Saya akan mulai cerita dengan kalimat Ngrasake Korona Sedelo (NKS). Dan, itulah yang terjadi. Saya merasakan kesenggol korona sebentar.Memang, ini bukan kisah indah seperti yang biasa saya tulis. Bukan pula tentang rindu. Tapi cerita sendu yang rasa-rasanya perlu kita tahu. Atau, semogalah, ini menjadi inspirasi di tengah pusaran pandemi.
Berada di rumah sakit khusus penderita covid-19 dalam waktu yang tak sejenak, tentulah tak seenak bulan madu di Bali. Namun tak perlu sedih yang berlebih. Cerita ini kisah nyata. Hanya beberapa nama yang sengaja disamarkan.
Semua dimulai dari libur tiga hari, Jumat hingga Minggu di awal April 2021. Mengisi liburan dalam rangka memperingati Hari Paskah tentu terasa indah jika melakukan hobi. Maka, tiga hari itu tanpa ada henti diisi dengan hobi bulutangkis dan pingpong.
Lupa jika usia tak lagi belia. Tubuh seolah protes dan mulai kelelahan. Akhirnya saya mengundang terapis totok punggung langganan dan sekaligus untuk bekam. Sebuah niat hati ihtiar sehat untuk bisa menjalankan ibadah puasa sepenuh jiwa.
Namun fakta berkata berbeda. Walau sudah totok punggung dan bekam, flu dan batuk disertai bersin-bersin tetap muncul dan makin menjadi-jadi di Sabtu sore di tanggal 10 April 2021. Intensitas batuk yang sering ini mengganggu kinerja tidur. Lalu saya menemukan obat flu dan batuk yang saya konsumsi dengan harap rasa sakit terkurangi. Harapan tinggal harapan.
Hari Senin dan Selasa (12 dan 13 April 2021), saya memilih bekerja dari rumah dan mengikuti beberapa rapat secara daring. Langkah ini sebagai tindakan antisipasi mencegah penularan kepada teman-teman kantor.
Sejak flu dan batuk, saya mencoba mengingat kembali tanda-tanda terpapar covid-19. Saat makan misalnya, saya mengetes indra perasa apakah masih bisa membedakan rasa asin, manis, pedas, dan rasa lainnya. Alhamdulillah tak ada yang perlu dirisaukan karena lidah berfungsi baik membedakan rasa.
Tanda lain yang mesti dites adalah indra penciuman. Ketika sedang buang angin, saya justru menghirupnya dan harus bersyukur jika saya masih mencium bau tak sedap. Begitupun saat buang sampah domestik ke tempat sampah di luar rumah. Jika biasanya tutup hidung, kini ada kebiasaan baru untuk bertanya masihkah bau sampah terdeteksi oleh indra penciuman kita. Jika iya, bersyukurlah kita lantaran dengan begitu artinya covid-19 masih jauh dari diri kita.
Sampailah di hari Selasa pagi tanggal 13 April 2021. Hari pertama puasa. Saat bangun tidur untuk makan sahur, saya mencuci tangan dengan sabun mandi cair dan berusaha untuk mencium bau harum sabun mandi cair tersebut. Rasanya ada yang janggal. Biasanya saya mencium harum semerbak aroma sabun ini. Tapi tidak kali ini. Saya ulangi sampai tiga kali namun tetap tak berasa wangi. Memang hidung agak mampet, tapi harusnya aromanya masih bisa dirasa.
Penasaran saya mengambil minyak kayu putih dan menghirupnya dalam-dalam. Bersyukur saya masih bisa mencium aroma minyak kayu putih. Lalu saya kembali ke kamar mandi untuk cuci tangan menggunakan sabun mandi, dan berusaha mencium aromanya. Namun kembali gagal dan bau aroma sabun tak bisa terendus sama sekali.
Di hari Rabu pagi tanggal 14 April 2021, saat menjelang makan sahur, istri mengeluh meriang, sakit kepala, dan kakinya lemas. Rasa bersalah langsung menghinggapi diri. Saya seharusnya minimal segera tes antigen untuk tahu saya terpapar covid-19 atau tidak. Namun saya belum lakukan hal itu.
Sementara Rabu pagi itu saya mesti ada rapat daring terlebih dahulu, sehingga saya mengusulkan tes antigen bersama istri selepas sholat dhuhur. Untuk urusan pendaftaran tes antigen, saya minta anak sulung untuk melakukannya.
Setelah dibantu anak sulung untuk pendaftaran online di salah satu laboratorium, saya dan istri meluncur sekitar pukul 12.30 wib untuk tes antigen.
Tak perlu menunggu terlalu lama, tes antigen keluar dengan hasil negatif untuk saya tetapi untuk istri positif. Lebih lanjut, untuk mendapat gambaran lebih pasti istri mengambil tes PCR yang baru bisa didapat hasilnya pada petang harinya. Dan benar, hasil PCR istri positif covid-19 dengan CT cukup rendah.
Rasa khawatir dengan CT yang rendah, pukul 20.30 wib saya mengajak istri ke sebuah rumah sakit di Depok sambil tetap bersiap untuk istri rawat inap. Setelah menunggu begitu lama, akhirnya istri diperiksa dokter IGD dan disarankan untuk isolasi mandiri di rumah dan tidak perlu dirawat inap. Pada Rabu malam sepulang dari rumah sakit sudah hampir Kamis dini hari. Saya sepakati untuk pisah ranjang. Juga pisah kamar dan isolasi mandiri untuk istri.
Pagi harinya hari Kamis 14 April 2021, seluruh penghuni rumah mengikuti tes PCR, termasuk saya. Hasilnya saya positif sementara anak-anak dan asisten rumah tangga alhamdulillah negatif. Kemungkinan besar saya lah yang menulari istri melihat gejala flu, batuk, dan kehilangan indra penciuman yang saya alami.
Karena saya juga positif, maka saya menjadi satu kamar kembali dengan istri. Dalam kamar kami mendiskusikan langkah yang mesti diambil. Saya mencoba menghubungi rekan, kenalan, dokter, dan meminta saran dari banyak kolega. Pengalaman dari seseorang yang pernah terpapar covid-19 atau yang punya saudara terpapar, baik pengalaman baik ataupun yang buruk, mesti didengar.
Terima kasih untuk semua dukungan semua keluarga, trah simbah Tadjuk, doa-doa Sedulur NKS. Konco-konco alumni, sejawat, Sahabat Ngopi, KPDJ, serta semua yang ikut berdoa agar Corona segera sirna.
Kisah selanjutnya mengulas bagaimana kami memilih rumah sakit dan pengalaman seru selama di rumah sakit. Selamat menunggu kelanjutan ceritanya. Salam sehat.
Dari ruang perawatan cerita ini ditulis
Simprug, 16 April 2021
Semoga Allah cepat memberikan kesembuhan