Palangka Raya, Koran pelita
Perempuan mempunyai sifat emosional yang menggebu. Sifat tersebut, sering kali dimanfaatkan pihak tertentu untuk memengaruhi perempuan. Tidak heran, akhirnya banyak perempuan yang terpengaruh pada radikal. Hal itu diungkapkan Plt Kepala Seksi Partisipasi Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Kolonel (Czi) Rahmad Suhendro, Rabu (18/8).
Pernyataan itu dilontarkan Suhendro dalam kegiatan Ngrobrol Perempuan, kerjasama antara BNPT dengan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Kalimantan Tengah. Kegiatan dilaksanakan secara daring, dan tatap muka menghadirkan narasumber Dr Devie Rahmawati, Staf Ahli Menteri Kominfo, Rensi, M.Psi Kepala Seksi Tindak Lanjut yang juga Psikolog Klinis dan Dr Desi Erawati, sebagai moderator.
“Perempuan sering kali dimanfaatkan sebagai pelaku bom bunuh diri. Emosional perempuan yang menggebu, menjadi celah bagi jaringan teroris, untuk memengaruhi mereka,” jelas Suhendro.
Ditegaskan, faktor yang mampu memengaruhi diantaranya, lingkungan keluarga, pekerjaan, sekolah, pergaulan di media sosial maupun masyarakat, pengajian yang dipimpin ustaz radikal, serta jaringan radikal lainnya. Karena itu, sangat penting bagi perempuan untuk mendapatkan pengetahuan agama yang memadai.
Indikasi radikal, jelas Suhendro, dilakukan melalui politisasi agama dengan visi dan misi ingin mendirikan negara sistem daulah, atau khilafah dengan mengganti dasar negara Pancasila, serta anti pemerintahan. Kemudian intoleran, fanatisme berlebihan, ekstrim, anti kultur, atau budaya lokal, sering menuduh seseorang sesat.
“Mereka tidak mengakui atau mentaati hukum yang berlaku. Sering menghalalkan segama cara atas nama agama,” tegas Suhendro.
Sementara, Kepala Seksi Tindak Lanjut yang juga Psikolog Klinis, Rensi, menyebutkan, 80 persen orang yang tergabung, atau terlibat paham radikalisme awalnya bukan persoalan ideologi, tetapi akibat masalah sosial. Usia 14 hingga 28 tahun mempunyai relasi sosial yang paling penting dalam pembentukan idealisme.
Beberapa faktor yang turut memengaruhi, jelas Rensi, tingginya angka pernikahan dini yang berpengaruh pada tingkat ketahanan keluarga. Struktur sosial, psikologis, tingkat pendidikan dan literasi berperan dalam membentuk perilaku, dan persepsi. Ruang lingkup yang terpencil cenderung kurang mendapat informasi yang luas.
“Kita melakukan berapa upaya dengan melakukan peningkatan ketahanan keluarga, penurunan angka pernikahan usia anak, pelatihan peningkatan ekonomi pemerimpuan, peningkatan kesehatan reproduksi perempuan, pencegahan kekerasan terhadap perempuan, dan anak, serta penanganan korban kekerasan,” tegas Rensi.
Sebelumnya, Ketua FKPT Provinsi Kalteng Dr Khairil mengungkapkan, dalam beberapa hasil penelitian dan kenyataan yang terjadi, radikalisme serta terorisme masih menjadi ancaman keamanan di Indonesia, khususnya kalangan perempuan. Hasil penelitian BNPT tahun 2021 menunjukkan akses internet perempuan lebih banyak daripada laki-laki.
Dalam 4 tahun terakhir sejak 2018 sampai 2021, jelas Khairil, ada fenomena perempuan terlibat atau dilibatkan dalam aksi terorisme. Kasus bom bunuh diri di Surabaya tahun 2018 yang melibatkan satu keluarga termasuk isteri dan anaknya, dan menewaskan 28 orang. Padahal mereka termasuk orang yang relatif berkecukupan.
“Motifnya terpapar paham radikalisme yang mengajarkan mati syahid dengan cara bom bunuh diri terhadap orang-orang yang dinilainya kafir,” tegas Khairil.
Kedua, ungkap Khairil, kasus bom bunuh diri di Makasar, pada tanggal 28 Mei 2018, juga melibatkan suami isteri, dengan motif balas dendam. Ketiga, kasus seorang perempuan diduga teroris ditembak mati saat melancarkan aksinya di area Mabes Polri di Jakarta, 31 Maret 2021. Motif utamanya lagi-lagi karena terpapar paham radikalisme. (RAG).