Rasanya tidur belum terlalu lama, namun pagi sudah terlanjur menyapa. Tidur di rumah sakit tetap tak selelap memeluk rindu.
Selepas sholat subuh, saya berbincang dengan rekan seperjuangan para penyandang korona. Cerita yang rata-rata sama atau sebagian gejala sama. Diawali panas tinggi, pusing, atau tiba-tiba hilang rasa, hilang penciuman, batuk, hingga sesak napas yang agak berat.
Walau begitu, dua rekan yang telah sepuluh hari dirawat terlihat lumayan segar. Sementara rekan yang masuk kamar perawatan setelah saya kondisinya masih mengkhawatirkan dengan batuk dan sesak nafasnya. Ia harus menggunakan tambahan oksigen.
Belum terlalu lama saya mengenal para pasien lain, seorang perawat meminta saya bersiap untuk pindah ruang perawatan di wing atau sayap yang berbeda.
Sepertinya pasien sedang tidak terlalu banyak sehingga saya dioper di wing berbeda bersama dengan istri. Saya memang meminta jika dimungkinkan bisa bersama istri. Atau mungkin ada bantuan datang untuk bisa menyatukan kami dalam satu ruang isolasi. Walau tetap tak bisa bebas, karena kamera cctv memantau pasien 24 jam tanpa henti.
Di wing baru, kami bertemu dengan Bu Diana pasien yang sempat kami kenal saat sama-sama menunggu di RSPP Pusat. Ia bercerita jika beberapa hari sendirian di ruang perawatan sampai akhirnya ada dua pasien lain masuk.
Jadilah mulai hari itu saya dan istri di ruang dengan tiga bed tempat tidur pasien namun satu tidak terisi. Rutinitas dimulai dengan mandi dan sarapan pagi. Lantas, saya mesti minum obat di pagi hari setelah sarapan. Jika saya teliti, obat yang mesti di minum pagi hari itu adalah vitamin D dan obat asam urat.
Sekitar pukul 10.00 wib, adalah waktu suster dan perawat untuk memberikan tindakan berupa suntikan langsung melalui jarum infus: vitamin C, obat antivirus, obat radang, antibiotik, dan obat lambung. Antivirus yang porsinya agak banyak, mau tak mau dimasukkan lewat infus yang kadang tetesannya terhenti dan minta suster untuk memperbaiki. Sementara, di perut disuntikkan obat pengencer darah.
Tiap hari ada dua dokter yang menengok kami di ruang perawatan. Ya, kunjungan dari dokter spesialis paru atau ahli penyakit dalam dan dokter jaga. Dokter jaga biasanya juga mengukur kadar oksigen dalam darah.
Ketika petang tiba pun demikian. Obat yang hampir sama disuntikkan melalui jarum yang telah terpasang diinfus. Kecuali suntikan pengencer darah di perut tak lagi ada.
Saya salut, respek dan hormat kepada tenaga kesehatan (dokter, suster, dan perawat), sekuriti, dan cleaning service yang melayani selama saya dirawat dan diisolasi di rumah sakit. Bagaimana tidak? Mereka melayani benar-benar dengan hati.
Pakaian yang mereka kenakan sama sekali tidak nyaman. Ini tidak pula membuat para nakes terlihat keren tapi agar terlindungi dari bahaya tertularnya korona. Ya, mereka menggunakan pakaian alat pelindung diri (APD) dengan rupa dan warna sama. Sama persis tak ada bedanya, dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Ketika saya menanyakan kepada salah satu nakes bagaimana membedakan laki-laki dan perempuan di antara mereka. Jawabnya lewat suaranya saja. Dan, antar mereka pun sudah lupa wajah asli teman-temannya karena yang terlihat hanya bagian mata saja dan dikenali lewat suara.
Jika nakes rajin, maka ada tulisan nama nakes sehingga bisa memanggil namanya dan kita tahu apakah ia dokter, suster, perawat, atau petugas lain.
Hebatnya, para nakes mampu bekerja profesional dalam balutan busana yang sama sekali tidak menampakkan kenyamanan. Suster dan perawat dapat mengukur tensi (tiga kali sehari, pukul 04.30 wib, pukul 17.00 wib dan pukul 00.00 wib dini hari), menyuntikkan obat, atau menjelaskan dengan baik apa yang akan dilakukan dan rasa saat suntikan vitamin diberikan lewat jarum infus.
Kesabaran tingkat dewa ditunjukkan oleh para nakes ini. Saya yang tak terlalu punya masalah kesehatan mungkin tidak banyak membutuhkan kesabaran ekstra. Namun, berbeda dengan beberapa pasien dengan gejala yang agak mengkhawatirkan seperti sesak nafas, batuk, kehilangan penciuman dan rasa. Keluhan pasien yang seperti ini cukup membuat panas telinga. Tapi tidak bagi para nakes.
Belum lagi rasa bosan pasien yang tidak boleh keluar ruang perawatan kecuali atas pantauan ahli fisioterapi. Untuk hal ini, para nakes dibekali pula untuk bisa menenangkan dan membuat pasien nyaman. Para nakes sepertinya memang dibekali dengan sabar yang berlebih, sehingga walaupun pasien adalah bukan saudaranya namun mereka telaten merayu pasien untuk mau makan atau bahkan menyuapinya.
Hiburan para nakes nyaris hampa. Beberapa waktu lalu ketika pasien korona menurun, mereka sempat tiktokan. Paling juga menjahili rekan kerjanya dengan menuliskan kata-kata di pakaian APD-nya, selain nama. Seperti yang ditulis di bagian belakang APD perawat Mas Syahrul, ada sebuah pesan yang kentara dari temannya, “Semangat puasa cintaku tapi boong. Cari calon makmum”.
Itulah kisah yang selalu indah dijalani oleh para pejuang garda terdepan melawan korona. Semoga apa yang dilakukan para nakes menjadi amalan baik apalagi dilakukan di bulan baik..(bersambung)
Salam NKS