Kalangan Akademisi Tawarkan Pendekatan Baru dalam Membangun Bangsa Melalui Kebudayaan

Jakarta, Koranpelita.com

Buku berjudul ‘Kebangsaan yang Berperadaban:Membangun Indonesia dengan Paradigma Pancasila’ memasuki tahap finalisasi. Buku tersebut merupakan rangkuman dari Diskusi Serial yang digelar oleh Aliansi Kebangsaan bekerjasama dengan Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dan Harian Kompas sejak Maret 2019.

Acara ini dirancang, selain untuk mendiseminasikan dan memperkaya pemikiran serta gagasan yang terangkum dalam buku ini, juga dimaksudkan semacam “uji sahih atau uji publik” agar rekomendasi kebijakan yang dirumuskan dalam buku ini, mendapat keabsahan secara sosiologis.

Buku ini kata Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, pada Forum Group Discussion (FGD) dalam rangka finalisasi buku, Rabu (28/7/2021) merupakan rangkuman dari berbagai pemikiran dan gagasan yang berkembang selama pelaksanaan Diskusi Serial selama dua tahun sejak 20 Maret 2019 yang diselenggarakan bersama oleh Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dan Harian Kompas. Selain itu, buku ini juga diperkaya dengan hasil-hasil studi literatur, maupun kegiatan diskusi lainnya.

Target utama dari penyelenggaraan Diskusi Serial selama dua tahun tersebut dan disusunnya buku ini lanjut
Pontjo adalah menawarkan pendekatan baru dalam membangun kebangsaan yang berperadaban melalui “jalan kebudayaan (cultural way)” dalam tiga ranah utama kehidupan sosial, yaitu: ranah mental spiritual (tata nilai), ranah institusional political (tata kelola), dan ranah material teknologikal (tata sejahtera) berdasarkan paradigma Pancasila.

“Pendekatan dan paradigma ini,akan terus disosialisasikan oleh Aliansi Kebangsaan bersama-sama mitra lembaga penyelenggara kegiatan ini,
sebagai tolok ukur paradigmatik dalam mengembangkan dan menguji pembangunan nasional kita Dalam FGD hari ini, kita akan mendalami dan mengkritisi draft buku ini khusus pada bagian “Ranah Mental Spiritual”, yang diyakini menjadi faktor penentu keberhasilan (determinant factor) bagi kemajuan sebuah bangsa. Hal ini juga telah disadari oleh Presiden kita yang pertama Bung Karno sehingga bertekad menjadikan pembangunan karakter bangsa (character building) sebagai bagian penting dan tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. Bung Karno menyebutnya dengan “Nation and Character Building”,” jelasnya.

Membangun ranah mental spiritual

Dibagian lain Pontjo juga mengatakan,  bahwa begitu pentingnya pembangunan ranah mental spiritual (karakter) bagi suatu bangsa maka banyak kalangan melakukan studi mencari hubungan “mental spiritual/karakter” dan “pembangunan/kemajuan” sebuah bangsa. Salah satu penganjur utamanya di Indonesia adalah Prof. Koentjaraningrat yang menautkan antara mentalitas dan pembangunan.

Kim & Jaffe misalnya, dalam bukunya “The New Korea” (2013) mengungkapkan bahwa bangsa Korea menjadi maju karena karakter bangsanya. Demikian juga yang dikemukan oleh Jared Diamond dalam bukunya “Collapse” (2014) bahwa kepunahan satu peradaban antara lain dimulai dari cara pandang terkait sistem nilai atau budaya bangsa tersebut.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Apakah modal budaya pada aspek
mental spiritual yang dimiliki bangsa ini sudah menjadi “determinant factor” bagi kemajuan bangsa Indonesia, ” tanya Pontjo.

Sekarang ini lanjut Pontjo, banyak pihak justru khawatir bahwa bangsa ini sedang mengalami perapuhan nilai-nilai kebangsaannya. Banyak indikasi yang memperkuat sinyalemen ini. Bahkan sampai saat ini kita masih merasakan fenomena terpolarisasinya kelompok masyarakat hanya karena perbedaan aspirasi politik. “Saat ini, ketika kita menghadapi pandemi Covid-19 yang dampaknya begitu luas, semangat dan rasa kebangsaan kita kembali menghadapi ujian,” jelasnya.

Selain itu lanjut Pontjo, terjadinya eskalasi perapuhan nilai-nilai kebangsaan, seringkali juga dipicu oleh perilaku beberapa elite politik kita yang justru menjadi faktor pemecah belah ketika mereka menggunakan sentimen primordial seperti sentimen suku dan agama yang hidup di masyarakat untuk memobilisasi dukungan dalam Pilpres dan Pilkada.

Politisasi sentimen primordial seperti ini dalam banyak kasus membuat terbelahnya kelompok masyarakat yang sangat tajam sehingga pada eskalasi tertentu berpotensi mengancam ke-“Bhinneka Tunggal Ika”-an yang sudah kita sepakati bersama sebagai salah satu konsensus nasional bangsa Indonesia.

