Jakarta,Koranpelita.com
Perpustakaan Nasional (Perpusnas)
sebagai lembaga pemerintah nonkementerian yang bertugas di bidang perpustakaan, berupaya melakukan pengembangan, pembinaan, dan kegemaran membaca untuk pengembangan budaya literasi.
Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando menyatakan dalam memperkuat budaya literasi, harus ada upaya holistik dan terintegrasi dari hulu hingga hilir.
Penguatan peran dan kehadiran negara yakni eksekutif, legislatif, yudikatif, TNI, dan Polri; para akademisi di perguruan tinggi, penulis buku, penerbit, pengusaha rekaman, penerjemah, penyadur, harus dilakukan dengan pengaturan regulasi distribusi bahan bacaan serta peningkatan anggaran belanja buku.
“Penguatan di sisi hulu harus dilakukan, agar sisi hilir budaya literasi yakni indeks literasi dan peningkatan kegemaran membaca serta akses dan kualitas layanan bisa terwujud,” jelasnya dalam pidato sambutan Peringati Hari Jadi Perpustakaan Nasional yang ke 41 Tahun di Jakarta Senin (17/5/2021).
Sesuai dengan Undang-undang Perpustakaan Nomor 43 Tahun 2007 pasal 5, masyarakat mendapatkan hak yang sama untuk memperoleh layanan serta memanfaatkan dan mendayagunakan fasilitasi perpustakaan, baik di daerah terpencil, terisolasi, atau terbelakang dari beragam latar belakang sosial dan ekonomi.
Menurut Syarif, seluruh pihak harus berkolaborasi dalam pembudayaan gemar membaca dan penguatan indeks literasi. “Dengan sinergi dan kolaborasi, marilah kita membuat regulasi mengenai distribusi bahan bacaan untuk memperkecil ketimpangan antarwilayah dan menganggarkan belanja buku yang sesuai dengan kondisi demografis masyarakat,” ujar Syarif.
Kepala Perpustakaan Nasional Muhammad Syarif Bando menyampaikan terdapat 10 modal dan potensi untuk mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang unggul dan tinggi budaya literasi. Diantaranya, (1) jumlah perpustakaan Indonesia yang besar, (2) transformasi digital perpustakaan, (3) perpustakaan bagi generasi millennial, (4) Perpustakaan Nasional sebagai ikon peradaban bangsa, (5) e-Deposit: Transformasi sistem penghimpunan dan pelestarian karya Intelektual bangsa, (6) Standardisasi Layanan Publik Perpustakaan, (7) Transformasi Layanan Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial, (8) Pembangunan Nasional Bidang Perpustakaan masuk Agenda Pembangunan Nasional Revolusi Mental dan Pemajuan Kebudayaan, (9) organisasi perpustakaan yang makin dinamis dengan memperkuat peran pustakawan, (10) Penguatan Budaya Baca dan Literasi Indonesia.
Perpusnas dalam memperingati HUT ke-41 menyelenggarakan rangkaian kegiatan dalam mendukung penguatan peran Perpustakaan Nasional dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat. Kegiatan dilaksanakan secara daring dan tatap muka, dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Tidak hanya digelar di pusat, rangkaian acara juga digelar UPT Perpustakaan Nasional yaitu UPT Perpustakaan Bung Karno di Blitar dan UPT Perpustakaan Bung Hatta di Bukittinggi.
Rangkaian kegiatan yang berlangsung pada 17 Mei hingga 18 Juni 2021 tersebut di antaranya peluncuran konsultasi daring dari unit kerja yang ada di Perpustakaan Nasional, webinar Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat, pameran Visualisasi Sejarah Perpustakaan & Perpustakaan Nasional di Indonesia dari Masa ke Masa, Penandatanganan Pakta Integritas JPT Madya dan Pratama, Penandatanganan Piagam Audit, sejumlah workshop, sosialisasi bidang perpustakaan dan kepustakawanan, pemberdayaan masyarakat penerima manfaat perpustakaan berbasis inklusi sosial, hingga bagaimana meningkatkan SDM bidang perpustakaan melalui pendidikan dan pelatihan, peluncuran dan bedah buku terbitan Perpusnas Press, pendampingan, serta lomba penulisan.
Syarif menerangkan Perpustakaan Nasional berdiri tanggal 17 Mei 1980. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI nomor 0164/0/1980, dibentuklah Perpustakaan Nasional. Cikal bakal Perpustakaan Nasional dimulai saat diintegrasikannya empat unit perpustakaan di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yakni Perpustakaan Museum Nasional, Perpustakaan Sejarah Politik dan Sosial, Perpustakaan Wilayah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, serta Bidang Bibliografi dan Deposit pada Pusat Pembinaan Perpustakaan.
Pada tahun 1987, Perpustakaan Nasional masih berlokasi di tiga tempat terpisah: Museum Nasional di Jalan Medan Merdeka Barat No. 12, Perpustakaan Sejarah Politik dan Sosial di Jalan Merdeka Selatan No. 11, dan Museum Naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol.
Berdasarkan prakarsa Ibu Negara pada masa itu, Ibu Tien Soeharto, Perpustakaan Nasional mendapatkan hibah berupa tanah seluas 16 ribu meter persegi dari Yayasan Harapan Kita, yang terletak di Jalan Salemba Raya 28A Jakarta Pusat atau lokasi Kawedri, sekolah HBS pertama yang didirikan pemerintah Hindia Belanda di Batavia.
Ibu Mastini Hardjoprakoso merupakan Kepala pertama yang memimpin Perpustakaan Nasional. Beliau merupakan mantan Kepala Perpustakaan Museum Nasional. Beliau mengusulkan pembentukan sistem perpustakaan nasional pada makalahnya untuk University of Hawaii dengan judul “The need of National Library for Indonesia”.
Kepala kedua Perpustakaan Nasional adalah Bapak Hernandono, dilanjutkan oleh Bapak Dady P. Rachmananta. Ibu Sri Sularsih melanjutkan tonggak kepemimpinan sebagai Kepala keempat Perpustakaan Nasional. Saat ini, Kepala Perpusnas dijabat oleh pemimpin kelima, Bapak Muhammad Syarif Bando.
Dalam perjalanannya, Perpustakaan Nasional sudah menghasilkan tiga undang-undang yakni Undang-undang No. 4 Tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, kemudian diperbarui dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam.
Dalam penutup pidatonya Muhammad Syarif Bando menyampaikan harapannya kepada para para pimpinan perpustakaan, pustakawan dan pegiat literasi di seluruh pelosok tanah air, untuk selalu menjaga kesehatan dan tetap semangat untuk memberikan layanan terbaik bagi masyarakat. “Terima kasih atas kerja keras dan kerja cerdas Bapak, Ibu, Saudara selama ini. Salam literasi.!,” tutupnya. (Vin)