Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.
Gonjang ganjing penegakan hukum pada berbagai kasus korupsi memantik reaksi. Fakta yang mengemuka, ada hukuman yang dijatuhkan ringan. Ada yang bahkan dieleminasi dengan bahasa hukum dibuat SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Sementara pada sisi lain, dalam banyak kasus kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat dijatuhi hukuman berat.
Kondisi di atas secara konseptual menyegarkan ingatan kembali untuk berkomitmen kembali kepada penegakan hukum yang didasarkan pada restoratif justice. Komitmen yang suidh diteguhkan dengan berbagai Juklak (Petunjuk Pelaksanaan ) karena memang bersifat konseptual ini kiranya dijadikan sebagai pedoman secara konsisten. Tidak ditegakkannya secara konsisten secara filosofi menyebabkan terciderainya rasa keadilan masyarakat yang berimbas kepada banyak hal. Diantara yang paling parah adalah ketidaktaatan hukum dari msyarakat karena melihat ketidakadilan.
Esensi Pemidanaan
Khususnya dalam merumuskan norma hukum pidana dan merumuskan ancaman pidana, paling tidak harus ada 3(tiga) hal yang menjadi orientasi dengan pemberlakuan hukum pidana di dalam masyarakat. Yaitu pertama membentuk atau mencapai cita kehidupan masyarakat yang ideal atau masyarakat yang dicitakan. Kedua mempertahankan dan menegakkan nilai-nilai luhur dalam masyarakat, dan ketiga mempertahankan sesuatu yang dinilai baik (ideal) dan diikuti oleh masyarakat dengan teknik perumusan norma yang negatif. Tujuan pengenaan sanksi pidana dipengaruhi oleh alasan yang dijadikan dasar pengancaman dan penjatuhan pidana. Pada konteks ini alasan pemidanaan adalah pembalasan, kemanfaatan, dan gabungan antara pembalasan yang memiliki tujuan atau pembalasan yang diberikan kepada pelaku dengan maksud dan tujuan tertentu.
Restoratif justice (Restorative justice) adalah sebuah proses, ketika semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama untuk menyelesaikan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran yang terjadi demi kepentingan masa depan. Artinya bahwa penyelesaian dalam suatu tindak pidana dengan mengunakan Restorative justice lebih mengutamakan terjadinya kesepakatan antara pihak yang berpekara, dengan kepentingan masa depan. Sedangkan menurut kriminolog Adrianus Meliala, model hukuman restoratif diperkenalkan karena sistem peradilan pidana dan pemidanaan yang sekarang berlaku menimbulkan masalah.
Makna praktis dari hal di atas bahwa sistem kepenjaraan sekarang tujuan pemberian hukuman adalah penjeraan, pembalasan dendam, dan pemberian derita sebagai konsekuensi perbuatannya. Indikator penghukuman diukur dari sejauh mana narapidana (napi) tunduk pada peraturan penjara. Jadi, pendekatannya lebih ke keamanan (security approach). Hal ini yang akhir akhir ini ditinggalkan, dengan begitu besar dan banyak memberikan konsesi kepada pelaku tindak pidana, khususnyha korupsi.
Dalam kana konseptual, penegakan hukum dan proses restorative justice ini menuju kepada terwujudnya keadilan restoratif. Keadilan restoratif sebagaimana pada dasarnya adalah sebuah pendekatan hukum pidana yang memuat sejumlah nilai tradisional. Hal ini didasarkan pada dua indikator yaitu nilai-nilai yang menjadi landasannya dan mekanisme yang ditawarkannya. Hal tersebut menjadi dasar pertimbangan mengapa keberadaan keadilan restoratif diperhitungkan kembali. Keberadaan pendekatan ini barangkali sama tuanya dengan hukum pidana itu sendiri.
Selain pemenjaraan yang membawa akibat bagi keluarga napi, sistem yang berlaku sekarang dinilai tidak melegakan atau menyembuhkan korban. Apalagi, proses hukumnya memakan waktu lama. Sebaliknya, pada model restoratif yang ditekankan adalah resolusi konflik.
Diakomodasikan pada RUUKUHP
Gagasan Restoratif Justice ini sejatinya sudah diakomodir dalam RUU KUHP, yaitu diperkenalkannya sistem pidana alternatif berupa hukuman kerja sosial dan hukuman pengawasan. Dengan demikian pada akhirnya Restoratif Justice memberi perhatian sekaligus pada kepentingan korban kejahatan, pelaku kejahatan dan masyarakat. Untuk teknis dari pemidanaan itu senciri konsepnya adalah dengan menerapkan apa yang disebut mediasi penal. Mediasi Penal merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) yang lebih populer di lingkungan kasus-kasus perdata, namun bukan berarti tidak dapat diterapkan di lingkungan hukum pidana.
Sebelum secara formal disahkan sebagai dasar penghukuman dalam KUHP, saat ini dasar hukum penerapannya adalah pada.Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol : B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, Perihal Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR). Surat ini menjadi rujukan bagi kepolisian untuk menyelesaikan perkara-perkara Tindak Pidana Ringan, seperti Pasal: 205, 302, 315, 352, 373, 379, 384, 407, 482, surat ini efektif berlaku jika suatu perkara masih dalam tahapan proses penyidikan dan penyeledikan. Beberapa point penekanan dalam Surat Kepolisian tersebut antara lain mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaian dapat diarahkan melalui ADR.
Penyelesaian kasus melalui ADR harus disepakati oleh pihak-pihak yang berkasus, namun apabila tidak tercapai kesepakatan, harus diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku sacara profesional dan proporsional; penyelesaian perkara melalui ADR harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar; penyelesaian perkara melalui ADR harus menghormati norma hukum sosial/adat serta memenuhi azas keadilan; dan untuk kasus yang telah diselesaikan melalui ADR agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain.
Pada pespektif berikut, bahwa delik yang dilakukan berupa ”pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82 KUHP, kewenangan/hak menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila Terdakwa telah membayar denda maksimum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah ”afkoop” atau ”pembayaran denda damai” yang merupakan salah satu alasan penghapus penuntutan.
Sementara itu untuk tindak pidana dilakukan oleh anak di bawah usia 8 tahun. Menurut Undang-Undang Nomor. 3/1997 (Pengadilan Anak), batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Terhadap anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali. (Pasal 5 UU No. 3/ 1997).
Di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar Keppres Nomor. 50 Tahun 1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM.
Perubahan Sistem
Pada dasarnya restoratif justice berupaya merubah sistem pemidanaan dengan kondisi kekinian. Sesuai masa dan lokasinya. Bahwa selain pemenjaraan yang membawa akibat bagi keluarga napi, sistem yang berlaku sekarang dinilai tidak melegakan atau menyembuhkan korban. Apalagi, proses hukumnya memakan waktu lama. Sementara itu pada konsep restoratif yang ditekankan adalah resolusi konflik. Pemidanaan restoratif melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam menyelesaikan masalah. Di samping itu, menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan perbuatannya.
Konsep yang bagus di atas ini untuk sat sekarang tidak diterapkan dengan berbagai pertimbangan yang intinya ketidaksiapan para penegak hukum. Namun harapannya adalah agar segera diterapkan secara konsisten sebagai bagian dari keharusan untuk menegakkan hukum dalam rangka mewujudkan keadilan yang seadil adilnya.***