Kontradiksi penyataan dan realitas suatu tindakan menjadi tumpang tindih antara kebenaran dan ketatakramaan
Dilansir penjulukan jabatan oleh presiden dengan julukan ”The King of Lip Service”
Yang membuat beberapa sudut pandang menganut adanya dua kubu.
Entah itu condong ke kubu pro pemerintah, atau pun condong ke kubu pro dengan mahasiswa BEM ( Badan Eksekutif Mahasiswa ) UI ( Universitas Indonesia ) itu sendiri.
Untuk menyuarakan kritikan atau sanggahan memang diperbolehkan. Malah sangat dianjurkan, karena melihat Negara lndonesia ini merupakan negara yang demokratis.
Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang”.
Akan tetapi, dengan adanya peluang itu, kita juga harus melihat beberapa hal yang kita kritik. Harus bisa membedakan, apakah hal tersebut sebuah kritikan yang membangun sebuah kualitas kinerja pemerintah atau hanya sebuah cacian yang bersifat pribadi yang bisa-bisa menjadi persoalan untuk mencemarkan nama baik presiden. Terpampang jelas juga terdapat pada Pasal 27 ayat (3).
Pencemaran nama baik masuk dalam kategori penghinaan karena termaktub dalam BAB XVI dari Pasal 310 sampai 321 KUHP. Pencemaran nama baik menurut Pasal 310 KUHP adalah menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui di khalayak umum.
Bukan hanya itu saja, masih ada lagi beberapa Pasal KUHP yang menjadi rujukan atas “pencemaran nama baik” bagi UU ITE Pasal 27 ayat (3). Pasal ini berbunyi, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, pelaku dapat dijatuhi pidana paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pemuda yang intelek, pemuda yang cerdas serta pemuda yang kritis harus bisa menyodorkan sebuah kritikan yang sebelumnya sudah dikaji dengan melakukan analisis sosial terlebih dahulu tanpa meninggalkan perilaku kesopansantunan yang dihilangkan.
Jika perkataan Bapak Negara kita belum bisa sesuai dengan apa yang diutarakan, sanggahlah dengan kesopanan. Karena presiden pun tak luput dari kesalahan. Presiden juga manusia, hanya saja beliau ( Jokowi ) mendapatkan amanah yang jauh lebih besar daripada kita yang berkedudukan sebagai rakyatnya.
Rakyat lndonesia itu, terkenal dengan sikap ramah tamahnya, berbudi luhurnya, bersikap sopan santun, rendah hati, dan lain sebagainya. Untuk itu, mari. Berkritik dengan bijak, jangan sampai mengkritik tanpa menelisik serta menghilangkan kodrat kita sebagai manusia yang beradiluhung.
Penulis : Ayu Lestari
Mahasiswi STAI AL HIDAYAT LASEM