Oleh: Dr. H. Joni,SH.MH
*Penulis, Notaris tinggal di Sampit.
Memang tidak terlalu populer, pengujian Undang Undang dalam arti formal, yang merupakan tindakan hukum untuk melakukan pengujian terhadap aspek procedural pembentukan UU. Pada konteks pengujian formal ini menitikberatkan wewenang untuk menilai, apakah proses pembuatan suatu produk hukum, khususnya UU produk legislatif sesuai atau tidak dengan aturan yang dibuat untuk itu.
Selama ini memang sangat jarang, bisa disebut tidak pernah ada pengujian seperti itu, karena beberapa alasan. Pertama, dalam dimensi akademik selama ini, pengujian secara formal tidak membawa konsekuensi hukum. Misalnya pembatalan sebuah UU. Artinya kalaupun dilaksanakan pengujian terhadap UU dan ditemukan ada kecacatan prosedural dalam pembuatannya maka tidak ada konsekuensi apapun. Sebutlah hanya sekadar sebagai catatan akademis tadi.
Kedua, tidak jelas subyek hukum mana atau siapa yang boleh melakukan uji formal. Berbeda dengan uji materiil yang harus mempunyai legal standing, maka dalam juii formal ini secara akademis tidak ada legal standing. Maknanya bahwa siapa saja tegasnya seluruh warga masyarakat boleh dan bahkan wajib melakukan uji formal dan merupakan bentuk kontrol konstruktif bagi pembentuk UU. Agar lebih cermat dalam penyiapan sebuah UU, mulai dari dimasukkannya dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) sampai kepada pengundangannya.
Ketiga, tidak jelas, dalam forum apa uji formal harus dilakukan. Dalam forum seminar, pertemuan ilmiah, atau berkontemplasi sendiri, mengadakan semacam penelitian dengan bebagai argumentasi yang dibangun, dan kemudian hasilnya diserahkan kepada Lembaga pembentuk Undang Undang. Tidak dibatasi waktu dan luasnya pembahasan.
Kesemua hal di atas itu disebabkan prosedur, baik berkaitan dengan Hukum Acara maupun batas peraturan perundangan mana yang bisa diuji tidak diatur. Memang diatur prosedur pembuatan sebuah peraturan perundangan, baik itu UU maupun peraturan perundangan lai yang berada dalam struktur peraturan perundangan Indonesia (vide ketentuan pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana disempurnakan dengan UU No. 15 Tahun 2019), dan ketentuan tentang substansi dan cara penbuatan sebagaimana diatur dalam UU dimaksud. Termasuk dalam Tata Tertib DPR, khusus untuk pembuatan UU.
Ke Mahkamah Konstitusi?
Sebagai catatan dalam kurun waktu 18 (delapanbelas) tahun ini, tepatnya sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003, pengujian UU (judicial review) terhadap Undang-Undang Dasar merupakan suatu hal yang lazim yang terjadi di Indonesia. Puluhan UU telah dilakukan pengujian secara materiil dan memang itu kewenangan konstitusional yang pokok dari keberadaan MK.
Kendatipun sebenarnya dalam perspektif ketatanegaraan Indonesia, pengujian peraturan perundang-undangan telah diperkenalkan sejak tahun 1970 yang lalu, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kewenangan itu ada di lembaga Mahkamah Agung dengan kekuasaan dan kewenangan yang terbatas.
Terbatasnya kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan pengujian tersebut dapat dipahami karena sistem politik termasuk di dalamnya penyelenggaraan pemerintahan dalam kurun waktu (1970-1998) dilakukan secara otoritarian dan lebih berat secara politis kendatipun dalam perspektif penegakan hukum.
Saat ini, setidaknya alamat dari pengujian secara formal itu ada titik terang. Hal ini tergambar pada siding yang dilaksanakan secara daring Mahkamah Konstitusi yang (MK) yang digelar Selasa 14 Mei 2021 memutuskan untuk menolak seluruhnya permohonan uji formal terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang diajukan mantan pimpinan KPK. Mereka yang mengajukan permohonan uji formal adalah Agus Rahardjo, Laode M Syarif, dan Saut Situmorang dan kawan kawan yang berjumlah 14 orang dan diwakili oleh puluhan Advokat. Mereka ini yang merasa dan dinilai sebagai yang mempunyai legal standing untuk ber-acara di MK.
Beberapa fakta yuridis tentang pengujian secara formal lebih terang, Ketika mencermati pertimbangan putusan MK dimaksud. Secara substansi, pertimbangan menarik yang menjadi kajian lebih mendalam dari putusan MK itu, pertama adalah dalam proses pengajuan. Pemohon mendalilkan bahwa perubahan terhadap UU KPK itu tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Polegnas) DPR. Mahkamah menilai dalil tersebut tidak beralasan menurut hukum. Dalam kaitan dalil ini, MK menyatakan dalam pertimbangannya bahwa RUU KPK sudah masuk dalam Prolegnas sejak lama, terkait lama atau tidaknya pembahasan tergantung pada UU itu sendiri. Secara teknis dibutuhkan pengharmonisasian dengan UUJ lain. Hal ini menyebabkan tidak menutup kemungkinan terjadi perbedaan waktu dalam melakukan harmonisasi UU.
Dalil yang diajukan sebagai pertimbangan kedua adalah tentang tidak dilibatkannya aspirasi atau peranserta masyarakat dalam pembentukan UU dimaksud. Uji formal yang menjadi pertimbangan kedua ini dengan mengingat bahwa peranserta masyarakat di dalam pembuatan produk hukum bersifat pokok. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa produk hukum khususnya berupa Undang Undang itu nantinya berlaku untuk seluruh rakyat. Dengan demikian sifatnya mutlak untuk melibatkan rakyat yang akan menjadi alamat pengaturan dimaksud.
Terkait dengan dalil dari para pemohon bahwa kelahiran UU itu tidak melibatkan masyarakat juga dimentahkan oleh MK. Bahwasanya dalil yang menyaatakan kelahiran UU revisi dimaksud tanpa melibatkan masyarakat tidak benar. Berdasarkan bukti-bukti yang disampaikan pembuat UU, yakni DPR, sudah melibatkan masyarakat dan stakeholders terkait termasuk pimpinan KPK dalam pembahasan RUU. Bahkan MK mencermati dalam proses dimaksud pihak pemohon, yang pada waktu diajukannya RUU itu berkedudukan sebagai pimpinan KPK sudah diajak untuk terlibat dalam pembahasan.
Dari keharusan adanya peranserta ini, pihak terkait khususnya DPR sudah mengundang secara patut. Namun dari beberapa kali undangan yang disampaikan pihak KPK menolak menghadiri pembahasan perihal revisi Undang-Undang KPK. Kenyataan demikian merupakan fakta hukum bahwa berarti bukanlah pembentuk UU DPR dan presiden yang tidak mau melibatkan KPK. Namun demikian secara faktual KPK yang menolak untuk dilibatkan dalam proses pembahasan rencana revisi Undang-Undang KPK.
Akibat Hukum
Sebagai catatan, ibarat akan masuk rumah putusan MK itu masih belum masuk. Masih di halaman rumah. Mengapa?. Oleh karena tidak sampai kepada putusan tentang akibat hukum. Maksudnya jika (seandainya) uji formal itu dikabulkan, dan kemudian dinyatakn pembuatan UU itu out of procedural, apa akibat hukumnya. Hal itu belum terungkap. Apakah batal seluruh Undang Undang?.
Dalam tataran norma, selama ini secara akademis tidak akan membawa konsekuensi apapun. Artinya seandainya pun permohonan dikabulkan oleh MK maka pengabulan itu tidak membawa konsekuensi dari kondisi suatu produk hukum, dalam hal ini UU yag dujiformalkan. Apakah kemudfian seandainya dikabulkan ketentuan dalam UU itu menjadi batal atau tidak berlaku, sama sekali tidak. Konsekuensi dari dinyatakan bahwa suatu peraturan dibuat tidak sebagaimana prosedur yang seharusnya tidak membatalkan suatu UU. Artinya bahwa suatu pengujian terhadap produk hukum melalui uji formal tidak membawa konsekuensi apapun. Jadi sekadar sebagai satu catatan untuk diketahui.***