Terstrutur, Sistematis dan Massif Vs Penanganan COVID-19

Oleh : Pudjo Rahayu Risan

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, Presiden Joko Widodo telah memutuskan memperpanjang PPKM darurat hingga akhir Juli 2021. Namun begitu ada catatan yang esensial bahwa Presiden Joko Widodo mengatakan, perpanjangan PPKM darurat merupakan hal yang sensitif, sehingga harus diputuskan dengan hati-hati. “Ini pertanyaan dari masyarakat, satu yang penting yang perlu kita jawab, PPKM darurat ini akan diperpanjang tidak? Kalau mau diperpanjang, sampai kapan?,” ujar Jokowi dalam keterangannya melalui YouTube Sekretariat Presiden, Sabtu (17/7/2021).

Ini semua menggambarkan bahwa kebijakan publik betul-betul disusun dengan baik dan benar. Baik dan benar saja, tetap menimbulkan pro dan kontra. Kenapa kebijakan publik untuk menangani COVID-19 mesti harus disusun secara struktur, sistematis dan massif ? Apalagi presiden sudah memberi arahan, “Perpanjangan PPKM Darurat sensitif, jangan sampai keliru…”

Untuk menghadapi pandemic yang belum bisa dipastikan kapan berakhir, bahkan cenderung menjadi jadi, maka penanganan masuk kategori emergency. Kategori gawat. Maka penanganannya harus ekstra serius karena merupakan kejadian extraordinary. Kejadian luar biasa.

Kebijakan politik menjadi kebijakan manajemen.

Untuk memenuhi kebijakan publik yang terstruktur, sistematis dan massif perlu beberapa persyaratan yang tidak mudah. Pertama, untuk tataran eksekuti, Sekda dan jajarannya di pemerintah daerah, Sekretaris Jendral di kementrian, suka atau tidak suka harus mampu menterjemahkan dari kebijakan politik menjadi kebijakan manajemen. Kedua, harus mampu menekan bahkan menghilangkan egosentris atau egosektoral. Ketiga, sinergitas harus dan tidak bisa ditawar. Kempat memiliki visi dan cara pandang yang sama.

Persoalan menterjemahkan kebijakan politik menjadi kebijakan manajemen, sungguh suatu pekerjaan yang tidak mudah. Ketika pejabat publik sesuai dengan wewenangnya mengeluarkan suatu kebijakan, itu masih kategori kebijakan politik. Contoh, pernyataan pejabat publik, obat untuk yang isoman harus tercukupi. Ini masih kategori kebijakan politik yang harus segera diterjemahkan menjadi kebijakan manajemen. Maka dari itu, kebijakan politik ini harus diterjemahkan menjadi kebijakan manajemen. Kenapa mesti harus diterjemahkan dari kebijakan politik menjadi kebijakan manajemen ?

Perlu diterjemahkan karena pernyataan pejabat publik belum bisa dioperasionalkan. Belum bisa diimplementasikan. Banyak pertanyaan yang harus dijawab. Siapa yang merencanakan bagiaman perencanaannya. Ini banyak variable yang harus dioerhatikan. Antara lain, SDM, Dana, Matrial, Mesin penggerak dan kalkulasi waktu.

Untuk itu perlu diterjemahkan menjadi kebijakan manajemen. Dengan manajemen bisa dioperasionalkan atau dipraktekkan. Setelah melalui tahapan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi, suatu kebijakan politik baru bisa berjalan.

Perencanaan, siapa yang merencanakan. Disini sudah termaktub perencana yang meliputi SDM, sumber dana, tersedianya infrastruktur serta sarana prasara termasuk matrial, direncanakan juga metodologinya, mekanismenya, strateginya dan harus memperhitungkan waktu yang sedang kejar kejaran dengan wabah COVID-19.

Pengorganisasi, menjadi rujukan untuk pelaksanaannya. Harus ada sebuah organisasi yang bertanggung jawab. Perlunya organisasi akan memunculkan struktur, rentang kendali (span of control), pembagian tugas dan fungsi, bertanggung jawab kepada siapa bahkan ada pemberian reward dan punishment. Tak kalah penting siapa yang monitoring dan pengawasan untuk bahan evaluasi.

Hal ini penting agar penanganan COVID-19 bisa lebih efektif dan syukur-syukur menjadi efisien. Sedangkan pelaksanaannya sudah memiliki rujukan tinggal fungsi monitoring dan kontrol yang selalu dilakukan. Apabila aspek monitoring dan kontrol dilakukan denmgan serius, konsekuen dan konsisten, bisa diharapkan bahwa pembuat kebijakan publik tidak perlu ragu atau bahkan malu untuk selalu evaluasi ketika kebijaklan publik diimplementasikan justru kontra produktif. Kalau memang perlu dicabut..ya dicabut. Kalau perlu direvisi..ya direvisi.