Akibat terjadinya perapuhan nilai-nilai kebangsaan kita, Yudi Latif dalam
tulisannya di Kompas pada tanggal 11 Oktober 2018 yang lalu pernah
mengilustrasikan bahwa bangunan negara Indonesia hari ini ibarat berdiri di atas tanah aluvial dengan daya ikat tanah yang merenggang. Dengan satu getaran 1 Diamond, Jared.Collapse.

Runtuhnya Peradaban-Peradaban Dunia. Jakarta: Kepustakaan Populer gempa sosial, segala bangunan yang dengan susah payah didirikan bisa saja mengalami proses likuefaksi (liquefaction) atau sirna ilang kertaning bumi.

Sementara itu, The Fund For Peace dalam laporan pengukuran Indeks
Negara Gagal atau “Fragile State Index” tahun 2021 ini, masih menempatkan Indonesia masuk dalam kategori “warning” sebagai negara gagal. Indonesia menduduki ranking 99 dari 179 negara dengan skor 67,6.

Menurut analisa beberapa
pakar terhadap temuan “The Fund For Peace” ini, ada sejumlah faktor yang
menyebabkan Indonesia berada pada kategori ini antara lain karena persoalan persoalan budaya seperti kurang berhasilnya mengelola keberagaman (pluralitas) dan kebangsaan kita.

Peserta FGD yang berbahagia, upaya memelihara pluralisme sebagai konsensus moral bangsa Indonesia,
tentu harus selalu kita upayakan, agar basis-basis ikatan sentimen primordial bisa mengalami proses transformasi menjadi “common domain” yang efektif menjaga keutuhan bangsa kita yang majemuk.

Menurut Christine Drake dalam bukunya: “National Integration in Indonesia (1989)” ada beberapa faktor yang dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk membangun common domain bangsa Indonesia, antara lain: (1) kesamaan sejarah; (2) kesamaan atribut-atribut sosial budaya; (3) saling ketergantungan antar daerah, (4) kehendak untuk hidup bersama.

“Selain faktor-faktor tersebut, menurut hemat saya, ada satu faktor penting
yang kita miliki yaitu Pancasila sebagai “shared values” yang bisa dipedomani
sebagai rujukan bersama untuk mendorong proses transformasi struktur dan kultur demi terwujudnya “common domain” ke-Indonesia-an tanpa menanggalkan identitas etnisitas dan identitas lainnya. Oleh karena itulah dalam buku ini kita mendorong agar Pancasila dijadikan sebagai paradigma atau “kerangka operasional” dalam membangun kebangsaan Indonesia,” ujarnya.
.
Walaupun bangsa Indonesia memiliki potensi kultural untuk mewujudkan
“common domain” bagi mengukuhkan ikatan kebangsaan kita, namun kita
merasakan adanya berbagai “paradoks” dalam realitas kebangsaan kita hari ini. Kita memiliki Pancasila yang disepakati sebagai ideologi kebangsaan kita, namun kenyataannya kita seakan menjauh darinya. Dalam konteks paham pluralisme sebagai paham kebangsaan kita, ada beberapa fenomena yang menguatkan sinyalemen paradoksial tadi, antara lain adalah: menguatnya poliitik identitas, politisasi sentimen primordial, terjadinya pembelahan publik yang sangat tajam akibat Pilkada dan Pilpres, dan lain-lain.

“Untuk membangun “Ranah Mental Spiritual” terutama merawat dan
mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan Indonesia ini, memerlukan keandalan rejim “pendidikan dan pengetahuan” sebagai agensi utamanya. Oleh karena itu, kita masih menaruh harapan besar kepada sistem pendidikan nasional sebagai upaya
kolektif-sistemik melalui tiga pilarnya, yaitu: keluarga (pendidikan informal),
masyarakat (pendidikan non-formal), dan lembaga pendidikan formal,  ” pesan

Tentu menjadi pertanyaan kita bersama, apakah sistem pendidikan nasional kita saat ini sudah mampu berperan sebagai “agen transpormasi sosial” dalam merawat nilai-nilai dan membangun karakter kebangsaan Indonesia? Hal inilah yang dikritisi dalam buku ini karena kita menyadari bahwa pendidikan yang ‘tidak-tepat’, tidak akan berperan dalam pembangunan karakter bangsa, bahkan bisa menghancurkan karakter bangsa.

Ketepatan suatu sistem pendidikan dalam pembangunan karakter, sangat
ditentukan oleh unsur-unsur pendidikan yang tepat pula, antara lain adalah menyangkut substansi pembelajaran. Begitu pentingnya merawat dan mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia yang majemuk, maka buku ini keluar dengan rekomendasi terkait muatan pendidikan nasional yaitu:

“Kebangsaan, Etika, dan Logika” yang kita sebut “Tri Matra”. Muatan pendidikan ini juga pernah diusulkan oleh Aliansi Kebangsaan bersama-sama YSNB, PPAD, FKPPI, NU-Circle, dan mitra strategis lainnya melalui Naskah Akademik sebagai masukan dalam pembahasan RUU Sisdiknas yang saat ini sudah masuk dalam Prolegnas di DPR. (Vin)

About ervin nur astuti

Check Also

Pengalaman Buruk Naik Singapore Airlines (SQ 897/950)

Jakarta, Koranpelita.com Pengalaman buruk dirasakan oleh Lauren Susilo dengan keluarga saat menggunakan jasa penerbangan Singapore …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca