadi buku Menoreh Kiprah telantar.
Tahun 2019, hasrat merampungkan buku Menoreh Kiprah muncul lagi. Tapi kembali kandas. Nah, tahun 2020, ada harapan bisa meluangkan waktu untuk menulis buku. Kami membuat tim kecil. Selain saya dan Kang Dwi, ada Mad Rais, sedulur tunggal leluhur yang serba gesit.
Targetnya, buku diluncurkan pada momentum ulangtahun Kulon Progo ke-70, bulan Oktober 2021 ini. Berarti, kami memiliki waktu satu tahun, untuk mendapatkan materi tulisan 70 tokoh Kulon Progo. Waktu yang sangat ideal, karena tidak terlalu dikejar tengat.
Tapi ya ampun. Pageblug membuat kami sibuk, menyelamatkan diri. Wabah Corona memenggal habis energi untuk bisa menulis buku. Dalam rentang satu tahun, sama sekali tidak ada kesempatan mendiskusikan soal buku. Apalagi, kecemasan demi kecemasan datang. Pertama, Mad Rais yang kadang saya panggil dengan sebutan Kiai Fadli, terpapar Covid 19. Untungnya cepat sembuh.
Setelah itu, asa merasa sirna. Niat menyelesaikan buku, hilang oleh sebab kami benar-benar dihajar kenyataan bahwa wabah membuat lumpuh semua aktivitas. Semua orang harus berjauhan. Jaga jarak. Semula ada harapan, metoda pencarian materi tulisan bisa dilakukan secara virtual, tapi nyatanya bertambah sulit.
Tahun 2020 berlalu. Masuk 2021, sisa keinginan menulis buku, sudah nyaris habis. Tapi saya masih yakin buku bisa terbit bulan Oktober. Tiga bulan pertama di tahun 2021, buku sama sekali tidak tersentuh. Memasuki enam bulan, buku semakin jauh dari bentuknya.
Dan, datang tanggal 23 Juni 2021. Tanggal paling memukul hati saya. Sebab, Kang Dwi dipanggil Gusti Allah, dalam waktu sangat cepat, tanpa saya bisa mempersiapkan hati. Pagi itu, saya meriang. Tapi harus datang ke Bekasi, merapikan Ndalem Kautaman untuk mempersiapkan segala sesuatu, mengantar Kang Dwi ke peristirahatan terakhir.
Palu kesedihan yang memukul dada saya sangat keras, tanpa bisa ditahan, sampai-sampai untuk menangisi kepergian Kang Dwi pun, tidak bisa. Panjenengan semua paham, kesedihan yang tak bisa diekspresikan dengan airmata adalah kesedihan paling dalam. Dan, itu yang saya rasakan hingga hari ini.
Hari yang perih belum pulih. Setelah mengebumikan Kang Dwi, saya pulang ke Ciledug, lalu dinyatakan positif Covid 19. Lengkaplah semua nestapa yang harus saya terima di bulan Juni itu.
Maka begitulah. Latar duku di balik penulisan buku ini, rupanya masih berlanjut. Sebab, satu hari sebelum diluncurkan, Jumat, 15 Oktober 2021, Pak Haji Paiman juga berpulang. Pak Haji adalah salah satu tokoh Kulon Progo yang bukan hanya, menyumbangkan cerita, tapi sekaligus memberi dorongan agar buku ini segera terbit.
Semogalah. Kang Dwi dan Pak Haji Paiman, tenang di sisi-NYA. Diterima semua amal kebaikannya selama di dunia. Swarga langgeng.(*)