Hal tersebut menjadi penting karena namanya saja kebijakan publik untuk sebesar besarnya bermanfaat bagi bagi publik. Bukan sebaliknya.

Disiplin dengan tahapan.

Agar penanganan harus serius, maka kebijakan publik yang diambil memiliki struktur yang jelas dan terukur. Sejak perencanaan, pengorganisasi, pelaksanaan dan monitoring, kontrol serta evaluasi disusun secara sistematis. Langkah sekanjutnya dikerjakan secara massif, artinya pekerjaan dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Kedudukan seluruh anggota organisasi tidak tumpang tindih. Pembagian tugas menjadi lebih mudah.

Tahapan proses pembuatan kebijakan publik diawali survey untuk mengidentifikasi problem atau masalah. Selanjutnya disusun agenda setting menuju formulasi kebijakan publik. Pada saat tahap penyusunan formulasi kebijakan publik yang baik, paling tidak ada lima acuan, pertama dirancang sesuai dengan kerangka acuan dan teori yang kuat. Kedua, disusun korelasi yang jelas antara kebijakan dan implementasinya, ketiga ditetapkan adanya organisasi yang mengkoordinir pelaksanaan kebijakan sehingga proses implementasi dapat berjalan dengan baik, keempat untuk kemaslahatan umat, sehingga sangat bermanfaat bagi publik dan kelima, diterima oleh sebagian besar publik, diharapkan muncul partisipasi.

Tahap pertama perlu kerangka acuan dan teori yang kuat dijadikan rujukan. Melibatkan akademisi maupun praktisi kesehatan yang berkaitan dengan wabah virus COVID-19 baik virusnya maupun penyebarannya. Sebagai contoh, ahli epidemiologi yang paham betul dengan “Flattning the curve” atau pelandaian curva merupakan indicator untuk upaya memperlambat penyebaran penyakit menular yang dalam kontesks ini adalah COVID-19.

Tahap kedua, kebijakan publik secara kontekstual dan tekstual cara penyusunannya menjadi jelas antara kebijakan, sebagai panduan dan rujukan, dengan tataran implementasi. logis, masuk akal dan mudah serta terukur dilapangan.

Tahap ketiga, tahap ini menjadi penting dan strategis. Kenapa ? Karena tahap ini mensyaratkan ada organisasi sebagai operator sekaligus mesin dilapangan dalam pelaksanaan. Organisasi disini bisa memanfaatkan organisasi yang sudah ada, atau ada penambahan personil dan struktur atau baru dengan melibatkan satgas dari eksternal. Sebagai contoh, ketika kebijakan publik dengan memadamkan lampu penerangan jalan umum (LPJU) konsekuensi logis harus ada organisasi yang secara khusus, serius, konsekuen dan konsisten mengawal dan menjaga serta melindungi warga masyarakat yang bekerja disektor essensial dan strategis serta vital terlindungi ketika pergi dan pulang dalam perjalanan dimalam hari. Inilah yang namanya kebijakan publik yang membuat warga nyaman dan man.

Tahap keempat, untuk kemaslahatan umat, sehingga sangat bermanfaat bagi publik. Bukan sebaliknya. Karena kebijakan publik ya yang menguntungkan publik. Yang dibutuhkan publik.

Tahap kelima, diterima oleh sebagian besar publik, diharapkan muncul partisipasi. Faktor partisipasi menjadi penting. Tanpa partisipasi, kebijakan publik tidak ada gunanya. Tidak ada manfaatnya. Namun begitu, secara massif masyarakat tanpa kecuali komentaati peraturan dan regulasi yang telah diputuskan. Disiplin, disiplin dan disiplin. Protokol kesehatan dijaga, dirumah saja kalao tidak ada keperluan yang mendesak dan urgen. (Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, Fungsionaris Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang, pengajar tidak tetap STIE Semarang dan STIE BPD Jateng)

About suparman

Check Also

Mengapa Disiplin dan Bersih Begitu Susah Di Indonesia ?

Oleh  : Nia Samsihono Saat aku melangkah menyusuri Jalan Pemuda Kota Semarang aku mencoba menikmati …

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap selesaikan captcha sekali lagi.

Eksplorasi konten lain dari www.koranpelita.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca